• About Us
  • Privacy Policy
  • Redaksi
  • Advertise & Media Partner
  • Kode Etik
Tuesday, August 26, 2025
No Result
View All Result
ULTIMAGZ
  • Beranda
  • Info Kampus
    • Berita Kampus
    • Indepth
  • Hiburan
    • Film
    • Literatur
    • Musik
    • Mode
    • Jalan-jalan
    • Olahraga
  • Review
  • IPTEK
  • Lifestyle
  • Event
  • Opini
  • Special
    • FOKUS
    • PDF
  • Artikel Series
  • Ultimagz Foto
  • Beranda
  • Info Kampus
    • Berita Kampus
    • Indepth
  • Hiburan
    • Film
    • Literatur
    • Musik
    • Mode
    • Jalan-jalan
    • Olahraga
  • Review
  • IPTEK
  • Lifestyle
  • Event
  • Opini
  • Special
    • FOKUS
    • PDF
  • Artikel Series
  • Ultimagz Foto
No Result
View All Result
ULTIMAGZ
No Result
View All Result
Home Lainnya

Kisah Kartini dan Masalah Abadi Emansipasi

Andrei Wilmar by Andrei Wilmar
April 21, 2020
in Lainnya, Opini
Reading Time: 4 mins read
RA Kartini

(sumber: merdeka.com)

0
SHARES
754
VIEWS
Share on FacebookShare on Twitter

SERPONG, ULTIMAGZ.com – Zaman kolonialisme atau feodalisme di negeri yang bernama Hindia Belanda, telah banyak merenggut air mata perempuan pada saat menikah. Menerima sesuatu karena paksaan bukanlah hal yang menyenangkan, apalagi harus bergelut dengan sesuatu itu seumur hidup. Tidak jarang seorang perempuan dinikahkan oleh laki-laki yang tak diinginkannya. Namun, pasrah adalah pilihan aman ketika mereka seolah-olah diciptakan untuk menikah oleh sebuah sistem.

Emansipasi dari Lingkungan Priayi

Lahir di Mayong, Kabupaten Jepara, pada 21 April 1879 sebagai golongan priayi yang dijodohkan dengan seseorang yang sudah terjamin kemapanannya ternyata tidak cukup bagi Raden Ajeng (RA) Kartini yang haus akan ilmu. Ia mengirim surat kepada sahabat penanya di Belanda, surat itu berisi lara yang harus ditanggung perempuan di Hindia Belanda atas ketidakadilan gender sistem kolonialisme.

“Kami, perempuan Jawa, tidak boleh memiliki cita-cita. Karena kami hanya boleh mempunyai satu impian, dan itu adalah dipaksa menikah hari ini atau esok dengan pria yang dianggap patut oleh orangtua kami,” tulisnya dalam sebuah surat untuk Rosa Manuela Abendanon pada  8/9 Agustus 1901.

Dalam kehidupan sehari-harinya pun, kisah tragis kerap terekam oleh kedua bola mata Kartini. Ibunya Mas Ayu Ngasirah harus tergusur posisinya, hal ini disebabkan karena sang ayah Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat menikahi putri ningrat berdarah Madura bernama Raden Ayu Moerjam. Saat itu lah Mas Ayu Ngarsirah menjadi garwa impil (selir) yang memiliki ketimpangan peran dengan Raden Ayu Moerjam.

“R.A. Moerjam bertugas di depan menerima tamu dan bersosialisasi ke luar, sedangkan Mas Ayu Ngasirah bertugas di belakang sebagai ‘kepala’ urusan rumah tangga,” tulis Dri Arbaningsih dalam “Kartini dari Sisi Lain: Melacak Pemikiran Kartini tentang Emansipasi Bangsa”.

Tidak berhenti di sana, Kartini juga harus melihat adiknya, Kardinah menikah paksa tanpa rasa cinta. Saat itu Bupati Tegal Pangeran Ario Reksonegoro yang masih merupakan sepupu dari Sosroningrat, datang ke Kadipaten dengan putranya Raden Mas Haryono. Bukan tanpa tujuan, mereka datang untuk menjodohkan Kardinah dengan Haryono yang sudah memiliki tiga anak.

Menjalani masa pingitan selama enam tahun, tiga bersaudara, Kartini, Roekmini dan Kardinah telah melewati masa-masa yang menyenangkan. Walaupun menguras air mata, dalam sepucuk surat Kartini mengatakan bahwa enam tahun itu telah menjadi waktu yang membuatnya bahagia. Namun pada akhirnya, mereka harus berpisah, dan pernikahan Kardinah terjadi pada 24 Januari 1902.

“Enam tahun yang baru lalu ini adalah tahun-tahun yang paling bahagia bagi kami. Kami telah banyak menangis, tetapi juga banyak bersuka-ria,” tulis Kartini dalam sebuah surat untuk Rosa Manuela Abendanon pada 03 Januari 1902.

Tidak hanya menjadi saksi, Kartini pun akhirnya harus terlibat dengan pernikahan. Pun demikian, dia tidak menyerahkan dirinya secara cuma-cuma seperti kebanyakan perempuan pada zaman itu.

Kartini meminta beberapa syarat kepada laki-laki yang akan menikah dengannya, salah satunya adalah tidak menghambat mimpi Kartini dalam menyebarkan pendidikan. Setelah syarat-syarat itu disetujui, akhirnya pada 8 November 1903 ia menikah dengan Bupati Rembang Raden Adipati Djojodiningrat.

Menjadi saksi mata atas segala ketidakadilan yang terjadi di sekitarnya, Kartini betekad untuk menaikkan derajat  perempuan. Bahkan, setelah Kartini gugur karena melahirkan pada 17 September 1904, pemikirannya diteruskan oleh rekan-rekannya dan tetap hidup di tengah perubahan yang dibuatnya.

“Aduhai! Bilakah saat yang bahagia itu akhirnya tiba, saat di mana bagi dunia, kami (perempuan) boleh memeluk studi sebagai pengantin kami!” sebagaimana tertulis di surat kepada Estella Zeehandelar, 23 Agustus 1900 dalam buku “Kartini: Sebuah Biografi” karya Sitisoemandari yang terbit pada 1986.

Cerminan Masa Kini

Cerita Hidup Kartini memang sudah berlalu lebih dari satu abad, dan pengaruhnya masih dapat dirasakan hingga kini. Perempuan sudah bisa mendapatkan pendidikan dan menikah tanpa ada paksaan dari orang tua. Akan tetapi, di tengah perubahan yang disajikan oleh Kartini, masalah serupa seperti putus sekolah dan menikah muda masih kerap terjadi.

Pernikahahan dini pun ternyata masih kerap terjadi di Indonesia. Pada tahun 2017 perwakilan Indonesia dalam ajang Asian Development Bank’s 5th Annual Asian Youth Forum, bernama Sanita, mengaku pernah ingin dinikahkan di umur 13 tahun. Orang tuanya melakukan ini karena alasan finansial, namun Sanita tetap berteguh pada pendiriannya untuk tidak menikah di usia dini dan melanjutkan pendidikan.

“Kalau kalian menghentikan pernikahan dan mengizinkanku melanjutkan pendidikan, aku akan membayar semua yang telah kalian keluarkan untukku. Kalau kalian memaksaku untuk menikah, tidak akan ada yang aku miliki lagi,” ujar Sanita pada Mei 2017, dilansir dari huffpost.com

Sanita mengaku dia bukan satu-satunya perempuan yang memiliki pengalaman ini. Perjodohan masih sering terjadi di lingkungan tempat dia tinggal. Namun, Sanita sudah memberikan contoh untuk lingkungannya tentang pentingnya pendidikan.

“Kapan pun aku kembali ke desaku di Jawa Tengah, orang tua lain menasihati anaknya, ‘kamu harus seperti Sanita, dia berani, pintar dan lulusan universitas’,” pungkas Sanita.

Kejadian Sanita adalah satu contoh dari banyak kasus pernikahan dini yang memutus pendidikan.  Dengan alasan finansial orang tua memberikan anak mereka kepada pernikahan dan berharap hidup anak tersebut ditanggung penuh oleh sang suami. Pikiran seperti ini harus dihentikan secepatnya, pernikahan dini bukan solusi menanggulangi kehidupan yang tidak layak, hal ini justru akan menimbulkan masalah dari segi finansial itu sendiri dan mental yang belum siap untuk tanggung jawab besar.

Pada 2018, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, terdapat lebih dari 90 persen perempuan usia 20 sampai 24 tahun yang menikah di bawah umur 18, putus sekolah. Sementara merujuk pada data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), terdapat lebih dari 24 ribu anak perempuan putus sekolah pada tahun ajaran 2019/2020. Tampaknya beberapa perempuan  tidak memilih pendidikan sebagai pengantin mereka. Setelah satu abad pun, masalah pendidikan pada perempuan masih terjadi, seakan hal ini abadi di Indonesia.

 

 

Penulis: Andrei Wilmar

Editor: Andi Annisa Ivana Putri

Foto: merdeka.com

Sumber: repositori.kemdikbud.go.id, unicef.org, historia.id, tirto.id, statistik.data.kemendikbud.go.id, nationalgeographic.grid.id, huffpost.com

Tags: Habis Gelap Terbitlah teranghari kartinikartinipendidikanperempuanr. a. kartiniRaden Ajeng Kartini
Andrei Wilmar

Andrei Wilmar

Related Posts

Pesta Bebas Berselancar
Lainnya

Pesta Bebas Berselancar 2025 Umumkan Daftar Penampilan Spesial dan Kolaborator

July 16, 2025
digicam
Opini

Digicam Kembali ke Pasar: Dari Kesenangan Jadi Berlebihan?

July 16, 2025
Aksi Kamisan ke-860 digelar di seberang Istana Merdeka, Kamis (08/05/25), untuk mengenang Marsinah dan menolak wacana Soeharto sebagai pahlawan nasional. (ULTIMAGZ/Putri C. Valentina)
Event

Mengenang 32 Tahun Kematian Marsinah Lewat Aksi Kamisan Ke-860

July 16, 2025
Next Post
Poster konser One World: Together At Home. (Ultimagz)

Penampilan Berbagai Bintang di Konser "One World: Together At Home"

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

13 − 7 =

Popular News

  • wawancara

    Bagaimana Cara Menjawab Pertanyaan ‘Klise’ Wawancara?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Risa Saraswati Ceritakan Kisah Pilu 5 Sahabat Tak Kasat Matanya

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kisah Ivanna Van Dijk Sosok Dari Film ‘Danur 2 : Maddah’

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Gading Festival: Pusat Kuliner dan Rekreasi oleh Sedayu City

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Merasa Depresi? Coba Cek 4 Organisasi Kesehatan Mental Ini!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

Pages

  • About Us
  • Advertise & Media Partner
  • Artikel Terbar-U
  • Beranda
  • Kode Etik
  • Privacy Policy
  • Redaksi
  • Ultimagz Foto
  • Disabilitas

Kategori

About Us

Ultimagz merupakan sebuah majalah kampus independen yang berlokasi di Universitas Multimedia Nusantara (UMN). Ultimagz pertama kali terbit pada tahun 2007. Saat itu, keluarga Ultimagz generasi pertama berhasil menerbitkan sebuah majalah yang bertujuan membantu mempromosikan kampus. Ultimagz saat itu juga menjadi wadah pelatihan menulis bagi mahasiswa Fakultas Ilmu Komunikasi (FIKOM) UMN dan non-FIKOM.

© Ultimagz 2021

No Result
View All Result
  • Beranda
  • Info Kampus
    • Berita Kampus
    • Indepth
  • Hiburan
    • Film
    • Literatur
    • Musik
    • Mode
    • Jalan-jalan
    • Olahraga
  • Review
  • IPTEK
  • Lifestyle
  • Event
  • Opini
  • Special
    • FOKUS
    • PDF
  • Artikel Series
  • Ultimagz Foto

© Ultimagz 2021