JAKARTA, ULTIMAGZ.com – Munculnya era media sosial memudahkan banyak orang berlindung di balik anonimitas. Kekerasan Berbasis Gender Siber (KBGS) rasanya sudah tidak asing terjadi, terutama pada masa pandemi yang terbukti menyebabkan peningkatan akses pengguna internet. Sayangnya, penanganan yang dilakukan selalu datang terlambat dan mengakibatkan korban secara masif bertambah dari hari ke hari.
Melansir dari Girlup Unair, Kekerasan Berbasis Gender Siber (KBGS) merupakan segala bentuk pelecehan dan kekerasan yang berkaitan dengan motif gender dan dilakukan secara daring atau di ranah siber. Bentuk KBGS tidak terbatas, tetapi biasanya berupa pencurian dan penyebaran data pribadi tanpa izin (doxing), penguntitan secara daring (cyber stalking), ujaran kebencian (hate speech), dan ancaman serta intimidasi secara daring (cyber threats and intimidation).
Selain itu, KBGS dapat juga berupa pengunggahan konten intim seseorang secara non-konsensual (non-consensual intimate image), peretasan (hacking), perundungan di ranah siber (cyber bullying), pencurian dan penggunaan data pribadi tanpa izin (identity theft), pemerasan menggunakan konten intim seseorang (sextortion), dan masih banyak bentuk lainnya.
Bahayanya, semua orang yang memiliki niat akan dengan mudah melakukan KBGS. Motif yang melandasi KBGS juga bermacam-macam. Maka dari itu, semua orang dapat menjadi korban. Melansir dari The Conversation, data menunjukkan terdapat 281 kasus KBGS sepanjang 2019, tetapi meningkat drastis pada 2020 dengan jumlah 659 kasus dalam rentang 10 bulan.
Kasus-kasus nyata
Salah satu kasus yang paling ramai dibicarakan adalah kasus Gisella Anastasia. Salah satu pengguna Twitter menyebarkan konten intim Gisel di publik tanpa persetujuan dari yang bersangkutan. Mirisnya, semenjak video tersebut viral, Gisel dihakimi oleh publik, data pribadi dan privasinya dibongkar, mendapat ujaran kebencian, dan juga intimidasi secara daring.
Belum berhenti sampai di sana, polisi pun memanggil Gisella Anastasia sebagai tersangka tindak pidana pornografi. Padahal, penyebaran video tersebut bukan dilakukan oleh dirinya.
Hal ini membuktikan bahwa hukum Indonesia belum berpihak kepada korban. Bukankah sudah jelas bahwa Gisella Anastasia merupakan korban? Bagaimana dengan hukuman yang diterima oleh pelaku? Apakah publik pantas menghakimi Gisella yang seharusnya dilindungi?
Terdapat juga kasus yang baru-baru ini ramai, mengenai seorang pemuda berinisial AM yang melakukan berbagai bentuk kekerasan kepada kekasihnya. Mulai dari kata-kata kasar, pukulan, hingga ancaman untuk menyebarkan konten intim milik korban.
Ancaman untuk menyebarkan konten intim merupakan salah satu bentuk KBGS yang juga marak terjadi, terutama di dalam hubungan toxic. Biasanya pelaku selalu menyudutkan dan memanipulasi korban dengan ancaman semacam ini agar korban mau mengikuti apa yang dikatakan oleh pelaku. Pada kebanyakan kasus, korban juga tidak dapat melakukan apa pun karena adanya ketakutan.
Baca juga: Bentuk Kekerasan Seksual Tidak Melulu Perkosaan
Oleh karenanya, ketika korban memutuskan untuk bersuara tentang ancaman yang didapat, ada baiknya untuk tidak menghakiminya, apalagi melimpahkan kesalahan kepada korban.
Kasus lain yang juga termasuk ke dalam bentuk KBGS adalah komentar-komentar buruk yang menyerang korban berdasarkan gender tertentu. Tidak asing rasanya publik melontarkan ucapan-ucapan seperti, “Kalau yang melakukan cowok ganteng, cewek cantik pasti beda sikapnya,” “Siapa suruh berpakaian seperti itu,”. Lontaran semacam ini seakan menjadikan korban sebagai objek yang boleh diperlakukan seenaknya. Sudah menjadi korban, disalahkan pula.
Kasus-kasus di atas hanyalah beberapa contoh dari banyak bentuk KBGS lainnya. Luasnya semesta teknologi membuktikan bahwa pentingnya memiliki kewaspadaan yang tinggi.
Dampak yang diterima korban
Berdasarkan panduan yang diberikan SAFENet (Southeast Asia Freedom of Expression Network), masing-masing korban atau penyintas KBGS akan mengalami dampak yang berbeda-beda. Namun, terdapat beberapa yang mungkin akan dialami oleh korban dan penyintas KBGS seperti di bawah ini.
- Kerugian psikologis: korban atau penyintas akan rentan mengalami depresi, gangguan kecemasan, dan ketakutan terhadap internet. Beberapa bahkan bunuh diri sebagai akibat dari apa yang telah dialaminya.
- Keterasingan sosial: korban atau penyintas akan menarik diri dari lingkungan sekitarnya, terutama bagi perempuan yang foto dan videonya didistribusikan tanpa persetujuan mereka. Korban akan merasa dipermalukan dan diejek di depan publik.
- Kerugian ekonomi: korban atau penyintas dapat menjadi pengangguran, kehilangan penghasilan karena nama baiknya telah dirusak.
- Mobilitas terbatas: korban atau penyintas akan kehilangan kemampuan untuk bergerak bebas dalam ruang daring maupun luring.
- Sensor diri: rasa takut yang dialami korban atau penyintas akan menghilangkan rasa kepercayaan terhadap keamanan menggunakan teknologi digital dan akhirnya menghilang dari dunia internet.
Semua dampak ini akan sangat merugikan korban dari sisi mana pun. Dengan adanya Kekerasan Berbasis Gender Siber, korban akan sangat dibatasi kemampuan mereka untuk mendapatkan manfaat dan peluang yang sama dengan orang lain, mulai dari pekerjaan, promosi, relasi, pengetahuan, dan juga sarana ekspresi diri.
Perlindungan diri dalam dunia daring
Dunia internet merupakan wadah yang sangat luas untuk meraih potensi, tetapi juga dipenuhi oleh kekerasan dan kejahatan pada dunia maya. Perlindungan terhadap privasi merupakan kunci utama untuk dapat melindungi diri, maka penting untuk dapat membatasi informasi diri dari jangkauan mata publik.
Berikut merupakan beberapa cara yang dapat dilakukan untuk melindungi diri di ranah daring.
- Selektif dalam mengunggah segala hal
Jangan mengunggah hal-hal yang bersifat privasi, intim, sensitif, dan juga data-data pribadi. Semakin sedikit orang lain mengetahui tentang kehidupan pribadi, akan semakin sedikit kesempatan untuk menyerang.
- Skeptis dengan segala hal dari internet
Berhati-hatilah dengan orang yang menanyakan hal-hal bersifat pribadi dan terlihat mencurigakan. Jika merasa tidak nyaman, segera blokir. Jangan mudah percaya dengan tautan-tautan yang terdengar asing.
- Menjaga kerahasiaan pin pada ponsel
Pasanglah sandi pada ponsel sebagai upaya untuk menghindari KBGS dari orang-orang terdekat. Untuk menghindari peretasan, ciptakan sandi yang kuat (panjang, mengandung huruf, angka, simbol), dan juga aktifkan verifikasi login.
Berdasarkan SAFENet (Southeast Asia Freedom of Expression Network), ketika menjadi korban KBGS, terdapat beberapa langkah saran yang dapat dilakukan. Namun, apa pun keputusan korban atau penyintas merupakan pilihan yang juga patut dihargai.
- Simpan bukti-bukti
Dokumentasikan hal-hal yang terjadi pada diri. Bukti dapat membantu jika korban atau penyintas ingin membagikan hal tersebut kepada publik dan mengajukan pengusutan kepada pihak berwenang.
- Pantau situasi yang dihadapi
Penting untuk mengerti situasi yang sedang dihadapi, kemudian tanyakan kepada diri sendiri, “Apakah mungkin untuk menghadapi pelaku sendiri?” Nantinya, korban atau penyintas dapat memutuskan sendiri pilihan yang paling baik untuk keadaan yang dialaminya.
- Menghubungi bantuan
Jika memerlukan bantuan, carilah individu, lembaga, organisasi, atau institusi terpercaya yang dapat memberikan bantuan terdekat, seperti bantuan pendampingan hukum melalui Lembaga Bantuan Hukum (LBH), pendampingan psikologis seperti layanan konseling, dan bantuan terkait keamanan digital.
- Lapor dan blokir pelaku
Media sosial selalu menyediakan opsi untuk melaporkan (report) dan memblokir pelaku atau akun-akun yang dianggap atau telah mencurigakan, membuat tidak nyaman, dan mengitimidasi diri.
Literasi media genting untuk dilaksanakan
Perlu ditekankan bahwa korban merupakan pihak yang dirugikan. Sayangnya, penanganan kasus KBGS di Indonesia masih sangat terbatas, bahkan belum ada payung hukum yang jelas mengenai hal ini. Karenanya, kemampuan aparat penegak hukum juga masih belum maksimal dalam menangani kasus-kasus KBGS secara tepat.
Edukasi yang menyeluruh mulai dari apa itu KBGS hingga bahaya yang dapat disebabkan oleh KBGS tidak terlaksanakan secara baik. Minimnya edukasi telah menyebabkan ketidak adilan bagi sebagian besar korban. Mereka harus dihakimi, beberapa malah dikriminalisasi karena melapor.
Atas alasan inilah, penting sekali untuk melaksanakan literasi media secara merata. Edukasi akan menjadi kunci utama untuk memberantas KBGS. Mulai dari bijak dalam menggunakan media sosial, pentingnya keberpihakan kepada korban, jejak digital yang akan selalu ada, kesadaran bahwa internet merupakan sebagian kecil dari kehidupan seseorang, dan lain-lain.
Tidak ada kata terlambat untuk memulai edukasi, dimulai dari langkah kecil. Perlahan-lahan internet dapat menjadi ruang aman bagi setiap penggunanya.
Penulis: Keisya Librani Chandra
Editor: Maria Helen Oktavia, Andi Annisa, Xena Olivia
Foto: magdalene.co
Sumber: Girl Up UNAIR, id.safenet.or.id, theconversation.com, komnasperempuan.go.id