SERPONG, ULTIMAGZ.com – Tidak sulit memperkirakan masa transisi siswa menjadi mahasiswa baru pada tahun ajaran ini akan menjadi lebih menantang secara psikologis. Hal ini dikarenakan tanpa situasi pandemi COVID-19 pun, mahasiswa baru sebenarnya perlu waktu untuk beradaptasi dengan proses pendidikan kuliah yang berbeda dari SMA.
Dengan situasi pandemi yang baru dan asing, mahasiswa baru menjadi lebih terbebani secara psikologis. Tak hanya itu, para mahasiswa baru ini diperkirakan mengalami kesulitan berlebih dalam beradaptasi karena mereka adalah generasi pertama yang mengalami awal masa perkuliahan secara daring ketika pandemi masih berlangsung.
Oleh karena itu, sesungguhnya mahasiswa baru membutuhkan perhatian lebih secara psikologis. Pasalnya, mahasiswa senior saja mengalami gangguan psikologis akibat pandemi COVID-19. Misalnya, penelitian dari Cina menunjukkan dari 7.143 mahasiswa responden, hampir seperempatnya (24,9%) mengalami anxiety atau kecemasan, yaitu 0,9% mengalami kecemasan berat, 2,7% mengalami kecemasan moderat, dan 21,3% mengalami kecemasan ringan.
Hasil penelitian tersebut menemukan beberapa faktor yang memengaruhi kecemasan mahasiswa. Faktor yang menambah kecemasan adalah tekanan ekonomi, dampak pada kehidupan sehari-hari, dan pendidikan yang tertunda. Selain itu, jarak yang jauh dalam jangka panjang di antara tiap-tiap orang juga diketahui menyebabkan kecemasan karena kurangnya hubungan interpersonal. Sebaliknya, faktor yang mengurangi kecemasan adalah social support atau dukungan sosial. Maka dari itu, penelitian ini menyarankan bahwa sebaiknya ada perhatian khusus terhadap kesehatan mental para mahasiswa selama COVID-19 masih menyebar.
Tekanan Masa Adaptasi dan Pandemi
Psikolog sekaligus dosen dari Universitas Atmajaya Jakarta, Weny Savitry, menerangkan bahwa masa transisi dari siswa menjadi mahasiswa baru itu saja memerlukan waktu adaptasi yang tidak singkat.
“Bahkan mahasiswa itu dalam situasi normal saja, bukan pandemi, adaptasinya itu bisa satu tahun pertama, bahkan ada yang lebih lama lagi, yaitu dua tahun,” kata Weny melalui wawancara lewat Zoom (12/08/2020).
Menurut psikolog pendidikan tersebut, terdapat beberapa faktor yang memengaruhi masa transisi siswa menjadi mahasiswa baru secara psikologis. Faktor pertama adalah jenjang perpindahan pendidikan dari SMA ke kuliah. Secara umum, tidak sedikit siswa yang kurang mempersiapkan diri sebelum masa transisi menjadi mahasiswa baru. Hal ini mengakibatkan mahasiswa bisa lalai dalam berkuliah, seperti gagal memahami istilah-istilah perkuliahan (contoh: SKS), mengatur waktu dengan baik karena mengira jadwal perkuliahan jauh lebih santai, tidak tahu bahwa dosen lebih sering membiarkan mahasiswa mandiri dan tidak mengejar-ngejar mahasiswa untuk mengerjakan tugas, dan lain-lain. Belum lagi, masalah sosial. Di SMA para siswa awalnya hanya menemui siswa lain dengan latar belakang yang sama, tapi mahasiswa baru akan menemui mahasiswa lain yang berasal dari agama, etnis, dan suku yang berbeda.
Weny menekankan bahwa tahun ini masalah jenjang perpindahan pendidikan dari SMA ke kuliah akan menjadi semakin berat karena waktu awal mulanya perhatian pada COVID-19 cenderung bersamaan dengan waktu siswa kelas 12 sudah lulus atau hanya perlu melakukan ujian. Ia mengatakan tidak sebaiknya berekspektasi mahasiswa baru akan sudah terbiasa dengan sistem belajar jarak jauh. Ekspektasi tersebut sebaiknya diletakkan pada siswa kelas 10 dan kelas 11 yang akan lebih terbiasa dengan sistem belajar jarak jauh pada saat mereka kuliah jika pandemi masih berlangsung.
Faktor kedua adalah situasi pandemi yang ujung kelangsungannya tidak pasti. Situasi yang tidak pasti membuat mahasiswa baru bertanya-tanya apakah mereka akan selamat atau tidak selama pandemi. Faktor ketiga adalah masalah psikososial, seperti calon mahasiswa baru yang mengalami masalah finansial karena orangtuanya kesulitan mencari penghasilan selama pandemi.
“Mungkin dari kampus memang perlu mengupayakan sekali agar mahasiswa yang kuliah itu bisa melalui fase penyesuaian dengan baik dan akhirnya mereka bisa kuliah dengan nyaman dan akhirnya mencapai prestasi yang baik,” tutur Weny.
Meskipun dalam masa pandemi, Weny menjelaskan bahwa sesungguhnya kampus bisa membantu fase penyesuaian mahasiswa walaupun perkuliahan akan dilakukan secara daring. Hal ini penting karena dapat mengurangi kecemasan mahasiswa dan memberikan kesan bahwa perkuliahan bisa dilakukan secara maksimal walaupun dilakukan dengan keterbatasan.
Upaya yang Bisa Dilakukan Kampus
Kampus harus siap menghadapi perubahan psikologis mahasiswa baru. Dalam hal ini, kampus bisa memakai hasil psikotes mahasiswa baru dan sejak awal memperhatikan mereka yang berpotensi rentan berdasarkan hasil tes tersebut. Kemudian, kampus bisa menetapkan kebijakan yang merawat hubungan interpersonal mahasiswa. Hal ini penting karena fokus remaja adalah membentuk pertemanan, sesuatu yang interpersonal.
Kebijakan merawat hubungan interpersonal mahasiswa ini pun bervariasi. Misalnya, kampus bisa menetapkan program mentoring yaitu program agar kakak kelas mendampingi mahasiswa baru terkait kehidupan di kampus pada masa awal perkuliahan. Dengan ini, kakak kelas bisa membantu kampus dalam membantu fase penyesuaian diri para mahasiswa baru dan efektif dalam jangka waktu beberapa bulan.
Alternatif lain adalah dosen diimbau untuk memberikan tugas yang memungkinkan mahasiswa baru bisa saling berinteraksi dan tidak individualis. Cara ini selain menambahkan hubungan interpersonal, juga memecahkan salah satu masalah ketika siswa bertransisi menjadi mahasiswa baru, yaitu kurangnya interaksi dengan mereka yang memiliki latar belakang yang berbeda, seperti etnis, agama, dan suku.
Selanjutnya, aktivitas Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) bisa dimulai lagi secara daring. UKM bisa membicarakan mengenai kegiatan perkumpulan mereka kepada para mahasiswa baru.
“Secara maksimal, mereka tetap bisa berinteraksi dan pertemuan itu sendiri sebenarnya masih bisa dilakukan secara online,” kata Weny. “Walaupun tidak sempurna menyelesaikan masalah, tapi paling tidak memberikan hubungan interpersonal.”
Di pihak lain, Psikolog Student Support Universitas Multimedia Nusantara (UMN), Hadyan Dhiozandi juga menyatakan bahwa masalah para mahasiswa baru adalah fase penyesuaian. Masalah ini semakin besar dengan ketidaksiapan belajar melalui daring yang menyebabkan penurunan motivasi belajar mahasiswa. Maka dari itu, pihak Student Support akan melakukan berbagai upaya untuk membantu mahasiswa menjaga kesehatan mental.
“Selama masa pandemi, Student Support tetap aktif menyediakan layanan konseling mahasiswa. Mahasiswa dapat secara terbuka bercerita kendala-kendala yang mereka alami,” tanggap Dhiozandi melalui surat elektronik (10/08/2020). Dikatakan olehnya bahwa mahasiswa dapat menceritakan kendala mereka kepada psikolog student support melalui bentuk penyelesaian yang paling sesuai.
“Konseling dapat berlangsung lewat media apa pun,” terusnya.
Tak hanya itu, Dhiozandi menekankan bahwa nantinya akan ada beberapa seminar daring terkait kesehatan mental dalam perkuliahan yang dapat diakses para mahasiswa. Seminar ini akan berbentuk webinar atau melalui siaran langsung Instagram.
“Hal ini akan sangat membantu mahasiswa untuk berlatih dan menjalin komunikasi tentang topik yang diminati, sehingga secara tidak langsung menambah koneksi dalam hubungan interpersonal.”
Penulis: Ignatius Raditya Nugraha
Editor: Abel Pramudya Nugrahadi
Foto: La Bomba Rifai Manullang, Kyra Gracella