SERPONG, ULTIMAGZ.com — Ultimates mungkin familiar dengan larangan rambut gondrong saat bersekolah dulu. Setiap siswa diharuskan untuk rajin memotong rambutnya agar sesuai dengan standar yang telah ditetapkan sekolah.
Yuk, simak artikel berikut untuk mengetahui alasan di balik peraturan itu!
Dicap Sebagai Preman
“Cowok kok rambutnya panjang, sih. Mau jadi preman, ya?”
Kalimat ini mungkin tidak aneh bagi kita masyarakat Indonesia. Namun, pandangan ini sebenarnya cukup asing bagi orang-orang luar negeri, lho.
Stigma yang memandang bahwa pria berambut panjang identik dengan kekerasan dan pemberontakan memang marak terjadi di negara kita. Pandangan ini sudah begitu diyakini oleh masyarakat sampai-sampai banyak sekali sekolah-sekolah, perkantoran, dan lembaga-lembaga yang melarang anggota laki-lakinya berambut panjang. Memang sudah menjadi hal yang umum, tapi apakah sebenarnya peraturan ini relevan dan sungguh diperlukan?
Dilansir dari tirto.id, peraturan seperti ini pertama kali muncul pada akhir 1960-an. Pada pemerintahan Orde Baru saat itu, pemerintah tidak suka melihat adanya laki-laki yang memiliki rambut yang panjangnya melebihi tengkuk kepalanya.
Bahkan pada tahun 1968, Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin memerintahkan seluruh laki-laki DKI Jakarta yang memiliki rambut panjang untuk segera memangkas rambutnya. Hal ini mengakibatkan maraknya terjadi razia rambut gondrong di tempat-tempat ramai ibu kota. Lama-kelamaan, hal yang sama turut terjadi di daerah-daerah lain, khususnya di Pulau Jawa, Sumatera, dan Sulawesi.
Pada awal dekade 2000-an, struktur pemerintahan berganti, begitu pula dengan peraturan-peraturan di masyarakatnya. Rambut gondrong pada laki-laki sudah tidak terlalu menjadi perhatian bagi pemerintah. Namun, peraturan ini masih melekat dan digunakan oleh berbagai sekolah dan lembaga di seluruh Indonesia hingga saat ini.
Hubungan Rambut dengan Kedisiplinan
Umumya, sekolah-sekolah mengatasnamakan kerapihan dan ketertiban sebagai alasan untuk mempertahankan larangan rambut gondrong bagi siswa-siswanya. Padahal, simbolisasi rambut gondrong sebagai bentuk perlawanan pada pemerintah sudah berlalu lebih dari dua dekade yang lalu. Stigma pria berambut panjang adalah kriminal juga sudah terlalu kuno untuk generasi globalisasi sekarang.
Sekolah sebagai tempat seorang anak memperoleh pendidikan seharusnya mampu menalarkan hal-hal yang diajarkan kepada murid-muridnya. Jika memang sebuah peraturan tidak lagi relevan, maka tidak ada salahnya menghapuskan peraturan tersebut.
Dilansir dari kumparan.com, pengamat pendidikan Satria Dharma mengatakan bahwa rambut gondrong lebih sering dikaitkan dengan masalah estetika. “Rambut gondrong dianggap tidak rapi dan terkesan tidak terpelajar,” ujarnya.
Menurut Satria masalah rambut gondrong tidak ada hubungannya dengan kedisiplinan ataupun prestasi pelajar.
“Tidak ada beda prestasi antara yang gondrong dan yang tidak. Disiplin tidak ada hubungannya dengan model rambut,” tambahnya.
Tindak Pendisiplinan Rambut Gondrong
Hukuman potong rambut paksa sudah tidak asing bagi beberapa murid di Indonesia. Hukuman tersebut sering dilakukan oleh pihak sekolah untuk mendisiplinkan murid-muridnya agar mematuhi larangan rambut gondrong. Sama halnya dengan larangan rambut gondrong, hukuman ini sering membelah opini publik.
Salah satu contohnya adalah kasus yang dihadapi seorang guru SD Aop Saopudin. Dilansir dari detik.com, Aop melakukan razia rambut gondrong setelah upacara dan menemukan empat siswa dengan rambut gondrong pada 2012 lalu. Rambut keempat siswa tersebut pun dicukur oleh Aop.
Sore harinya, ayah salah satu siswa tersebut yang bernama Iwan Himawan mendatangi sekolah dan memukuli Aop bahkan sampai mencukur balik rambut Aop. Tindakan Iwan Himawan membuat dirinya dikunci di balik jeruji selama 3 bulan. Namun, yang menjadi perhatian adalah tindakan Aop.
Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Majalengka kala itu, Surahman meminta agar tindakan Aop tidak diteruskan ke pengadilan dengan alasan Aop melakukan tindakan tersebut untuk menegakkan disiplin. Namun, jaksa tetap menuntut Aop dengan tiga tuduhan.
Pengadilan Negeri Majalengka menjatuhkan hukuman percobaan kepada Aop di mana dalam waktu 6 bulan setelah vonis, jika tidak mengulangi perbuatan pidana maka dia tidak akan dipenjara. Namun, jika berbuat pidana maka langsung dipenjara selama 3 bulan. Pengadilan Tinggi (PT) Bandung juga menguatkan hukuman tersebut.
Pun demikian, Mahkamah Agung (MA) memutuskan untuk membebaskan Aop dari hukuman. Hal itu disebabkan karena Aop mempunyai tugas untuk mendisiplinkan siswa yang rambutnya sudah gondrong untuk menertibkan para siswa. Apa yang dilakukan terdakwa adalah sudah menjadi tugasnya dan bukan merupakan suatu tindak pidana dan terdakwa tidak dapat dijatuhi pidana atas perbuatan atau tindakannya tersebut karena bertujuan untuk mendidik agar menjadi murid yang baik dan berdisiplin.
Namun di sisi lain, komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Susanto menilai bahwa guru dapat memberikan hukuman yang lebih edukatif dibandingkan potong rambut secara paksa.
“Harusnya kita lebih mencari formula yang edukatif. Sebab pendisiplinan itu cenderung dimaknai konotasinya dengan hukuman padahal paradigmanya itu pengembangan perilaku. Kalau hukuman itu efektif hanya untuk jangka pendek, tapi perilaku ke depannya belum tentu anak mau mengikuti aturan dan norma,” ujar Susanto dilansir dari kpai.go.id.
Penulis: Reynaldy Michael Yacob dan Louis Brighton Putramarvino
Editor: Xena Olivia
Foto: Veronica Novaria
Sumber: tirto.id, kumparan.com, detik.com, kpai.go.id