JAKARTA, ULTIMAGZ.com – Sesak dan padat di jalan raya oleh pendemo, pemandangan yang sedang sering tergambar di beberapa daerah sekarang ini. Ribuan orang berseragam datang berbondong-bondong membawa spanduk dengan tulisan bermacam-macam. Salah satu spanduk paling besar digenggam oleh sekitar sepuluh orang berderet, bertuliskan ‘Tolak Omnibus Law yang Merugikan Buruh”.
Mereka, buruh dari sejumlah elemen menolak pemerintah yang membentuk ulang beberapa Undang-Undang (UU) dengan Omnibus Law, salah satunya terkait ketenagakerjaan yang sekarang bernama Rancangan UU (RUU) Cipta Kerja. Ternyata hembusan wacana perampingan peraturan oleh Presiden Joko Widodo pada Oktober 2019 lalu sudah mulai terendus, walaupun masih desas-desus.
Untuk menelisik lebih dalam arah perampingan regulasi ini, lembaga nonpemerintah yang berfokus pada isu Hak Asasi Manusia (HAM), Amnesty Internasional Indonesia menggelar diskusi publik berjudul ‘Desas-Desus Omnibus: Bagaimana Investasi Memenuhi Standar Hak Asasi?’ pada Kamis (05/03/20) di Hotel Cemara, Menteng, Jakarta Pusat.
Salah satu narasumber yang hadir, Kepala Biro Hukum, Persidangan, dan HUMAS Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian I Ketut Hadi Priatna. Sebagai perwakilan dari pemerintah, Ketut menyampaikan bahwa alasan perampingan regulasi ini adalah berbelitnya peraturan yang berlaku.
“Satu kata yang terlintas ketika mendengar bisnis adalah ribet. Ngurus izin ini, ngurus izin itu, sedikit-sedikit kena pidana,” ujar Ketut.
Pun demikian RUU ini masih belum sepenuhnya sempurna. Ketut mengutarakan adanya definisi yang belum dijabarkan di beberapa pasal. Misalnya, pada pasal 15A ayat 1, yang mengatakan ‘pemutusan hubungan kerja dapat terjadi karena alasan perusahaan melakukan efisiensi’.
“Ya nanti akan kita jabarkan arti efisiensi itu,” ujarnya.
RUU yang belum sempurna ini pun menuai banyak kritik. Mulai dari proses pembuatan yang tidak transparan sampai singkatnya waktu pemerintah dalam memakai Omnibus Law dalam pembuatan UU.
Direktur Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid menyampaikan bahwa proses pembuatan RUU ini terlalu klandestin. Ada pula klaim pemerintah yang diduga memiliki kesenjangan dengan fakta.
“Pemerintah mengklaim telah melibatkan 14 serikat buruh di dalam tim koordinasi pembentukan RUU ini. Faktanya, seluruh organisas tersebut, ditambah organisasi jurnalis, media itu tidak pernah dilibatkan,” ujar Usman.
Sementara itu, Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Arif Maulana menilai bahwa waktu untuk melakukan revisi dengan Omnibus Law atau hukum yang mengatur banyak aspek ini terlalu singkat. Arif turut mengutip pembicaraannya dengan mantan hakim Mahkamah Konstitusi Maria Farida Indrati mengenai pengguanaan metode ini di negara lain.
“Bu Maria bilang, di Belanda mau buat UU Omnibus Law nyusunnya saja sampai lima tahun, transisinya sampai tiga tahun, ini di Indonesia hanya 100 hari, ugal-ugalan,” pungkasnya.
Dalam forum ini juga Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Komisi IX Netty Prasetiyani menegaskan peraturan yang dibuat dengan maksud tujuan apapun, tidak boleh bertentangan dengan landasan negara dan UU Dasar (UUD) 1945.
“Jadi kalau ini untuk membuka iklim investasi lebih besar, harusnya tidak boleh bertentangan dengan tugas untuk mewujudkan kesejahteraan,” jelas Netty.
Penulis: Andrei Wilmar
Editor: Abel Pramudya
Foto: katadata.co.id