LOMBOK, ULTIMAGZ.com – Jika mendengar frasa ‘kawin lari’, umumnya berbagai asumsi negatif akan muncul di benak kita. Namun, apa jadinya jika kawin lari justru menjadi sebuah cara terhormat untuk melamar seorang perempuan?
Tradisi kawin lari atau kawin culik merupakan budaya khas suku Sasak, suku asli Lombok yang tinggal di Desa Sade, Kecamatan Pujut, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat. Bermodalkan keberanian dan rasa cinta antardua orang, tradisi ini tetap dipertahankan masyarakat sebagai indikasi keseriusan seorang pria dengan seorang perempuan.
Pasangan yang memutuskan untuk kawin lari atau kawin culik akan bertemu di pohon cinta. Tak ada yang spesial dari pohon cinta ini, hanya sebuah pohon mati dengan batang bercabang, lokasi pohon itu sendiri tersebar di tengah-tengah desa. Namun, kesakralan tetap dijaga, sebab setiap laki-laki dan perempuan yang bertemu di pohon cinta niscaya akan jatuh cinta.
“Lintas generasi sudah digunakan pohon cinta itu, jadi jika sepasang manusia hendak melakukan ritual ini maka bertemunya di lokasi tersebut. Siapapun yang bertemu di lokasi tersebut dipercaya akan tumbuh cinta dan cintanya akan abadi,” ujar salah satu pemandu wisata di Desa Sade, Amadesta.
Akan tetapi, jangan membayangkan tradisi kawin lari atau kawin culik ini akan selesai setelah pihak pria membawa pergi pihak perempuan. Setelah ‘penculikan’ tersebut, sang pria akan membawa sang perempuan menginap ke tempat tinggal salah satu sanak saudaranya. Pada umumnya, proses ini akan berlangsung selama seminggu.
Proses penculikan pun harus dipikirkan dengan matang. Jika penculikan diketahui atau tertangkap basah oleh keluarga pihak perempuan, maka sang pria akan dikejar dan bila berhasil ditangkap pernikahan akan dibatalkan.
Setelah pihak keluarga perempuan sadar bahwa anaknya tak kunjung pulang, mereka akan mengutus seorang pejati (kurir) untuk mengabarkan hal ini ke kepala desa. Kemudian, kabar akan disebarkan ke seluruh desa, dan di sini letak perbedaan kawin lari suku Sasak dengan kawin lari yang dikenal secara luas, yakni pihak pria akan memberitahukan bahwa anak perempuan keluarga tersebut sudah dibawanya.
“Setelah membawa, barulah si pria nanti bawa si perempuan pulang ke rumah dengan iring-iringan meriah. Pakai musik, tari-tarian, dan bawa seserahan. Untuk yang beda daerah atau suku, seserahannya lebih mahal pakai dua ekor sapi. Tapi kalau sesama Sasak cukup seperangkat alat sholat pun ‘jadi’,” tambah Amadesta.
Penulis: Diana Valencia
Editor: Hilel Hodawya
Ilustrasi: Diana Valencia