JAKARTA, ULTIMAGZ.com – Pada 8 Maret 2020 silam, bertepatan dengan Hari Perempuan Internasional, layanan streaming Netflix merilis sebuah film pendek bertemakan realita pernikahan paksa dini bagi perempuan karena tuntutan budaya dan keluarga berjudul “Sitara: Lets Girls Dream”. Naasnya, kejadian serupa masih relevan hingga saat ini.
“Sitara: Let Girls Dream” menggunakan latar tempat Pakistan. Adegan dimulai dengan memperkenalkan tokoh bernama Pari, seorang gadis muda berumur 14 tahun dan adik perempuannya yang berumur 6 tahun, Mehr yang sedang menerbangkan pesawat kertas di bagian atap rumah mereka.
Ketika Pari dan Mehr melihat ayah mereka pulang, keduanya segera kembali ke rumah untuk makan bersama. Suasana rumah memperlihatkan bahwa sang ayah merupakan pemegang kuasa dalam keluarga. Hal ini dibuktikan dari Pari dan Mehr yang menunduk hormat saat melihat ayahnya masuk ke dalam rumah. Saat sang ayah duduk di atas kursi, anggota keluarga yang lain duduk di lantai beralaskan karpet.
Karena satu hal, sang ibu marah dengan ayah mereka. Anak-anak pun diperintah untuk masuk ke dalam kamar dan meninggalkan kedua orangtuanya. Ketika malam hari tiba, Pari membaca buku mengenai pesawat terbang. Dengan kedua adegan yang terus berhubungan dengan pesawat, dapat disimpulkan bahwa Pari memiliki cita-cita untuk menjadi seorang pilot.
Keesokan harinya, Pari diminta untuk menikah secara tiba-tiba. Setelah berpakaian selayaknya pengantin, ia diarahkan untuk bertemu dengan pasangannya yang umurnya sangat jauh di atas Pari. Keadaan berubah menjadi sedih, karena Mehr yang awalnya tidak mengerti perlahan menjadi paham bahwa sekarang Pari sudah tidak dapat meraih mimpinya menjadi seorang pilot. Ia akhirnya memberikan tanda hormat terakhir kepada Pari, sebelum sang kakak dibawa pergi oleh keluarga pasangan barunya.
Realita Pernikahan Anak di Indonesia
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik pada Maret 2020, angka pernikahan anak di bawah usia 16 tahun 2,16 persen (516 ribu) dan pada usia 16-18 tahun sebanyak 19,68 persen (5,1 juta anak). Meskipun mengalami penurunan dari pada 2017-2019, angka ini masih tergolong sangat besar.
Bahkan, melansir dari kompas.com, Indonesia menduduki peringkat ke-2 di ASEAN dan peringkat ke-8 di dunia untuk kasus pernikahan anak. Tentu saja ini memprihatinkan dan mengkhawatirkan.
Jika melihat dari aspek geografis, tren angka pernikahan anak dua kali lipat lebih banyak terjadi pada anak perempuan dari pedesaan dibandingkan dengan perkotaan.
Alasan dari pernikahan dini dapat saja bermacam-macam. Biasanya dikarenakan warisan budaya yang melihat perempuan berada di bawah laki-laki, sehingga perlu untuk ‘manut’ saja ketika ada yang ingin melamar—takut berbuat zina sebelum menikah, takut dijadikan perbincangan oleh tetangga, dan lain-lain.
Perlu untuk disadari bahwa pernikahan anak memiliki banyak kerugian. Mulai dari hilangnya kesempatan untuk mendapatkan pendidikan, belum mampu menyelesaikan masalah secara dewasa, menghilangkan masa-masa bertumbuh dan eksplorasi, belum memiliki pekerjaan yang stabil untuk menunjang kehidupannya, dan masih banyak lainnya.
Untuk mengatasi hal ini, pemerintah sudah bergerak dengan mengesahkan Undang-Undang No. 16 tahun 2019 sebagai perubahan atas Undang-Undang Nomor. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Hal yang direvisi berisi bahwa batas minimal menikah laki-laki dan perempuan yang akan menikah sekarang menjadi minimal di usia 19 tahun. Sebelumnya, batas usia menikah bagi laki laki ialah 19 tahun dan perempuan 16 tahun.
Namun, tentu saja perlu usaha yang lebih dari pemerintah untuk terus mengawasi agar pernikahan di usia muda dapat benar-benar diberantas. Selain peraturan, perlu juga edukasi menyeluruh, baik kepada orangtua dan anak mengenai kerugian dan dampak negatif dari pernikahan di usia dini, mimpi yang dapat diraih oleh anak-anak muda untuk membangun bangsa, dan sikap berpikir ke depan mengenai masa depan dirinya sendiri.
Merenggut Mimpi
Atas alasan itu, “Sitara” dapat menjadi ‘tamparan’ bagi masyarakat Indonesia. Pada kenyataannya, setiap kali orangtua memaksa anaknya untuk melaksanakan pernikahan dini, akan semakin banyak mimpi-mimpi yang hilang.
Dengan animasi apik, film berdurasi 15 menit ini memiliki moral kuat meskipun tanpa dialog. “Sitara” menunjukkan realita bahwa banyak mimpi hebat seorang perempuan yang harus terpendam akibat tuntutan budaya untuk menikah muda.
Film yang disutradarai oleh Sharmeen Obaid-Chinoy ini dapat memotret secara tersirat mengenai bahwa di dunia yang indah (digambarkan melalui animasi berwarna, indah, dan detail), terdapat suara perempuan yang dibungkam, hak perempuan yang direnggut, yang dapat disadari karena film ini memilih untuk tidak memakai dialog sama sekali,
Maka dari itu, sudah menjadi tugas bersama untuk menyadari dan memberantas pernikahan dini karena banyak alasan yang mendasari. Mulai dari hak asasi, kesetaraan gender, hingga kesempatan yang sama bagi setiap orang untuk memilih jalan hidupnya sendiri.
Penulis: Keisya Librani Chandra
Editor: Xena Olivia
Sumber: Netflix, Kompas.com, Lokadata.id, dbknews.com, Vice.com
Foto: bolsanerd.home.blog