JAKARTA, ULTIMAGZ.com — Indonesia Kita kembali hadir dengan tajuk Jalan Kebudayaan Jalan Kemanusiaan melalui lakon Toean Besar yang diselenggarakan di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta pada 20 hingga 21 September 2019. Pementasan ke-33 ini sarat akan pesan untuk pemimpin negeri.
Kisah berawal dari kasak-kusuk di sebuah negeri tentang kabar datangnya tamu raja yang disebut sebagai Toean Besar.
“Raja hanya mau menemui Toean Besar,” kata pembantu istana yang diperankan oleh Inayah Wahid.
Satu per satu pihak mulai menghalalkan segala cara untuk menjadi si Toean Besar. Mereka mengubah penampilan dan sikap sambil menerka-nerka sosok Toean Besar yang dinanti raja.
Para tokoh juga saling bertukar suku. Marwoto yang diawal penampilannya diperkenalkan sebagai konglomerat asal tanah Jawa, menyamar menjadi saudagar asal Cina. Demikian dengan Abdur Arsyad yang mendapat lakon sebagai anak Marwoto yang berdarah Papua, tetapi dipaksa berpenampilan Jawa.
Lain lagi dengan Cak Lontong dan Akbar yang menyamar sebagai pasangan suami istri asal Arab Saudi. Cak Lontong menginterpretasikan sosok Toean Besar sebagai saudagar minyak dari tanah Arab. Bersama Akbar, Cak Lontong mengubah identitas dirinya agar dapat menemui raja demi mendapatkan kursi menteri.

Sarat sindiran sosial dan politik
Sejak awal, pertunjukkan ini setia menyinggung beragam permasalahan yang terjadi di tanah air. Sudah menjadi ciri khas pertunjukkan Indonesia Kita untuk menyuarakan kritikan bernuansa sosial dan politik.
Sesaat setelah tirai panggung dibuka, penonton diajak untuk mendengar rangkaian berita radio yang mengingatkan pada gaya nyeleneh Warkop DKI kala memarodikan siaran Dunia dalam Berita. Sebagai adegan pembuka, berita radio itu sukses menyinggung sejumlah isu yang masih hangat dibahas, mulai dari perpindahan ibu kota, kabut asap, hingga pelemahan KPK.
“Penjual obat kuat ilegal akhirnya dibebaskan karena ternyata obat kuat diperlukan untuk pelemahan KPK,” salah satu isi berita yang mengundang gelak tawa penonton.
Banyak sindiran pemerintah juga kerap dilontarkan oleh Inayah Wahid, putri dari Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid. Tak terkecuali soal RUU KUHP yang masih menjadi polemik.
“Nanti kalau (RUU KUHP) sudah disahkan, ini pertunjukkan terakhir lo,” ucapnya diiringi riuh penonton.
(Baca juga: RUU PKS, KUHP, dan KPK: Kekerasan Seksual Dilupakan, Kriminalisasi Diprioritaskan)
Tidak ketinggalan, perselisihan KPAI dan PB Djarum juga ikut disinggung dalam salah satu adegan yang dimainkan Inayah.
“Aku kan kekanak-kanakan, takut kalau main badminton sekarang. Takut sama itu… KPAI,” katanya.
(Baca juga: Selamat Tinggal Audisi Beasiswa PB Djarum di Tahun 2020)
Dari kabut asap Sumatra hingga intimidasi Papua
Pembahasan isu asap di Sumatra berawal dari penampilan Mucle sebagai penyanyi istana yang terus menyanyikan lagu asli Jakarta. Pilihan lagu Mucle pun diprotes Boris Bokir, komika asal Medan, Sumatra Utara yang berperan sebagai pengusaha.
“Jakarta terus. Dari Sumatra kek sekali-kali!” protes Boris.
“Apa yang dihasilkan Sumatra?” ujar Mucle meremehkan. “Sumatra punya… asap,” jawab Boris.
Sontak jawaban Boris yang bernada ragu itu membangkitkan tawa para penonton yang memenuhi ruang teater Graha Bakti Budaya. Sesaat setelah tawa mereda, Mucle kembali melontarkan sindirannya, “Anda tidak sadar, asap di Sumatra itu pemiliknya ada di Jakarta.”
Tidak berhenti sampai masalah kabut asap, lakon Toean Besar menyelipkan sindiran atas isu intimidasi warga Papua. Sindiran konflik sosial ini disampaikan melalui peran Abdur, di mana komika yang berperan sebagai anak Marwoto itu beberapa kali diabaikan oleh pemain lain. Salah satunya oleh Marwoto, ketika ia memperkenalkan keempat anaknya kepada juru bicara istana. Perkenalan itu hanya berhenti sampai di Boris, sedangkan nama Abdur sebagai anak paling muda tidak disebut oleh Marwoto.
“Bapak tidak adil! Bapak beri mereka tanah, rumah, bisnis, tapi aku apa? Listrik saja tidak ada,” protes Abdur pada Marwoto.
Dialog tersebut sekaligus menggambarkan perkembangan pembangunan di Papua yang banyak tertinggal di bandingkan pulau lainnya di Indonesia. Seperti peran Abdur dalam lakon Toean Besar, banyak pihak menilai pemerintah Indonesia sering “menomorduakan” Papua.
Lakon ditutup dengan pesan agar pemimpin selalu menghormati rakyatnya. Jauh dari apa yang dibayangkan banyak pihak, Toean Besar yang dimaksud adalah rakyat.
“Kalian pikir Toean Besar itu saudagar dari Arab, China, orang-orang asing itu? Toean Besar itu adalah rakyat. Rakyat yang selama ini kalian permainkan nasibnya,” tutur sang raja yang ternyata menyamar sebagai badut istana di sepanjang lakon.
Penulis: Anindya Wahyu Paramita
Editor: Audrie Safira Maulana
Foto: Kyra Gracella