SERPONG, ULTIMAGZ.com—Akhir-akhir ini, Rancangan Undang-Undang Ketahanan Keluarga (RUU KK) kerap menerima kecaman karena dianggap terlalu mencampuri urusan privasi warga negara. Misalnya, perihal mewajibkan perempuan sebagai pengurus rumah tangga yang mendapat banyak kecaman.
Salah satu pihak yang mengecam hal tersebut adalah Koalisi GERAK Perempuan. Mereka menilai bahwa RUU KK menimbulkan tiga persoalan besar yaitu peraturan yang timpang tindih, melanggengkan ketidakadilan gender, dan menyangkal keberadaan kelompok minoritas seksual.
“RUU ini bermaksud mengembalikan perempuan ke dalam peran-peran domestik dengan beban tanggung jawab pengurusan rumah tangga ke tangan perempuan sebagai istri,” tulis anggota koalisi GERAK perempuan sekaligus pengacara publik LBH Jakarta Citra Referandum melalui siaran pers tertulis RUU Ketahanan Keluarga: Menyumbang Kekerasan Sistematis Negara terhadap Perempuan (24/02/19).
Alih-alih mempertahankan apa yang dimaksud ketahanan keluarga, RUU KK malah membuat standarisasi hal ‘baik dan benar’ dan hal yang harus dipulihkan. Gambaran ketidakadilan gender terlihat dari bagaimana RUU KK mencoba untuk menjiplak Orde Baru, ketika rezim otoriter mengurung perempuan di ruang domestik dan mendorong perempuan menganut ideologi ibuisme. Ideologi ini menempatkan perempuan hanya sebagai pelayan suami, anak, keluarga, masyarakat, dan negara.
“Negara menjadi pelaku kekerasan terhadap perempuan karena telah mengabaikan pemenuhan hak atas rasa aman,” tulis Citra.
“Bahkan, negara turut bungkam ketika kasus kekerasan terhadap perempuan turut menerus terjadi.” Dijelaskan, hal tersebut dibuktikkan dari berbagai macam laporan kasus kekerasan seksual yang ditolak oleh kepolisian karena tidak adanya bukti dan meragukan kesaksian korban.
Berdasarkan Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan tahun 2019, kekerasan terhadap perempuan pada 2018 meningkat menjadi 406.178 kasus, tercantum jumlah kasus pada tahun sebelumnya adalah 348.466 kasus. Kasus-kasus ini meliputi kasus kekerasan seksual, kekerasan dalam rumah tangga, bahkan perdagangan manusia.
Tak hanya itu, GERAK Perempuan melihat bahwa RUU KK berpotensi menjadi alat legitimasi untuk melakukan tindakan diskriminatif terhadap warga negara dari kelompok minoritas seksual yang non-heteroseksual dan transgender. Hal ini terlihat dari pasal 50 dalam RUU KK yang menyebutkan bahwa orientasi seksual selain heteroseksual dan transgender adalah ancaman fisik. Disebutkan pula homoseksual dan biseksual sebagai penyimpangan seksual.
“Terdapat upaya pembodohan masyarakat melalui keilmuan semu (pseudosains). Perumus menghilangkan aspek keilmuan dalam menelaah keragaman gender dan seksualitas,” jelas Citra.
Hal ini membuktikan, perumus RUU KK tidak mengindahkan pedoman internasional berupa naskah akademik yang telah diakui secara global, yaitu Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM) V atau the 10th revision of the International Statistical Classification of Diseases and Related Health Problems (ICD-10). Faktanya, kedua pedoman itu telah mengeluarkan homoseksualitas dari klasifikasi penyakit kejiwaan. Tak hanya itu, Pedoman Praktis Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) dengan jelas menyatakan pada catatan F.66 bahwa orientasi seksual itu sendiri tidak termasuk gangguan.
“[RUU Ketahanan Keluarga] melanggar ketentuan profesi profesional dan bertentangan dengan panduan internasional,” tulis Citra menanggapi wacana peremus RUU KK untuk melakukan rehabilitasi terhadap kelompok minoritas seksual.
Penulis: Ignatius Raditya Nugraha
Editor: Agatha Lintang
Foto: thejakartapost.com
Sumber: Siaran Pers GERAK perempuan