“My happy stories will make my readers happy, I have my happy stories and the sad one” – Justin Gunawan
SERPONG, ULTIMAGZ.com – Interdependensi atau kebergantungan adalah sesuatu yang fundamental pada setiap manusia. Hal itu bermula semenjak kita lahir, yaitu kebutuhan akan cinta dan perhatian dari orangtua. Awalnya, karena orangtua, sebagian besar dari kita akan memaknai cinta sebagai ekspresi saling memberi dan menerima tanpa syarat. Namun seiring berjalannya waktu, cinta kita semakin bersyarat.
Semakin dewasa, makna cinta tidak jarang menjadi transaksi yang konvensional antara keluarga, kekasih, sahabat, dan komunitas. Alih-alih memberi perhatian, cinta malah menjadi justifikasi untuk menuntut ego. Ironisnya, pengertian anak-anak mengenai cinta bisa melampaui pengertian orang dewasa, yaitu memberikan perhatian hanya karena mencintai orang tersebut.
Salah satu anak tersebut adalah Justin Gunawan, anak berumur delapan tahun yang telah menulis puluhan tulisan mengenai cinta dan perhatian melalui bukunya, “The Words of Love”. “The Words of Love” adalah kumpulan untaian tulisan-tulisan berbahasa Inggris dari pemikiran Justin tentang hidup, yaitu Words for the Loved Ones (keluarga, teman), Words for Praise Him (Tuhan), Words of Encouragement (dorongan semangat, menghadapi kesulitan). Kesederhanaan, kedalaman, dan pemilihan kosakata Justin adalah kekuatan dari buku ini.
Motif Justin sungguh sederhana. Anak kelas tiga SD tersebut ingin membagikan pemikirannya melalui tulisan-tulisannya.
“Menulis adalah hal yang saya sukai. Karena saya bisa membagikan cerita-cerita saya saat kata sulit untuk diucapkan. Kata tersebut lebih mudah untuk dituliskan,” tulis Justin. “Kisah hidup saya, imajinasi saya, dan harapan saya. Saya bisa menuliskan kata-kata yang bisa menyentuh lembut orang-orang, memperkuat mereka, dan akan mendorong semangat mereka.”
Rasanya tak janggal jika menganggap Justin adalah pribadi yang dewasa melalui tulisan-tulisannya. Misalnya saja, salah satu deskripsi Justin mengenai keluarga: “Tempat yang aman untuk menjadi diri sendiri dan selalu diterima.” Atau juga, deskripsi mengenai teman: “Aku tidak harus menyenangkan semua orang atau mengubah diriku. Aku dapat berteman dengan orang yang tulus menerima diriku, itulah teman yang sesungguhnya.”
Ibaratnya, dalam umur delapan tahun, Justin telah menjadi seorang dewasa yang pulang ke pelukan orang tuanya setelah merantau bertahun-tahun. Atau juga, Justin telah mempunyai sahabat dari banyaknya teman yang tidak menerima dirinya seutuhnya. Tidak semua anak-anak bisa mempunyai pemikiran seperti ini.
Selain itu, dorongan semangatnya juga mempunyai kebenaran. Misalnya, Justin menulis mengenai rasa khawatir sebagai berikut. “Di dunia yang tidak sempurna ku selalu merisaukan seberapa berharganya aku, karena mengikuti arti kesempurnaan yang berlaku di dunia. Temanku, jangan khawatir,” tulis Justin.
Jika dideskripsikan, maka Justin adalah sosok anak yang mencintai orangtua, sahabat, Tuhan, dan mempunyai semangat untuk mendorong orang lain. Ironisnya, apakah semua orang dewasa sudah menjadi sosok sedimikian rupa? Mungkin, kadang kita harus mengakui bahwa interdepedensi cinta dan perhatian orang dewasa cenderung memudar dan seorang anak polos dapat kembali mengingatkan kita.
Penulis: Ignatius Raditya Nugraha
Editor: Nabila Ulfa Jayanti
Foto: elexmedia.id