SERPONG, ULTIMAGZ.com – Ultimates, kalian pasti pernah dengar istilah pedagang kaki lima (PKL), bukan? Namun, pernahkah Ultimates bertanya-tanya, kenapa mereka disebut dengan sebutan unik ini?
Beberapa orang berspekulasi bahwa istilah ini lahir karena jumlah tiang dari tenda yang umumnya digunakan oleh pedagang kaki lima. Ada juga yang mengira dari jumlah penopang gerobak. Akan tetapi, ternyata spekulasi ini salah besar.
Jika ditelusuri dari sejarahnya, istilah ‘kaki lima’ ini sudah digunakan oleh masyarakat sekitar sejak 200 tahun yang lalu, yaitu pada 1800-an. Asal-usul ini bermula dari masa kepemimpinan Letnan Gubernus Thomas Stamford Raffles asal Belanda yang sedang menduduki daerah-daerah di Nusantara (sekarang Indonesia). Saat itu, Raffles memerintahkan pemilik-pemilik gedung di jalan-jalan besar Batavia (sekarang Jakarta) untuk menyediakan trotoar untuk pejalan kaki selebar kurang lebih 150 cm atau 5 kaki.
Ketika mandat tersebut terlaksana, pedagang-pedagang kaum Bumi Putera (pribumi) malah menggunakan ruang itu untuk menjajakan barang dagangan mereka kepada pejalan kaki. Pada masa itu, barang yang diperdagangkan di trotoar sangat beragam, mulai dari barang kelontong, mainan anak, hingga obat-obatan. Namun ,uniknya, sangat sedikit pedagang kaki lima yang menjual makanan pada masa itu. Hal ini dikarenakan pedagang makanan umumnya menjajakan produknya dengan terus bergerak menggunakan gerobak atau pikulan.
Ukuran dari trotoar ini dijadikan sebutan mereka yang berdagang di terotoar atau pinggir jalan. Sebutan ‘kaki lima’ digunakan karena Bahasa Melayu sebagai bahasa sehari-hari masyarakat pada saat itu. Mereka menggunakan format kata keterangan sebelum kata objek, sehingga penyebutannya bukan lima kaki. Dari Batavia, istilah ini kemudian semakin menyebar dari mulut ke mulut hingga daerah-daerah lain di Pulau Jawa dan pulau-pulau di sekitarnya seperti Sumatera dan Kalimatan.
Baca juga: Rekomendasi Hidangan Kuliner Lezat di Surabaya
Jumlah pedagang yang menggunakan trotoar sebagai lapak berjualannya ini juga semakin bertambah seiring dengan kemajuan infrastruktur yang dibangun oleh Belanda pada saat itu. Namun, pertumbuhan pedagang kaki lima terbesar tercatat pada 1934-an, bertepatan dengan masa depresi yang dialami dunia. Titik pertumbuhan besar selanjutnya terjadi pada saat Indonesia merdeka yaitu pada masa banyak orang yang kehilangan pekerjaannya dan harus berjuang memenuhi kebutuhannya masing-masing.
Hingga sekarang, istilah legendaris ini masih aktif digunakan oleh masyarakat karena nyatanya budaya menggunakan trotoar sebagai lapak berjualan juga masih membudaya di Indonesia dan negara-negara di sekitarnya. Bahkan, kebiasaan kontroversial ini malah menjadi daya tarik bagi turis asing untuk negara-negara Asia Tenggara karena konsepnya yang unik dan berkarakter tersendiri. Biasanya masyarakat internasional mengenal dagangan kaki lima ini sebagai street-food.
Penulis: Reynaldy Michael Yacob
Editor: Vellanda
Foto: Rafael Amory J
Sumber: historia.id, bontangpost.id, bobo.grid.id