“Gen Z lemah, dikasih tekanan dikit langsung bawa mental health”
SERPONG, ULTIMAGZ.com – Gen Z digambarkan sebagai generasi yang melek teknologi, kreatif, dan mandiri. Namun, Gen Z juga kerap dianggap sebagai generasi paling lemah oleh generasi sebelumnya. Lantas, apakah stereotip ini benar?
Generasi Z atau sering disebut Gen Z adalah julukan untuk mereka yang lahir pada 1995 sampai 2010, di mana era sudah serba digital. Dengan demikian, generasi ini familiar dengan internet dan smartphone sejak usia dini.
Baca juga: Mengenal Generasi Stroberi, Julukan Lain Generasi Z
Walaupun keterampilan Gen Z dalam menggunakan teknologi tidak diragukan, generasi ini kerap dipandang sebagai generasi lemah, sensitif, tidak tahan banting, dan kurang bekerja keras oleh generasi sebelumnya.
Ada pun perumpamaan Gen Z sebagai generasi stroberi. Generasi stroberi adalah penggambaran untuk generasi muda yang dipenuhi ide cemerlang, tetapi tidak dapat menghadapi suatu rintangan karena dibesarkan di lingkungan yang terlalu nyaman.
Karakteristik mudah menyerah ini pun dianggap serupa dengan ciri Gen Z yang lebih menyukai sesuatu yang instan dan kurang memperhatikan proses, dilansir dari viva.co.id. Dengan demikian, apabila dihadapi oleh suatu tekanan dan tantangan lainnya, Gen Z tidak dapat menanggapi hal tersebut dengan baik dan mudah merasa frustasi.
Tidak hanya itu, Gen Z dianggap lebih rentan terkena masalah mental. Berdasarkan data kompas.id melalui survei Indonesia National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS) 2022, mereka menemukan 5,5% remaja (10 sampai 17 tahun) memiliki gangguan mental.
Mengutip dari republika.co.id, Gen Z pun dilaporkan sebagai generasi yang paling banyak mengalami masalah mental sebesar 18%. Sementara itu, hanya 13% Generasi Milenial yang dilaporkan memiliki masalah psikologis.
Menghadapi permasalahan mental yang dulunya jarang dibahas oleh generasi sebelumnya, Gen Z pun dipandang sebagai generasi yang lebih lemah.
Gen Z dan Berbagai Tantangannya
Kemudahan untuk mengakses internet membuat Gen Z menjadi generasi yang mau semuanya serba cepat. Hal ini sering kali membuat Gen Z lupa bahwa tidak semua persoalan hidup bisa diatasi dengan teknologi (Bhakti & Safitri, 2017). Namun, kemudahan itu tidak berarti menandakan bahwa mereka lemah.
Menurut Indiwara Prasarita Ananda, mahasiswa Universitas Multimedia Nusantara (UMN) jurusan Komunikasi Strategis 2019, Gen Z adalah generasi yang kuat. Gen Z dituntut untuk lebih adaptif, khususnya seiring berkembangnya teknologi.
“Mungkin mereka mikirnya kita manja karena kita ada teknologi juga. Jadi mikirnya (Gen Z) kayak dipermanja, semuanya gampang, semuanya instan gitu. Teknologi itu ‘kan sebenarnya mempermudah bukan mempermanja. Jadi, bukan berarti kita mendapatkan sesuatu lebih cepat jadi manja,” ujar Indiwara kepada ULTIMAGZ pada Jumat (08/09/23).
Pendapat lain juga disampaikan oleh Claudia Tjahjadi dari Desain Komunikasi Visual 2022. Menurut Claudia, permasalahan yang dihadapi Gen Z begitu kompleks.
“Permasalahan yang dihadapi sekarang lebih menggunakan pemikiran dibandingkan fisik,” ujar Claudia kepada ULTIMAGZ, Minggu (10/09/23).
Melansir goodstats.id, survei Alva Research Center menunjukkan bahwa Gen Z lebih banyak mengalami stres dan cemas dibandingkan generasi sebelumnya. Survei dilakukan dengan tiga indeks penilaian, yaitu cukup cemas, cemas, dan sangat cemas.
Hasil survei menunjukkan 40% responden Gen Z merasa cukup cemas, 23,3% merasa cemas, dan 5% merasa sangat cemas. Angka tersebut lebih tinggi dibandingkan generasi sebelumnya, yaitu Milenial.
Menurut survei, 38,8% responden Milenial cukup merasa cemas, 23,5% merasa cemas, dan 4,6% merasa sangat cemas. Penyebab tingginya angka cemas Gen Z dinilai karena pengalaman mereka yang belum sebanyak generasi pendahulunya dalam menghadapi tekanan.
Media Sosial Turut Andil
Psikolog Keluarga Samantha Elsener melalui akun Instagram miliknya menyampaikan bahwa stres yang dialami oleh Gen Z disebabkan oleh standar sosial yang terpapar melalui media sosial.
Internet dan teknologi membuat siapa pun bisa saling terkoneksi satu sama lain, khususnya melalui media sosial. Sebagai kanal memungkinkan siapa pun untuk mengunggah apa pun, media sosial menjadi tempat orang-orang untuk menunjukkan versi terbaik dirinya.
Konten-konten di media sosial secara sadar dan tidak sadar membentuk suatu standar di masyarakat. Hal ini menimbulkan tekanan pada Gen Z untuk menyesuaikan diri dengan standar tersebut.
“Standar sosial yang semakin tinggi jika tidak linear dengan realitanya akan membuat gen Z semakin rentan stres dan tertekan,” ujar Samantha, dilansir dari dream.co.id.
Selain standar sosial, media sosial juga membuka perspektif baru bagi Gen Z, khususnya mengenai emosi dan kesehatan mental. Dengan banyaknya kampanye isu kesehatan mental, Gen Z sekaligus menjadi kelompok yang lebih familiar terkait perasaan sekitarnya.
“Gen Z lebih bisa memvalidasikan perasaan orang lain serta diri sendiri, seperti marah, sedih, dan senang. Jika Gen Z menunjukkan rasa sedihnya, generasi di atas cenderung meremehkannya,” ungkap Claudia.
Media sosial menjadi tempat yang nyaman bagi Gen Z untuk mencari sumber informasi, berkomunikasi, hingga sarana bercerita untuk mengundang empati. Namun, komparasi sosial juga membuat Gen Z memiliki kerentanan lebih tinggi terhadap kesehatan mental.
Nilai Tambah Gen Z
Kondisi-kondisi yang dianggap melemahkan Gen Z justru merupakan dorongan bagi mereka untuk menjadi lebih bernilai. Melalui tantangan perkembangan zaman, Gen Z didorong untuk mampu kreatif, inovatif, adaptif, kolaboratif, dan bermental wirausaha (Palindangan, 2023).
Melalui era digital, Gen Z mampu mengembangkan berbagai solusi dari isu-isu masa kini dengan memanfaatkan teknologi. Teknologi yang meningkatkan konektivitas antar budaya juga mendorong Gen Z untuk adaptif dalam menghadapi berbagai situasi.
Berkat konektivitas antar budaya, Gen Z harus mampu berkolaborasi dan berempati untuk membangun hubungan antar individu. Hubungan antar individu berikut yang akan meningkatkan mental wirausaha mereka. Mental wirausaha tersebut terdiri dari mengambil berani risiko dan mencoba hal-hal baru.
Baca juga: HUT ke-78 RI, Apa Kata Generasi Muda soal Kemerdekaan?
Kecenderungan generasi senior menilai generasi lebih muda sebagai orang lemah sebenarnya sudah ada sejak dulu. Setiap kemudahan baru yang menyertai anak muda di zamannya membuat mereka dipandang rendah oleh generasi lama. Alhasil, generasi muda saat ini adalah Gen Z, sehingga mereka menjadi sasaran stereotip generasi sebelumnya.
Maka dari itu, kelemahan atau kekuatan siapa pun tidak bisa dijustifikasikan berdasarkan generasinya. Setiap generasi punya tantangan di eranya masing-masing. Tantangan ini tidak pernah sama karena dunia terus mengalami perubahan.
Penulis: Jessie Valencia (Komunikasi Strategis 2022), Margaretha (Desain Komunikasi Visual 2022)
Editor: Alycia Catelyn
Foto: Keizya Ham
Sumber: dream.co.id, goodstats.id, viva.co.id, kompas.id, bbc.com, narasi.tv
Bhakti, C. P., & Safitri, N. E. (2017). Peran Bimbingan dan Konseling untuk Menghadapi Generasi Z dalam Perspektif Bimbingan dan Konseling Perkembangan. Jurnal Konseling GUSJIGANG, 3(1), 104-113
Palindangan, L. K. (2023). Gen AZ: A Non-Resilient Generation?. TarFomedia, 4(2), 4-7