SERPONG, ULTIMAGZ.com – Produk media berita yang dapat dinikmati sekarang tidak terlepas dari sejarah pers Indonesia yang mempunyai sejarah panjang. Orde Baru merupakan masa kelam yang berperan signifikan dalam perjalanan dan perkembangan pers hingga masa reformasi.
Melansir kompaspedia.kompas.id, pers pada masa Orde Baru kerap disebut sebagai pers pembangunan. Sebab kebebasan dan kreativitas berita dituntut untuk memajukan pembangunan.
Baca juga: Benarkah Mental Gen Z Lebih Lemah Daripada Generasi Sebelumnya?
Menteri Penerangan tahun 1966 Republik Indonesia W.J. Rumambi mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 22/ SK/ M/ 1966 tentang Norma-Norma Pengusahaan Pokok Pers pada 20 April 1966. Pers pun bertebaran dengan penekanan bahwa pers harus memiliki rasa bertanggung jawab pada Tuhan Yang Maha Esa (YME), Nusa Bangsa demi Keselamatan Negara Republik Indonesia.
Ciri pers saat Orde Baru adalah ketika kebebasan semu terasa diraih lewat Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 1966 tentang Prinsip-Prinsip Dasar Pers. Isi UU tersebut adalah bahwa pers nasional tidak dapat disensor atau dikendalikan sehingga keberadaannya dijamin sebagai bagian dari hak-hak dasar warga negara juga penerbitan tidak memerlukan surat izin.
Namun, nyatanya media surat kabar wajib punya dua izin, yakni Surat Izin Terbit (SIT) dari Departemen Penerangan dan Surat Izin Cetak (SIC) dari lembaga keamanan militer KOPKAMTIB. Mengutip kompas.com, saat masa awal pemerintahan Orde Baru, hubungan pers dan pemerintah masih harmonis. Sebab pemerintah menjanjikan keterbukaan juga kebebasan berpendapat.
Pada 1967, terbentuklah Dewan Pers yang diketuai Menteri Penerangan. Kastaf Kopkamtib Laksamana Soedomo menggaungkan pemerintah tidak mengekang pers. Namun, media tetap harus menjaga kepentingan nasional, meski ada perbedaan dengan pemerintah.
Walau demikian, nyatanya pers Indonesia di era Orde Baru tidak bisa berbeda pendapat dengan pemerintah. Pengekangan itu terjadi lewat sensor dan surat izin yang dibredel.
David T. Hill dalam bukunya The Press in New Order Indonesia (1996) mencatat bahwa titik kunci ketegangan pemerintah dan pers adalah saat peristiwa Malari atau Malapetaka 15 Januari 1974 terjadi. Saat itu demonstrasi besar terjadi karena datangnya Perdana Menteri Jepang yaitu Kakuei Tanaka.
Setelah peristiwa Malari, ada 12 pers yang kehilangan surat izin terbit dan surat izin cetak. Pemerintah semakin menekan pers dengan adanya UU Nomor 21 Tahun 1982 yang menerbitkan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP).
SIUPP dikeluarkan oleh Departemen Penerangan dan keduanya merupakan faktor penghambat kebebasan pers. Jadi, apabila ada media yang tidak tertib dengan kebijakan pemerintah atau mengeluarkan kritik, SIUPP perusahaan media tersebut bisa dicabut oleh Departemen Penerangan.
Orde Baru memang terkenal dengan sifat pemerintahan yang otoriter tercermin dari Soeharto. Maka itu, beberapa media dilarang menerbitkan atau menyiarkan berita yang mengkritik atau menyinggung pemerintah.
Pada 1978, surat kabar Harian Kompas sempat ditutup selama 2 minggu karena memberitakan isu aksi mahasiswa yang menolak pencalonan Soeharto lagi. Harian Kompas juga diminta memberikan permohonan maaf kepada Soeharto dan berjanji tidak lagi mengangkat masalah Soeharto, baik tentang militer maupun pemerintahannya. Majalah Tempo, tabloid Detik, dan Majalah Editor pun juga pernah kena pembredelan.
Oleh karena itu, Orde Baru adalah orde saat pemerintah berusaha sekuat tenaga untuk mendiamkan dan mendiskreditkan segala suara yang dianggap merusak hegemoni (Abdullah dalam Martono, 2014).
Demikian setelah Soeharto diturunkan, Menpen Yunus Yosfiah mencabut Permenpen Nomor 1/1984 tentang SIUPP dan Kementerian Departemen Penerangan pun dibubarkan. Setelah berjuang sekian lamanya, pers Indonesia pun masuk ke babak baru (Padiatra dan Sanusi, 2020). Berbagai media cetak, televisi, dan radio pun bermunculan.
Tanda perubahan pers pada masa reformasi adalah munculnya pelindung pers, yakni Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999. UU pers menjamin kemerdekaan pers sebagai hak asasi warga negara dan pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, atau pelarangan penyiaran, seperti dikutip dari kompas.com. Dengan adanya kebebasan pers, media bisa berfungsi sebagai watchdog yang menjadi pengawas dan pengontrol kekuasaan.
Pasal 3 UU Pers No 40 Tahun 1999 menyebutkan kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum. Pasal 4 ayat 4 memiliki tameng bagi jurnalis bahwa wartawan memiliki hak tolak.
Kondisi pasca Orde Baru ini membuat semakin menjamurnya media. Kebebasan pers dijamin pada Pasal 9 ayat 1 yang berbunyi, setiap warga negara indonesia dan negara berhak mendirikan perusahaan pers. Lalu dilanjut ayat keduanya yang menyatakan setiap perusahaan pers harus berbadan hukum Indonesia.
Baca juga: Teknologi: Tombak Bermata Dua Bagi Dunia Literasi
Banyak media baru yang bermunculan, meskipun bukan dari mereka yang memiliki kompetensi profesi jurnalistik pun merupakan dampak dari kebebasan pers di era reformasi. Produk media pun cenderung dianggap sebagai bisnis industri (Martono, 2014). Selain itu, kehadiran internet menambah euforia media di Indonesia.
Namun, Padiatra dan Sanusi (2020) menyebut bahwa kebebasan pers di masa reformasi pun membuat pers menjadi ‘kebablasan’ dalam menyajikan berita sebab mengutamakan sensasi dan informasi eksploitatif demi penilaian dan nilai jual yang tinggi. Pada era reformasi, pers terjebak dalam situasi yang rumit. Di satu sisi, kehidupan pers perlahan keluar dari kekangan Orde Baru. Namun di sisi lain, dengan banyaknya media, maka semakin tinggi pula tingkat persaingan.
Penulis: Giofanny Sasmita
Editor: Cheryl Natalia
Foto: Pixabay.com
Sumber: kompaspedia.kompas.id, kompas.com,
Hill, D. T. (1996). The Press in New Order Indonesia. Optima Press.
Martono, J. (2014). Kebebasan PERS di Indonesia pada Era Reformasi dan Ekonomi Politik Media. INSANI, 1(1), 11–20. Diambil dari https://jurnal.widuri.ac.id/index.php/insani/article/view/16
Oetama, J. (2004). PERS INDONESIA : Berkomunikasi dalam Masyarakat Tidak Tulus. Penerbit Buku Kompas.
Padiatra, A. M. (2020). Pers Pasca Orde Baru: Sebuah Tinjauan Sejarah Kontemporer. Khazanah: Jurnal Sejarah Dan Kebudayaan Islam, 10(1). https://doi.org/10.15548/khazanah.v10i1.269