SERPONG, ULTIMAGZ.com – Momentum perayaan 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (HAKTP) 2024 sudah berakhir. Namun, semangat untuk melawan kekerasan terhadap perempuan tidak boleh berhenti.
16 HAKTP adalah agenda yang diadakan oleh Women’s Global Leadership Institute untuk mendorong penghapusan kekerasan terhadap perempuan di seluruh dunia. Kampanye ini telah berlangsung sejak 25 November sampai 10 Desember setiap tahunnya. Di Indonesia sendiri, agenda 16 HAKTP pertama kali dihadirkan oleh Komnas Perempuan pada 2001.
Baca Juga : Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan: Apa itu Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO)?
Dalam agenda 16 HAKTP tahun ini, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap (Komnas) Perempuan membuat tema “Lindungi Semua, Penuhi Hak Korban, Akhiri Kekerasan terhadap Perempuan”.
Kekerasan terhadap perempuan semakin banyak dan bermacam-macam. Mulai dari istilah-istilah seksis di media hingga catcalling atau pelecehan di ruang publik yang umum terjadi saat perempuan tengah berjalan sendiri.
Data dari berbagai survei menunjukkan lebih dari sepertiga perempuan Indonesia pernah mengalami kekerasan fisik atau seksual selama hidup mereka. Jumlah tersebut bisa lebih tinggi mengingat banyaknya korban yang tidak melaporkan kekerasan yang dialami.
Melansir komnasperempuan.go.id, menurut Catatan Tahun (CATAHU) Komnas Perempuan, ada 289,111 kasus kekerasan berbasis gender terhadap perempuan yang terjadi sepanjang 2023.
Sayangnya, penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan seringkali menemui jalan buntu. Korban sering mendapat birokrasi yang rumit dan sering kali kekuranganruang aman untuk melapor sehingga merasa merasa terjebak dan tidak didengarkan.
Kekerasan terhadap perempuan merupakan tantangan besar bagi pemerintah dalam beberapa tahun terakhir. Upaya untuk menegakkan hukum yang adil bagi para pelaku kekerasan terus berlanjut, misalnya lewat Kebijakan UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual
Hingga saat ini, penerapan kebijakan tersebut masih memerlukan pengawasan dari masyarakat agar korban kekerasan seksual mendapatkan keadilan. Terdapat berbagai masalah dalam pelaksanaan kebijakan ini, contohnya aparat penegak hukum yang masih belum berpihak terhadap korban. Hal ini mengakibatkan banyak kasus kekerasan seksual yang diabaikan dan membuat korban enggan untuk melapor, dikutip dari kompas.id.
Oleh karena itu, peringatan 16 HAKTP bukanlah sekadar agenda tahunan, melainkan sebuah refleksi dan kewaspadaan mengenai meningkatnya kekerasan dari tahun ke tahun. Hal ini menyadarkan kita bahwa upaya untuk mendidik masyarakat harus dilakukan secara berkelanjutan.
Melansir bincangperempuan.com, masalah penindasan dan kekerasan terhadap perempuan tidak hanya disebabkan oleh laki-laki, tetapi merupakan isu yang berkaitan dengan sistem dan struktur ketidakadilan dalam masyarakat.
Sementara, dari pihak perempuan, diperlukan dukungan bersama untuk melihat semua perempuan secara adil, mengingat mereka sering kali menjadi korban kekerasan. Dengan demikian, gerakan-gerakan perempuan yang telah ada dan berkembang selama ini dapat tetap kuat dalam memperjuangkan keadilan.
Baca juga: Preseden Hukum Roe v. Wade: Solusi atau Bencana bagi Perempuan?
Ultimates bisa terus meneruskan semangat perjuangan ini dengan memutus rantai kekerasan terhadap perempuan. Contohnya, stop menormalisasi objektifikasi perempuan atau dengan candaan seksis, menegur pelaku saat mendengar atau melihat kasus kekerasan, dan aktif mengedukasi diri terkait isu-isu tentang pelecehan dan kekerasan seksual.
Hal-hal yang Ultimates anggap kecil, bisa saja berarti besar untuk mencegah terjadinya kekerasan di masa depan.
Penulis: Zalfa Zahiyah Putri Wibawa
Editor: Jessie Valencia
Foto: Freepik
Sumber: komnasperempuan.go.id, bincangperempuan.com, kompas.id