Siapa yang tak kenal Ayu Utami? Sebagian dari kita mungkin mengenalnya sebagai penulis novel-novel sarat nuansa sosial-politik seperti Saman, Larung, Bilangan Fu, dan Seri Parasit Lajang. Sebagian lagi mengenalnya sebagai mantan jurnalis yang kritis terhadap pemerintahan Orde Baru dan turut serta memprakarsai berdirinya Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Namun, selain itu, Ayu juga aktif mengampanyekan pentingnya pola pikir kritis lewat kegiatan-kegiatannya di Komunitas Utan Kayu (KUK).
Berdiri pada 1996, KUK dulunya berfokus memperjuangkan kebebasan berekspresi dan kebebasan pers. Maklum, pada era Orde Baru, keduanya sangat dibatasi. Komunitas ini berusaha menyediakan ruang aman bagi orang-orang yang ingin bersuara dengan menggelar pameran, teater, dan menerbitkan buku. Pascareformasi, setelah kebebasan berekspresi dan kebebasan pers menjadi norma, KUK kini berfokus meningkatkan kemampuan berpikir kritis masyarakat.
“Sekarang semua orang bebas bersuara, tapi mutu argumennya belum terlalu bagus ternyata, masih dipenuhi dengan ujaran kebencian, hoaks, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, sekarang tidak lagi fokus ke kesenian melainkan mutu pemikiran.” ujar Ayu ketika ditanya mengenai peralihan fokus ini melalui panggilan telekonferensi, Rabu (10/02/2021).
Untuk menjalankan misi ini, Ayu sebagai Direktur Program KUK memulai kelas filsafat bertajuk “Philosophy Underground” di KUK sejak 2016 lalu. Menggandeng alumni dan dosen Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara sebagai pengajar, “Philosophy Underground” mengulas pemikiran-pemikiran filsuf dalam beragam topik, mulai dari politik, moralitas, hingga pengetahuan. Selain itu, KUK juga mengadakan kelas “Sains Underground” bekerja sama dengan Kepustakaan Populer Gramedia (KPG). Selama pandemi, kegiatan-kegiatan tersebut diadakan secara hibrida, dilaksanakan luring dengan protokol kesehatan ketat dan disiarkan secara daring.
Akhir-akhir ini, filsafat memang tengah menjadi perbincangan hangat di kalangan anak muda. Hal ini terbukti dengan kemunculan komunitas diskusi filsafat seperti Schole ID, Logos, dan Lingkar Studi Filsafat Discourse. Ayu mengaku senang dengan meningkatnya ketertarikan anak muda untuk mempelajari filsafat dan sains. Sebab, jika belajar dari sejarah, meski religius dan sangat spiritual, masyarakat Indonesia sesungguhnya memiliki kemampuan berpikir kritis yang cukup baik.
“Misalnya, agama-agama yang masuk ke Nusantara itu cenderung menjadi lebih ramah dan bisa mengatasi perbedaan. Ada pemrosesan di dalam masyarakat kita ini, termasuk soal gender. Bandingkan misalnya dengan agama Hindu di India atau agama Islam di Arab. Ketika masuk ke Indonesia, dengan ikatan kekerabatan ala Nusantara, itu jadi lebih tinggi indeks gendernya,” jelasnya.
Maka dari itu, Ayu cukup optimis dengan masa depan masyarakat Indonesia. Dengan meningkatnya ketertarikan anak muda terhadap filsafat dan sains, diharapkan nalar kritis masyarakat pun turut meningkat sebagai penyeimbang konservatisme dan dogmatisme agama yang semakin berkembang dalam dua dekade terakhir. Namun, Ayu berpesan agar dalam mempelajari filsafat dan sains, kita tidak boleh juga terjebak dalam dogmatisme dan menganggap pemikiran salah satu filsuf atau saintis sebagai kebenaran absolut.
“Sekarang ada banyak orang-orang yang beranggapan bahwa sains itu sudah paling benar, terus yang lain itu tidak benar. Harusnya, dalam kehidupan sehari-hari itu, kita perlu punya alternatif berpikir: metode berpikir lain yang menekankan pada proses, bukan hasil,” kata peraih Prince Claus Award 2000 ini.
Berkaitan dengan itu, Ayu pun mengungkapkan satu permasalahan yang ia lihat di kalangan intelektual Indonesia. Menurutnya, para cendekiawan masih kurang mengkaji sejarah intelektualitas bangsa sendiri. Hal ini juga terlihat di studi-studi kajian filsafat dan gender yang kebanyakan masih berkonteks barat. Oleh sebab itu, selain “Philosophy Underground”, pada 2021, KUK juga akan memulai program “Membaca Pemikiran Indonesia”, serangkaian seminar yang bertujuan mengkaji karya dan pemikiran-pemikiran tokoh-tokoh cendekiawan Indonesia. Iterasi pertama dari program ini ialah “Membaca Goenawan Mohamad”, penyair, esais, sekaligus pendiri dan editor Majalah Tempo.
“Kebetulan beliau berulang tahun ke-80 tahun ini,” tambah Ayu.
Selain seminar, program “Membaca Pemikiran Indonesia” juga akan dilengkapi dengan undangan terbuka bagi orang-orang yang ingin membuat makalah mengenai pemikiran sang tokoh. Rencananya, program ini akan diadakan setiap satu atau dua tahun sekali. “Membaca Goenawan Mohamad” sendiri akan dimulai pada bulan Agustus mendatang.
Penulis: Charlenne Kayla Roeslie
Editor: Andi Annisa Ivana Putri
Foto: Timothy B. Hallatu