“Turns out if we continue behaving as we currently are behaving, our impact on the planet is disastrous. The sustainability of us within the natural systems that keep us alive while continuing doing what we’re doing just can’t work” — Sylvia Earle, Ahli Biologi Kelautan
SERPONG, ULTIMAGZ.com — Ultimates pasti tidak asing dengan ikan tuna. Entah saat makan sushi, sashimi, atau tuna kalengan. Spesies ikan satu ini identik dengan badan berwarna perak dan mulut yang terlihat murung. Ukurannya beragam, tuna terkecil beratnya 20kg hingga ratusan kilogram. Pada 1979, seorang nelayan di Kanada pernah menangkap seekor tuna jenis sirip biru (bluefin tuna) yang memiliki berat 678kg dan menjadi rekor tuna terbesar yang pernah ditangkap menurut International Game Fish Association (IGFA).
Selain itu, kecepatan renang tuna bisa mencapai 70km/jam. Dengan kemampuan berenang yang luar biasa, ikan ini hidup dalam gerombolan dan bermigrasi. Beberapa tuna menetas di Teluk Meksiko, melakukan perjalanan melintasi seluruh Samudra Atlantik untuk mencari makan di lepas pantai Eropa, dan berenang kembali ke Teluk Meksiko untuk berkembang biak.
Harganya pun tidak murah, 1kg ikan tuna dengan kualitas terbaik dihargai sekitar Rp60.000. Di Jepang, pemilik restoran sushi, Kiyoshi Kimura membayar seekor tuna bluefin raksasa seberat 278kg dengan harga $3.1 juta dollar (Rp44 miliar) pada lelang pasar tuna tahun baru 2019 lalu.
Ada lima jenis tuna yang populer di pasaran, yaitu albacore, bigeye, bluefin, yellowfin, dan skipjack. Sayangnya, kelima jenis tuna yang telah disebut termasuk dalam daftar hewan yang mulai langka dan terancam punah menurut International Union for Conservation of Nature (IUCN) Red List of Threatened Species. Ini dikarenakan tuna adalah salah satu jenis ikan yang paling banyak ditangkap secara berlebih (overfish).
International Seafood Sustainability Foundation (ISSF) menyatakan beberapa stok tuna saat ini mengalami overfish. Dampaknya adalah populasi tuna yang menurun. Penurunan populasi tuna sebagian besar didorong oleh permintaan ikan ini di pasar sushi kelas atas yang menyajikan daging tuna segar. Selain itu, industri tuna kaleng juga menjadi faktor overfishing ikan ini.
Tentunya overfishing mempunyai dampak yang besar bagi kehidupan di bumi. Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) dalam agenda Sustainable Development Goals (SDG) memasukkan poin life underwater untuk menjaga kelestarian laut dan melindungi stok ikan di laut yang berkurang karena overfishing, illegal fishing, dan penangkapan ikan yang tidak dilaporkan. Harapannya di tahun 2030, SDG dapat tercapai dan overfishing pun tidak lagi dipraktekkan.
Satu Populasi Hilang, Seluruh Ekosistem Rusak
Istilah overfishing kian populer beberapa tahun belakangan. Menilik situs World Wild Fund for Nature (WWF), menangkap ikan di laut sebenarnya bukan kegiatan yang berdampak buruk bagi laut. Akan tetapi jika ditangkap secara berlebihan sebelum ikan bisa berkembang biak dan mengisi kembali stok di laut, ini yang disebut overfishing. Dampaknya pun tidak hanya berpengaruh pada ikan saja, tapi semua ekosistem laut.
Overfishing ibarat menghilangkan satu hewan dalam rantai makanan. Dalam kasus tuna yang berada di jajaran atas rantai makanan, jika terus menerus ditangkap hingga populasinya menurun, hewan yang ada di bawah tuna akan melonjak. Tuna memangsa beragam hewan laut mulai dari plankton hingga ikan yang lebih kecil. Tuna juga dimangsa oleh hiu, jika tuna habis hiu kekurangan makanannya dan mulai memangsa spesies lain. Menangkap tuna sampai habis sama saja mengacaukan jaringan makanan di laut.
Terumbu karang juga ikut terancam karena overfishing. Penambahan populasi ikan kecil dapat merusak terumbu karang. Pengurangannya pun juga dapat mematikan terumbu karang. Tidak hanya ikan, sampah-sampah dari jaring yang digunakan nelayan untuk menangkap ikan pun dapat mematikan terumbu karang. Fungsi terumbu karang bukan sekadar tempat tinggal ikan dangkal, terumbu karang juga mempunyai nilai guna untuk manusia. Misalnya objek wisata yang mengandalkan terumbu karang menjadi mata pencaharian bagi masyarakat daerah pesisir.
Lalu, saat penjaringan ikan, dipastikan akan ada spesies yang tidak ditargetkan untuk ditangkap, istilahnya by catch. Hal ini terjadi karena jaring ikan yang terbentang luas. WWF mengestimasikan sebanyak 300.000 lumba-lumba, paus kecil, dan penyu mati tiap tahun karena by catch. Jaring-jaring ini menjerat hewan-hewan tersebut hingga mereka kesulitan untuk bergerak dan mati.
Dampak overfishing tidak hanya berlaku di laut. Permintaan makanan laut yang tinggi membuka lowongan pekerjaan, tetapi ketika sudah tidak ada lagi ikan untuk ditangkap, banyak orang akan kehilangan pekerjaan. Hal yang sama berlaku bagi masyarakat di daerah pesisir.
Dilema Manusia Mengurangi Overfishing
Manusia memang diberikan mandat oleh Tuhan untuk mengelola bumi dan menaklukkan isinya. Namun, manusia kadang terlalu fokus untuk menaklukkan dan lupa mengelola. Ahli biologi kelautan Dr. Sylvia Earle berpendapat bahwa manusia memandang satwa laut sebagai produk. Manusia memperdagangkan berbagai satwa liar mulai dari mamalia hingga satwa eksotik. Namun, perdagangan satwa liar terbesar menurutnya adalah ikan.
“Kita [manusia] sangat pandai dalam membunuh [hewan], kita sangat pandai. Kita telah menemukan banyak cara untuk menemukan, menangkap, dan memasarkan satwa liar laut seperti yang kita temukan di darat,” ucap Sylvia Earle dalam webinar Going Deep with Seaspiracy: A Discussion with the Filmmakers and Dr. Sylvia Earle, Selasa (25/05/21).
Manusia hanya memikirkan keuntungan untuk dirinya sendiri dan tidak memikirkan keberlanjutan makhluk lain. Salah satu cara untuk mengurangi overfishing adalah sustainable fishing. Pada nelayan tuna, disarankan untuk menangkap tuna satu per satu menggunakan kail dan pancing dengan tangan daripada menggunakan jaring dan mesin. Konteks sustainable (keberlanjutan) pada masalah overfishing ini adalah menangkap ikan secukupnya dan membiarkan sisanya.
Namun, untuk menerapkan metode ini ke seluruh nelayan di dunia agaknya mustahil. Menurut International Ocean Policy Expert Maximiliano Bello penggunaan kata sustainable terlalu jauh dengan konteksnya. Mudah untuk menerapkan aturan sustainable di komunitas kecil. Akan tetapi, konsep sustainable tampaknya tidak sebanding dengan industri tuna yang masif. Harus ada kesepakatan, standar, dan aturan bersama untuk menentukan berapa batasan maksimal dan minimal ikan yang ditangkap agar bisa sustainable.
Cara lain mengurangi overfishing adalah melalui kampanye. Indonesia Program Technical Advisor The International Pole & Line Foundation (IPNLF) Heri menilai kampanye harus mengikuti latar belakang dan keadaan masyarakat. Pesan sebuah kampanye tidak akan tersampaikan dengan baik jika masyarakat di suatu daerah melihat bahwa apa yang ingin dikampanyekan ternyata masih banyak di depan mata. Heri pernah pergi ke Labuan Cermin, Kalimantan Timur untuk kampanye setop makan daging penyu. Ternyata pesan yang ia bawa tidak digubris masyarakat karena ada banyak penyu disana.
“Kita gak liat penyu di kota. Di Kepulauan Seribu penyu dilindungi, langka gitu, kan. Tapi di sana lo ngedayung kena penyu, lo jalan nabrak penyu, wah penyu semua,” kata Heri saat diwawancarai melalui Zoom pada Kamis (20/05/21).
Lantas, cara apa yang bisa dilakukan untuk mengurangi overfishing?
Semua kembali ke kesadaran masing-masing. Sylvia Earle menegaskan seberapa ingin kita hidup di bumi yang lestari. Menurutnya manusia perlu mengubah sikap dalam menilai alam, baik darat atau laut. Sadari bahwa ada batasan apa yang bisa diambil dari alam. Heri juga mengingatkan bahwa overfishing bergantung pada keserakahan manusia untuk menghabiskan stok ikan hari ini dan tidak menyisakannya untuk kemudian hari
Tidak mungkin manusia berhenti makan ikan karena ikan merupakan sumber protein utama. Namun, Ultimates mulai sekarang bisa berhati-hati mengonsumsi beberapa jenis ikan. Ada 22 ikan yang dimasukkan ke dalam red list Greenpeace. Lima di antaranya adalah tuna. Ultimates bisa klik tautan bawah ini untuk melihat daftar selengkapnya.
Penulis: Jessica Elisabeth Gunawan
Editor: Andi Annisa Ivana Putri, Maria Helen, Xena Olivia
Foto: M. Dava Ferdiansyah
Sumber: cnn.com, worldwildlife.org, marlinmag.com, greenpeace.org, statista.com, conserve-energy-future.com, sdg.un.org, iucnredlist.org, iss-foundation.org