JAKARTA, ULTIMAGZ.com – Pada Minggu siang, Mariani hendak pergi untuk membeli kebutuhan rumah tangga di supermarket bersama anaknya. Sebelum mereka pergi, Mariani mengambil dua buah tas kain sebagai bekal berbelanja.
Benar seperti dugaannya, supermarket tujuannya tidak menyediakan kantong plastik lagi. Ibu rumah tangga ini pun mengeluarkan kedua tas kain miliknya. Kemudian ketika turun membawa barang belanjaan bersama anaknya, Mariani menawarkan apakah mau membeli roti untuk sarapan esok pagi.
“Loh itu di rumah bukannya masih ada roti?” tanya anaknya.
“Oh itu udah lama rotinya, buang aja nanti,” ujar Mariani.
Bagi anaknya, ia sudah bangga dengan Mariani karena mengurangi penggunaan plastik dengan membawa kantong belanja dari rumah. Akan tetapi, ia merasa sedih saat tahu bahwa keluarganya masih harus menghasilkan sampah organik dari makanan.
Tak dihindarkan lagi, Indonesia memang merupakan salah satu dari lima negara dengan penyumbang sampah plastik terbanyak di lautan menurut laporan Ocean Conservancy. Dalam sehari, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) memperkirakan Indonesia menghasilkan sekitar 67,8 juta ton pada 2019. Angka tersebut mengalami kenaikan dari jumlah rata-rata sampah Indonesia per tahun, yaitu 64 juta ton.
Namun, jumlah sampah plastik yang dihasilkan per tahun tidak sebanyak jenis sampah lainnya. Dari 8 pengelompokan jenis sampah, KLHK pada 2017 melihat bahwa komposisi sampah di Indonesia didominasi oleh sampah organik sebesar 60 persen dari total sampah. Sementara itu, sampah plastik menempati posisi kedua dengan angka 14 persen.
Berdasarkan laporan bertajuk “Food Sustainable Index” kajian The Economist Intellegent Unit bersama Barilla Center For Food and Nutrition Foundation (2018), Indonesia menempati peringkat kedua sebagai negara yang menghasilkan sampah makanan terbanyak di dunia. Mereka mencatat, setiap penduduk Indonesia rata-rata membuang sekitar 300 kg makanan per tahun. Jumlah ini lebih besar 23 kilogram daripada negara adidaya seperti Amerika Serikat.
Untuk menarik konteksnya pada perilaku sehari-hari, penelitian berjudul ”Memperkuat Ketahanan Pangan melalui Pengurangan Pemborosan Pangan” (2012) mencoba menghitung berapa banyak pangan yang bisa seseorang hasilkan dari meninggalkan satu butir nasi di piringnya. Apabila setiap kali makan ada 1 butir yang tersisa, berarti dalam sehari ada 3 butir nasi yang terbuang. Dalam 1 kilogram beras, terdapat 50.000 butir nasi.
Dari konstruksi satu orang tersebut, peneliti mencoba untuk menghitung jumlah makanan yang terbuang jika 250 juta penduduk melakukan hal yang sama. Alhasil, akan ada 15 ton beras per hari atau 5.500 ton beras per tahun yang terbuang.
Sampah makanan dan gizi masyarakat
Meski sampah organik lebih mudah terurai daripada plastik, tetapi dengan pengelolaan yang keliru bisa mencemari air, udara, hingga menyebabkan perubahan iklim. Pasalnya, proses pembusukan sampah pangan mengandung jejak karbon dioksida yang merupakan salah satu jenis Gas Rumah Kaca atau GRK.
Melansir “Food Wastages: Foodprint Impacts On Natural Resources” (2013), jejak karbon pada sampah pangan rata-ratanya mencapai 500 kg setara karbon dioksida (CO2e) per kapita tiap tahun. Karbon dioksida (GRK) yang dihasilkan oleh sampah pangan ini menimbulkan pemanasan global, perubahan iklim, dan kepunahan berbagai spesies flora serta fauna.
GRK turut memiliki pengaruh dalam pengurangan kadar nutrisi pada sejumlah tumbuhan. Publikasi ilmiah berjudul “Carbon dioxide (CO2) levels this century will alter the protein, micronutrients, and vitamin content of rice grains with potential health consequences for the poorest rice-dependent countries” (2018) menemukan, beras mengandung yang lebih rendah bila terpapar karbon dioksida pada level tinggi. Chunwu Zhu, Lewis H. Ziska, dan peneliti lainnya menguji 18 varietas padi yang ternyata mengandung lebih sedikit zink, protein, serta zat besi. Pun kandungan vitamin B1, B2, B5, dan B9 mengalami penurunan.
Penelitian di atas menjadi benang merah sampah makanan yang memengaruhi kasus kekurangan gizi yang terjadi di Indonesia. Pasalnya, mayoritas masyarakat Indonesia menggunakan beras sebagai makanan pokok. Dalam Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan pada 2018, sebanyak 13,8 persen balita di Indonesia mengalami kurang gizi dan 3,9 persen lainnya menderita gizi buruk.
The Conversation menghitung estimasi jumlah orang yang kekurangan gizi dengan populasi balita sebesar 23,8 juta jiwa. Hasilnya, terdapat 3,2 juta anak dengan gizi kurang dan 928 ribu mengalami gizi buruk. Jika kondisi kekurangan gizi ini terus berlanjut, negara akan memiliki kualitas sumber daya manusia usia produktif yang rendah.
Pemaparan ini menunjukan, ada kesenjangan antara sampah bahan makanan yang melimpah dan kondisi gizi masyarakat. Di antara tumpukan sampah makanan, masih ada mereka yang membutuhkan makanan yang bergizi baik.
Bersama Kurangi Sampah Makanan
Permasalahan sampah tentunya menjadi isu yang tidak ada habisnya. Pemerintah tidak bisa disalahkan dan dituntut untuk membersihkan sampah. Dibutuhkan kerja sama serta kesadaran bersama antar pemerintah dan masyarakat untuk mengurangi volume sampah. Terlebih, sampah pangan dapat merusak lingkungan dan mengganggu estetika.
Pemerintah telah berusaha dengan mengeluarkan sejumlah peraturan untuk mengelola sampah seperti dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008, Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2012, serta Peraturan Presiden Nomor 97 Tahun 2017. Tidak hanya mengeluarkan aturan, dalam dunia pendidikan pemerintah juga telah menghadirkan pendidikan lingkungan hidup untuk jenjang SD, SMP, dan SMA. Akan tetapi, belum disebutkan cara untuk mencegah pembuangan sampah makanan. Fokus pendidikan hanya sebatas pemilahan dan daur ulang sampah.
Oleh karena itu, kesadaran masyarakat menjadi peran penting untuk mengurangi sampah makanan. Berdasarkan prosedur membuang sampah, yaitu 3R (Reduce, Reuse, Recycle), berikut kebiasaan sehari-hari yang dapat diterapkan untuk mengurangi sampah makanan.
1. Memasak dan mengambil makanan secukupnya
Masak sesuai dengan jumlah anggota keluarga dan berapa kali makan dalam sehari. Jangan sampai makanan masih tersisa saat selesai makan. Porsi makan juga sebaiknya disesuaikan kebutuhan gizi.
Hindari mengambil makanan terlalu banyak dan berhenti makan ketika masih banyak. Jika terlanjur, makanan sisa bisa disimpan untuk dimakan di lain waktu.
2. Membeli bahan pangan lokal
Bahan pangan melewati proses distribusi yang panjang dari produsen hingga konsumen. Dari kebun atau pabrik ke supermarket, pasar, atau tukang sayur keliling. Jika perjalanan distribusi memakan waktu yang lama dan jarak yang jauh, maka besar kemungkinan ada bahan pangan yang dibuang. Oleh karena itu, sebaiknya membeli bahan pangan produksi lokal untuk meminimalisir pembuangan tersebut.
3. Simpan dengan tepat
Penyimpanan yang tepat sangat penting untuk mempertahankan keawetan bahan pangan. D. A. Sari dan Hadiyanto dalam tulisannya “Teknologi dan Metode Penyimpanan Makanan Sebagai Upaya Memperpanjang Shelf Life” (2013) mengatakan, setiap jenis pangan harus disimpan dengan ketentuan yang berbeda-beda sesuai karakteristik suatu pangan.
Bahan pangan yang cepat membusuk seperti daging (termasuk ikan dan unggas), produk susu (termasuk keju dan yoghurt), buah, sayur, dan telur sebaiknya disimpan di kulkas dengan suhu rendah. Daging dapat disimpan di freezer dengan suhu minimal minus 16 derajat Celcius sementara bahan lainnya aman disimpan di chiller kulkas dengan suhu 5 derajat Celcius.
Tata letak penyimpanan bahan pangan di kulkas juga perlu diperhatikan. Bahan mentah sebaiknya di bagian bawah kulkas dan sisa makanan di bagian atas kulkas. Bahan makan yang lebih lama di kulkas dapat diletakkan di depan. Jangan lupa untuk memberikan label nama dan tanggal kapan bahan makanan masuk kulkas.
Bahan pangan yang lebih tahan lama seperti kacang-kacangan, bumbu dapur (seperti garam, gula, dan lada), rempah, dan bawang dapat disimpan di wadah bersih dan kering pada suhu ruangan.
Dengan melakukan tiga langkah di atas, setidaknya sampah makanan dapat berkurang dan berdampak pada hal baik lainnya. Seperti mencegah pemanasan global serta membantu pemerintah mencapai target global dalam Sustainable Development Goals (SDGs) ke-12.5, yaitu mengurangi risiko bencana alam dan mempertahankan ketahanan pangan.
Penulis: Elisabeth Diandra Sandi dan Jessica Elisabeth Gunawan
Editor: Agatha Lintang Kinasih dan Abel Pramudya
Foto: Caroline Saskia
Sumber: oceanconservancy.org, menlhk.go.id, databoks.katadata.co.id, foodsustainability.eiu.com, researchgate.net, tirto.id, fao.org, advances.sciencemag.org, Riset Kesehatan Dasar 2018, theconversation.com, validnews.id, sdg2030indonesia.org