JAKARTA, ULTIMAGZ.com – Alunan bunyi-bunyian khas Minangkabau menjadi sajian utama dalam Sandiwara Pekaba yang ditampilkan oleh Ranah Performing Arts Company (PAC) di Galeri Indonesia Kaya, Minggu (03/11/19). Penampilan yang berdurasi kurang lebih 120 menit ini juga memberikan aksi teatrikal dari para pemain meskipun minim kata-kata yang terlontar.
Sandiwara Pekaba bercerita tentang para pakaba atau dikenal sebagai juru cerita dalam tradisi lisan Minangkabau yang satu sama lainnya bertarung dalam bahasa. Hanya saja, bahasa yang digunakan bukanlah kata-kata verbal, melainkan bunyi-bunyian dari beberapa instrumen yang dimainkan. Instrumen yang dipakai pun sederhana seperti meja, piring, nampan, dan salah satu alat musik khas Minangkabau, Dikia Pano.
“Pemain dalam karya ini adalah para Pakaba yang saling bertarung menggunakan bahasa. Tapi, bahasa disini dalam pengertian tidak hanya kata atau kalimat verbal, namun bunyi bisa datang dari mana saja,” ujar Direktur Artistik Ranah PAC, Metron Masdison.
Tak hanya bunyi-bunyian, sandiwara ini digarap apik dengan beberapa aksi silat khas Minang. Para pemain memanfaatkan meja sebagai media untuk melakukan aksi silatnya. Selain itu, pancaran tata cahaya menambah intim pertarungan antar Pakaba ini yang akhirnya membentuk instrumen baru yang layak dinikmati.
Sandiwara ini juga bukan pertama kali dipentaskan. Sejak tahun 2014, Sandiwara Pekaba sudah mulai dipentaskan ke berbagai tempat dengan formasi pemain yang telah banyak mengalami perubahan dan riset yang dilakukan bertahun-tahun. Pentas di Galeri Indonesia Kaya ini menjadi formasi paling anyar dari sandiwara tersebut.
“Kita pernah pakai pemain wanita juga sebelumnya, namun karena berbagai alasan akhirnya pemain ini memilih mundur,” ujar Metron.
Metron juga mengaku bahwa pementasan sandiwara pekaba tidak melulu tampil dalam ruangan indoor yang dipenuhi tata cahaya. Suatu kali, pementasan ini juga pernah tampil di ruang terbuka seperti lapangan dan pasar.
Dalam perpaduan bunyi yang dihasilkan oleh para pekaba, tampak pula emosi yang ditonjolkan layaknya sebuah teater dengan banyak percakapan. Metron bilang segala bunyi-bunyian yang diciptakan oleh pemain ini memang terjadi secara lisan sesuai dengan cerita yang ingin dibawakan oleh masing-masing pemain.
“Tak ada filosofi khusus dari setiap ketukan atau pukulan yang diciptakan karena dibiarkan memiliki makna yang luas sesuai interpretasi penonton,” pungkas Metron.
Penulis: Adrianus Dwi Octaviano
Editor: Nabila Ulfa Jayanti
Foto: Caroline Saskia