SERPONG, ULTIMAGZ.com – Sutradara Film Dokumenter Tonny Trimarsanto menekankan rasa empati sebagai hal utama pembuatan film dokumenter. Hal ini disampaikan pada forum bertajuk Focus On Bedah Karya Tonny Trimarsanto yang digelar UCIFEST ke-8, Kamis (23/11/17).
“Lahirnya ide saya membuat film itu biasanya saya selalu melihat apa yang dirasakan oleh sekitar saya, apa yang dipikirkan oleh orang-orang yang ada di sekitar saya, apa yang mereka khawatirkan, itu saja. Lalu saya cari apa sih yang penting,” jelasnya di hadapan puluhan mahasiswa yang hadir dalam forum yang diselenggarakan di Lecture Hall Universitas Multimedia Nusantara (UMN).
Forum tersebut juga menayangkan 3 karya garapan Tonny yaitu It’s A Beautiful Day, Renita Renita, dan Gerabah Plastik. Tony menjelaskan bahwa diperlukan gaya pendekatan berbeda untuk ketiga film tersebut.
Berbeda dengan Gerabah Plastik yang menonjolkan teknik pengambilan gambar, film berjudul It’s A Beautiful Day lebih berfokus pada makna cerita yang ingin disampaikan. Film berdurasi 23 menit ini mengisahkan tentang konflik antara perusahaan air minum dengan warga. Proses pengerjaannya dilakukan hanya dalam waktu 2 jam. Penyampaiannya pun berbeda dengan film lainnya, yaitu melalui pementasan wayang. Film ini terbilang unik lantaran memadukan unsur seni pertunjukan dan dokumenter isu sosial.
“Saya butuh pendekatan yang berbeda untuk mensiasati isu sensitif. Ini menyangkut perusahaan besar, mungkin nyawa saya itu enggak ada apa-apanya,” jawab Tony saat ditanya soal alasan memilih wayang sebagai media pendekatan isu dalam film tersebut.
Selain menjadi pembicara, Tony juga menjadi salah satu juri dalam perlombaan UCIFEST. Ia juga dikenal sebagai sutradara spesialis isu transgender. Renita, Renita menjadi film bertemakan transgender pertamanya. Film ini menceritakan tentang Muhammad Zein alias Renita yang merupakan seorang waria asal Donggala, Sulawesi Tengah. Tumbuh di lingkungan yang religius, Ren terpaksa harus minggat karena menerima penolakan dari keluarganya atas pilihannya menjadi wanita.
Hingga saat ini, Tonny telah menggarap 5 buah film dokumenter dengan isu serupa. Pria kelahiran 1970 tersebut mengaku selalu tertarik menyoroti isu golongan sosial minoritas. Menurutnya, film dokumenter membutuhkan keberpihakan, sehingga penting untuk menjaga kedekatan dengan narasumber.
“Ketika saya menjelaskan bahwa saya ingin membuat film advokasi, saya ingin membuat film tentang personal Anda, dari situ mereka mulai nyaman secara kedekatan, ” jelasnya.
Belasan tahun menggeluti film dokumenter, sejumlah penghargaan telah diraihnya, baik dari dalam negri maupun mancanegara. Salah satunya ialah karyanya denganj udul Bulu Mata yang berhasil meraih penghargaan film dokumenter panjang terbaik pada Festival Film Indonesia (FFI) 2017.
“Saya juga kaget kenapa ada terobosan keberanian juri-juri (FFI) yang memilih film ini,” ungkap Tonny.
(Baca juga: Yang Terbaik di Festival Film Indonesia 2017)
Bulu Mata mengangkat cerita kaum waria di Aceh sebagai contoh mengadvokasi kesetaraan transgender di sejumlah wilayah. Dengan alasan keselamatan para narasumbernya, film tersebut tidak ditayangkan di Aceh hingga saat ini.
Penulis : Anindya Wahyu Paramita
Editor: Ivan Jonathan
foto: Felisitasya Manukbua