Tulisan ini merupakan hasil liputan Aqeela Ara Fayazza, Rachma Azahra, Keizya Ham, Grace Vilia, Muhammad Daffa Abyan pada Agustus 2022 untuk mata kuliah Data Driven Storytelling.
SERPONG, ULTIMAGZ.com – Dada terasa sesak, seolah-olah ada sesuatu yang ganjil dalam tubuh memaksa ingin keluar. Detty Revolyatuti, wanita berumur 66 tahun itu mengira hanya batuk biasa yang akan hilang dengan sendirinya. Batuk berkepanjangan akibat paparan debu batu bara yang dirasakan oleh Detty sudah terjadi mulai dari 2019 hingga 2022 secara konsisten.
Awal tahun 2022, kondisi Detty yang semakin memburuk membuat dirinya memutuskan untuk pergi ke puskesmas yang berlokasi di Rusunawa Marunda. Akan tetapi, Detty disarankan untuk ke rumah sakit karena fasilitas di puskesmas tidak memadai. Akhirnya, ia disarankan ke RSUD Kebantenan dan berujung ke RS Koja.
Baca juga: Suku Badui: Tekun Tradisi, Tolak Modernisasi
Detty tinggal di Rusunawa Marunda sejak 2017. Berjarak kurang lebih 500 meter dari rusunawa, terdapat PT KCN yang merupakan sebuah perusahaan industri bongkar muat batu bara. Perusahaan itu sudah mulai beroperasi dari 2012 dan selama beraktivitas sudah menerbangkan polusi debu halus batu bara ke udara.
Detty bercerita kepada kami bahwa sebelumnya ia tidak pernah memiliki riwayat penyakit pada pernapasan. Namun, pada April 2022 terjadi pencemaran udara di tempat tinggalnya secara intens dari perusahaan industri yang menerbangkan debu batu bara beserta campuran senyawa lain yang terkandung di dalamnya.
Pada akhirnya, Detty memutuskan untuk berkonsultasi ke rumah sakit karena kondisinya yang semakin memburuk. Pada Juli 2022, Detty diharuskan untuk melakukan operasi pada bagian perut karena dokter menyatakan bahwa ia mengidap penyakit hernia umbilikalis – kondisi tubuh yang terdapat tonjolan dari usus pada pusar.
“Makanya dibilangin, kalau ibu (mau) batuk usahakan jangan sampai batuk. Karena neken, sakit ini (perut),” jelas Detty sambil menunjuk perutnya. “Ini (perut) kalau dipegang juga masih ngilu. Kayak disesar, panjang gitu,” cerita Detty kepada kami saat ditemui pada Jumat (04/11/2022).
Buruknya kualitas udara di Jakarta mengakibatkan terganggunya kesehatan seseorang. Detty merupakan salah satu korban yang nyata akibat buruknya udara di Jakarta. Melihat dari kasus ini, kami pun tertarik untuk memahami lebih lanjut mengenai kualitas udara di Jakarta.
Jakarta yang dikenal sebagai pemilik kualitas udara terburuk di Indonesia membuat kami mencari tahu keselarasan antara data dan fakta yang ada di lapangan. Data yang kami temukan dari laporan IQAir 2021, membuktikan bahwa Jakarta memiliki kualitas udara terburuk di Indonesia dari kelima provinsi lainnya, yaitu Surabaya, Bandung, Semarang, Palembang, dan Duri. Terlebih dari itu, Indonesia juga dikategorikan sebagai negara dengan kualitas udara terburuk di dunia.
Untuk melihat buruknya kualitas udara tersebut, kami pun menemukan data dari laporan yang diolah oleh Dinas Lingkungan Hidup (DLH) DKI Jakarta mengenai kualitas udara di Jakarta yang dipantau selama 2021. DLH DKI Jakarta menempatkan stasiun pemantau kualitas udara (SPKU) untuk mengukur indeks standar pencemar udara (ISPU) di suatu lokasi.
Terdapat beberapa titik pusat di Jakarta yang terdeteksi sebagai daerah kualitas udara terburuk di daerah bagian Jakarta. Lubang Buaya (Jakarta Timur) sebagai peringkat pertama dengan rata-rata kualitas udara terburuk di Jakarta, yaitu 73.7 per bulan pada tahun 2021 yang diukur dalam satuan PM 2.5.
Udara yang dihirup manusia mengandung sejumlah partikel yang asing. Untuk mengetahui tingkat keamanan kualitas udara untuk dihirup manusia, udara diukur dengan melihat partikel (PM) yang terbang di atmosfer. Sektor kendaraan dan industri umumnya mengeluarkan partikel kecil dan halus berukuran PM 2.5 yang dapat langsung memasuki sistem peredaran darah hingga sampai ke otak. Hal tersebutlah yang kemudian mendukung peningkatan korban penyakit pernapasan. Berbeda dengan PM 10 yang berukuran lebih besar, tekstur partikel lebih kasar sehingga manusia dapat mencegah masuknya partikel tersebut hanya dengan bersin atau batuk.
Adapun dari Climate and Energy Campaigner (Air Pollution Specialist) Greenpeace Indonesia Bondan Andriyanu yang sempat kami wawancarai, mengatakan bahwa kotornya udara di Jakarta tidak hanya karena pelaku di daerah itu saja. Udara yang bergerak bebas membawa polutan berlalu-lalang di langit. Misalnya, Jakarta, Bandung, dan Banten yang memiliki interaksi udara menjadi semakin kotor karena saling menyumbang udara kotor.
“Berarti bisa jadi, sumber itu (penyebab udara kotor) juga ketika angin tertentu bisa sampai kepada daerah di luar Jakarta. Jadi, trans border-nya polusi ini menjadi concern-nya,” jelas Bondan dalam wawancara online pada Selasa (06/12/2022).
Angin dan kecepatan merupakan salah satu faktor yang memperburuk kualitas udara di suatu tempat karena menyebabkan semua partikel udara dari sumber polutan menjadi satu. Bondan juga mengatakan bahwa terdapat dua sumber pencemaran udara, yaitu sumber bergerak yang meliputi mobilitas kendaraan dan sumber tidak bergerak seperti pabrik industri.
Berdasarkan hasil riset yang dilakukan oleh mantan Unit Manager Traction Energy Asia Ricky Amukti dan timnya, akar permasalahan dari buruknya kualitas udara di Jakarta disebabkan oleh tiga faktor, yakni transportasi, industri, dan sampah. Dalam webinarnya yang berjudul “Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat terkait Tuntutan Udara Bersih Jakarta, Apa Langkah Selanjutnya?” pada 2021, Ricky juga menjelaskan bahwa populasi sepeda motor yang berlalu-lalang dari satu tempat ke tempat lainnya menjadi penyumbang utama polusi di Jakarta.
“Kalau transportasi kita tahu sendiri untuk jumlah kendaraan yang ada di Jakarta sangat besar. Mulai dari sepeda motor yang dari 16 juta unit, mobil penumpang yang 3,6 juta unit ada bus dan juga truk,” jelas Ricky.
Faktor lain dari buruknya kualitas udara di Jakarta adalah sektor industri yang memegang persentase terbesar kedua. Berdasarkan laporan pencemaran udara lintas batas di provinsi Jakarta, Banten, dan Jawa Barat yang dirilis oleh Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA) pada Agustus 2020, pencemaran lintas batas menimbulkan masalah kesehatan dan ekonomi yang cukup berat bagi warga Jakarta. Selain itu, berbagai sektor emisi seperti energi pembangkit listrik, transportasi umum, industri, penggunaan bahan bakar perumahan, dan pertanian juga dianggap sebagai sumber pencemaran yang krusial.
Faktanya, Jakarta juga merupakan salah satu kota dengan aktivitas industri yang sibuk. Kami mendapatkan data dari Badan Pusat Statistik dengan judul “Direktori Industri Manufaktur Provinsi DKI Jakarta 2021” mengenai kegiatan industri yang juga memengaruhi kualitas udara di Jakarta. Terdapat sebanyak 1.628 perusahaan besar yang tersebar di seluruh daerah bagian Jakarta.
Berdasarkan pernyataan dari dokter Efriadi Ismail, Sp. P (K), senyawa atau zat bahaya dari sektor industri berupa SO2 (sulfur dioksida), NOx (nitrogen monoksida dan nitrogen dioksida), ozon, CO (karbon monoksida), dan senyawa organik volatil tertentu. Apabila senyawa atau zat bahaya tersebut terhirup secara terus-menerus tentunya akan mengakibatkan iritasi pada paru-paru dan jaringannya. Hal tersebut dapat memicu efek jangka pendek dan jangka panjang. Efek jangka pendek meliputi batuk, mata merah, dan hidung berair. Sedangkan, efek jangka panjang meliputi penurunan fungsi paru-paru, risiko kanker, dan risiko hiperaktivitas bronkus.
Dokter Efriadi juga menyatakan jika seseorang terus menerus terpapar polusi secara intens akan memengaruhi jangka waktu hidupnya. Hal tersebut berakibat dari saluran pernapasan yang mengalami peradangan menahun sehingga menimbulkan kerusakan yang permanen.
“Dampaknya mulai dari keluhan sesak dan batuk berulang yang bahkan cenderung menetap, yang membuat seseorang tersebut mengalami gangguan pernapasan sehingga harus berkunjung ke RS untuk menjalani pengobatan,” ujarnya saat kami wawancarai via chat pada Rabu (21/12/2022).
Untuk menangani hal ini, kami meminta saran kepada Bondan Adriyanu perihal upaya sederhana apa saja yang dapat masyarakat lakukan untuk membantu mengurangi polusi udara.
Baca juga: Virus Zombie Ditemukan, Ancaman Bahaya Masih Diteliti
Gerakan massal untuk bertransportasi tanpa mengeluarkan polusi, seperti bersepeda setiap hari untuk berkegiatan dan pergi ke kantor merupakan hal yang paling efektif menurutnya. Bondan juga menjelaskan opsi kedua untuk mengurangi polusi udara, yaitu dengan berjalan kaki dan menggunakan transportasi umum.
“Ketika sudah banyak individu yang sadar diri, (yaitu) mengubah kebiasaan lifestyle-nya dalam bermobilitas,” tutup Bondan.
Penulis: Aqeela Ara Fayazza (Jurnalistik 2021), Rachma Azahra (Jurnalistik 2021), Keizya Ham (Jurnalistik 2021), Grace Vilia (Jurnalistik 2021), Muhammad Daffa Abyan (Jurnalistik 2021)
Editor: Nadia Indrawinata
Foto: Grace Vilia (Jurnalistik 2021), Muhammad Daffa Abyan (Jurnalistik 2021)
Infografik: Rachma Azahra (Jurnalistik 2021), Keizya Ham (Jurnalistik 2021), Muhammad Daffa Abyan (Jurnalistik 2021)