Jakarta, ULTIMAGZ.com—Presiden Joko Widodo telah resmi menandatangani UU Cipta Kerja pada Senin (02/11/20) malam. Namun sebelum undang-undang tersebut diresmikan, terdapat berbagai penolakan UU Cipta Kerja di beberapa daerah. Polemik tersebut muncul dengan mengusung tuntutan terhadap pasal-pasal kontroversial, terutama pada sektor ketenagakerjaan dan lingkungan hidup.
Gelombang protes terhadap produk omnibus law ini juga dilakukan lewat platform digital. Pantauan Drone Emprit, sistem monitor dan analisis media sosial berbasis big data, pada 5 Oktober silam top hashtag Twitter peringkat pertama adalah #BatalkanOmnibusLaw dengan jumlah 15.550 tweets. Diikuti dengan #MosiTidakPercaya sejumlah 9.427 tweets.
Dalam aksi protes, peserta aksi yang tergabung tidak hanya berasal dari kaum pekerja, tetapi juga diikuti oleh pelajar dan mahasiswa. Melansir dari kompas.com, Sosiolog UGM Sidiq Harim melihat fenomena ini disebabkan karena kondisi era keterbukaan informasi. Terlebih ketika informasi tersebut sampai pada identitas kolektif, akan membuat penerima pesan terlibat dalam aksi kolektif gerakan sosial. Namun demikian, Sidiq menyoroti masih ada permasalahan dalam pemahaman UU akibat minimnya informasi yang dibagikan ke masyarakat.
Di sisi lain, ekonom senior Faisal Basri menyampaikan bahwa UU Cipta Kerja memiliki sifat kompleks dan multisektor. Setidaknya, produk omnibus ini mengatur 11 klaster sehingga memang memerlukan waktu yang lama untuk membacanya. Maka dari itu, Faisal memberikan solusi untuk menjawab persoalan dalam memahami isi dari UU Ciptaker.
“Sadarilah undang-undang ini sangat kompleks. Materi yang dibahas banyak dan multisektor. Mahasiswa dengan latar belakang pendidikan yang berbeda bisa saling membagi tugas, ada berapa sektor. Ini adalah masa depan Anda yang time spent-nya masih panjang,” kata Faisal dalam webinar Omnibus Law: Apa yang Perlu Kita Ketahui dan Antisipasi yang diselenggarakan oleh Generasi Melek Politik, Senin (12/10/20).
Tim ULTIMAGZ juga telah melakukan wawancara dengan Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) untuk mengetahui lebih lanjut mengenai UU Cipta Kerja.
Pelajari Aturan untuk Menentukan Sikap
Peneliti ICW Tibiko Zabar mengingatkan mahasiswa untuk perlu memperhatikan dan hati-hati dengan informasi simpang-siur dan hoaks yang beredar terkait UU Cipta Kerja. Maka dari itu, Tibiko berpesan agar mahasiswa sebagai akademisi dapat mempelajari atau membaca aturan secara utuh untuk mengetahui dan menentukan sikap.
“Nanti kalau ada pertanyaan ‘kalian sudah baca belum?’, hal yang bisa dilakukan dengan mudah adalah mempelajari dari sumber atau pakar akademisi yang memang sudah bicara hal ini. Jadi enggak harus menjadi ahli untuk memprotes suatu kebijakan karena prinsipnya kebijakan itu menyangkut kepentingan kita sendiri. Kalau kita memahami itu sebenarnya kita tidak harus jadi ahli hukum. Justru ahli hukum, advokat, akademisi yang seharusnya membahas itu secara akademis. Kita sebagai masyarakat, ya melihat dari perspektif masyarakat,” kata Tibiko melalui wawancara via Zoom, Rabu (07/10/20).
Kontra narasi terhadap aksi yang dilakukan adalah anggapan peserta demo hadir sekadar ‘ikut-ikutan’. Menanggapi hal ini, Tibiko menyampaikan bahwa penting untuk melihat substansi dengan tidak mengesampingkan tujuan aksi.
“Dua hari sebelum aksi banyak berita, semua aksi dihadapi dengan kekerasan dan orang juga tidak punya keraguan seperti itu. Jadi saya kira terlalu menyederhanakan kalau teman-teman mahasiswa dan pelajar dianggap hadir hanya untuk ikut-ikutan,” pungkas Tibiko.
Prosedur Pembuatan jadi Sorotan ICW
Secara khusus ICW menyoroti segi mekanisme pembentukan aturan yang dibuat. ICW menilai proses pembentukan UU Cipta Kerja tidak transparan dan minim partisipasi publik. Padahal prosedur ini telah diatur dalam UU No 12 Tahun 2011 yang diubah menjadi UU 15 Tahun 2019 soal pembentukan undang-undang.
“Bahwa dalam pembentukan undang-undang, partisipasi publik itu menjadi sebuah kewajiban dan transparansi menjadi sebuah keharusan. Kalau misalnya kita lihat aturan yang dibuat ini tidak menggambarkan yang demikian. Kita menilai aturan ini menjadi cacat prosedur,” ujar Tibiko.
Tibiko menambahkan, ketika berbicara mengenai prosedur yang cacat dan tidak sesuai mekanisme, maka kemudian secara substansi bisa menjadi bermasalah.
“Kalau alurnya bermasalah, bagaimana dengan substansinya? Kalau seandainya pembentukan undang-undang ini dilakukan sesuai ketentuan, kan peran atau suara mahasiswa juga bisa ikut disampaikan. Karena prosesnya tertutup, ini yang membuat kita sulit mengawasi bagaimana aturan ini dibuat,” kata Tibiko.
Terkait sektor ketenagakerjaan yang menjadi kontroversi, Tibiko mengungkapkan bahwa ketentuan ketenagakerjaan tidak hanya berlaku dan berdampak pada buruh yang saat ini, tetapi juga untuk mahasiswa yang nantinya akan bekerja.
Di saat bersamaan, Tibiko menjelaskan terminologi buruh kerap digunakan untuk pekerja yang bekerja di pabrik. Padahal buruh adalah orang bekerja dan digaji oleh perusahaannya.
“Bukan melihat buruh itu yang bekerja di pabrik yang pada demo, enggak juga seperti itu. Siapa pun yang masih bekerja pada orang, masuk dalam terminologi buruh. Termasuk mahasiswa yang nanti bekerja kepada orang, kecuali kalian punya usaha sendiri,” pungkas Tibiko.
Peneliti ICW ini juga menekankan bahwa tidak semua orang memiliki hak istimewa sebagai pemilik modal, “saya pikir banyak teman-teman tersebut mereka sadar pada masanya semuanya akan dominan menjadi buruh. Kan enggak semuanya punya privilege tiba-tiba bapaknya punya perusahaan tinggal lanjutin aja, enggak semuanya punya itu.”
Berubahnya Peran AMDAL
Selain ketenagakerjaan, klaster lingkungan hidup juga menjadi sorotan dalam aksi protes. Misalnya Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL) yang turut mengalami perubahan, terutama pada aspek penghilangan partisipasi publik dalam proses penyusunannya. Manajer Kampanye Air, Pangan, Ekosistem Esensial, Eksekutif Nasional WALHI Wahyu Perdana menilai hilangnya keterlibatan publik dalam penyusunan AMDAL memiliki risiko untuk lingkungan.
“Dalam konteks masyarakat perkotaan saya beri contoh misalnya pabrik. Kalau dahulu masyarakat yang di pinggir bisa Jakarta bisa turun dalam lingkungannya, bisa turun dalam proses AMDAL-nya, sekarang enggak bisa. Jadi ada akses publik yang hilang,” jelas Wahyu, dalam wawancara via Zoom (09/10/20).
Wahyu juga mempertanyakan kebijakan AMDAL yang tak lagi menjadi syarat utama dalam pemberian izin usaha. Hal ini berdampak pada proyek yang berdampak terhadap lingkungan hidup di suatu daerah akan dibebankan ke pemerintah pusat. Kebijakan ini pun berpotensi menjauhkan akses informasi masyarakat lokal terhadap proses tersebut.
Perubahan lainnya dalam klaster lingkungan hidup adalah proses penyusunan AMDAL dilakukan oleh masyarakat yang terdampak secara langsung. Padahal menurut Wahyu, masyarakat yang tidak berdampak langsung juga mestinya memiliki akses dalam hal ini.
“Sebagai contoh kasus kebakaran hutan yang ada di perkebunan Sumatera. Meski lokasi kebarakan berada puluhan kilometer dari perkotaan, tetapi asapnya masih dapat menjangkau daerah pemukiman hingga masyarakat urban.” Wahyu mengungkapkan, hilangnya akses publik terhadap regulasi AMDAL membuat hal semacam ini menjadi sulit untuk dibuat langkah preventifnya.
Utang Antar Generasi, Bahan Bakar Agar Tidak Berhenti Bersuara
Wahyu menyebutkan ada sebuah istilah ‘utang antar generasi’ yang digunakan dalam studi lingkungan. Artinya, generasi saat ini memiliki tanggung jawab untuk mewariskan hal baik kepada generasi berikutnya.
Ucapannya ini mengacu pada apresiasi tindakan mahasiswa yang berani turun ke jalan untuk menyuarakan pendapat. Faktanya, tidak sedikit pihak yang menilai tindakan turun aksi ini tidak sepantasnya dilakukan oleh mahasiswa. Bahkan, ada pula yang menyebut tingkat literasi mahasiswa kini masih sangat terbatas, aksi pun hanya sebatas ikut-ikutan.
“Saya rasa generasi sekarang punya kedekatan literasi yang berbeda, jadi kalau kemudian mensimplikasi semuanya hanya pada tindakan ikut-ikutan, ‘gila’ saja orang kalau gitu,” katanya saat diwawancarai pada Jumat (09/10/2020).
Wahyu menambahkan, salah satu cara untuk lebih memahami draf yang berjumlah 1000 halaman itu dengan mengkaji topik yang paling dekat dengan mahasiswa. Topik pendidikan misalnya, tentunya akan jauh lebih mudah memahami hal-hal yang bersinggungan langsung setiap harinya.
Penulis: Agatha Lintang, Abel Pramudya, Andi Annisa Ivana Putri
Foto: Kasyful Haq