SERPONG, ULTIMAGZ.com – Buah stroberi biasanya identik dengan keindahan dan bentuknya yang unik. Namun, di sisi lain, buah warna merah berbintik ini seringkali diasosiasikan dengan generasi Z atau generasi kelahiran 1997 sampai 2012.
Bagaimana bisa begitu? Jawabannya tentu saja terletak pada sisi lain dari buah stroberi yang rapuh dan mudah rusak. Generasi Z dipandang sebagai generasi yang terlihat unik, tetapi rapuh layaknya buah stroberi. Hal itulah yang membuat generasi Z mendapatkan julukan ‘strawberry generation’.
Nyatanya, hal ini tak hanya terjadi di generasi Z saja. Menurut psikolog klinis Student Support Universitas Multimedia Nusantara (UMN) Fika Astridianingrum, fenomena ini tidak hanya terjadi pada generasi Z saja.
“Di generasi saya pun (generasi Y, lahir pada 1981–1994) tidak menutup kemungkinan kalau ada orang yang memiliki sifat seperti ini (strawberry generation). Hanya saja tidak booming seperti sekarang,” ujarnya kepada tim ULTIMAGZ pada Senin (11/04/22).
Lantas, apa yang mendasari istilah strawberry generation ini semakin populer di kalangan generasi Z?
Asal-usul Strawberry Generation
Istilah strawberry generation pada mulanya muncul dari Taiwan yang ditujukan pada sebagian generasi baru yang lunak seperti buah strawberry. Pemilihan buah stroberi untuk penyebutan generasi baru ini juga karena buah stroberi biasanya tampak unik, tetapi begitu ditekan akan mudah hancur. Menurut Prof. Rhenald Kasali dalam bukunya “Strawberry Generation” (2017), mereka adalah generasi yang penuh dengan gagasan kreatif tetapi mudah menyerah dan gampang sakit hati.
Setiap anak yang tumbuh sebagai strawberry generation cenderung memiliki sikap yang mudah menyerah atau pesimis dan kerap mendiagnosa diri sebagai seseorang yang buruk. Hal ini dapat berakibat buruk pada pola pikir dan kepercayaan diri anak tersebut.
Fika juga mengungkapkan bahwa peran orang tua dan lingkungan menjadi faktor utama yang membentuk pribadi para strawberry generation. “Pola asuh orang tua dan lingkungan yang membiarkan anaknya kurang mengeksplor sekitarnya juga dapat membentuk kepribadian anak menjadi strawberry generation,” ungkap Fika.
Cara mengasuh anak seperti inilah yang dapat membuat si anak menjadi takut menghadapi tantangan dan cenderung mudah stres. Namun, Fika mengatakan bahwa tidak semua generasi Z saat ini adalah generasi stroberi. Hal tersebut kembali lagi kepada pemikiran atau pribadi setiap individu.
“Kalau di dasarnya sudah kuat, maka mereka (generasi Z yang memiliki wawasan luas) tetap dapat kuat dalam menghadapi tantangan di masa depan,” ucap Fika.
Dampak Strawberry Generation pada Generasi Saat Ini
Mengenai pandangan bahwa generasi saat ini adalah generasi yang instan, Fika mengatakan bahwa sebetulnya situasi tidak bisa disalahkan. Hal ini karena setiap pribadi tersebut harus tetap bisa mengikuti perkembangan.
Atas hal tersebut, menurut Fika, generasi saat ini ada baiknya dapat memanfaatkan perkembangan yang ada. Melalui perkembangan tersebut, generasi Z dapat melakukan kegiatan positif seperti membuat konten. Fika juga mengatakan pentingnya pengelolaan diri dan emosi supaya tidak terbawa ke arah negatif. “Perlu juga mereka (generasi Z) belajar dari pengalaman mereka bahwa segala sesuatu membutuhkan proses dan gak bisa instan,” tegas Fika.
Solusi untuk Strawberry Generation
Fika mengatakan didikan dasar yang diberikan oleh orang tua adalah solusi utama untuk menghadapi strawberry generation. Orang tua harus mau mengeksplor ilmu parenting yang terus berkembang dari masa ke masa. Hal tersebut Fika katakan bisa dengan membaca berbagai buku mengenai parenting sehingga orang tua dapat memiliki informasi yang cukup untuk anaknya.
Tak hanya orang tua, generasi Z juga harus mendapatkan informasi yang cukup atau lebih luas untuk dirinya. Hal ini mengenai bagaimana generasi Z mengambil keputusan dan menghadapi tantangan di lingkungan. Fika juga mengatakan bahwa hal ini berkaitan dengan perkembangan teknologi saat ini. Generasi Z harus dapat memfilter informasi yang beredar. “Jangan sampai mereka (generasi Z) pada akhirnya jadi mudah percaya akan issue tertentu,” kata Fika.
Solusi lainnya, yaitu hindari melakukan self-diagnosed atau self-judgement. Mengenai hal ini, Fika kembali mengatakan bahwa kebiasaan membaca sangat dibutuhkan untuk menambah wawasan diri. Untuk mencegah terjadinya hal semacam itu, Fika merekomendasikan supaya lebih baik melakukan konseling kepada ahlinya, yaitu psikolog.
Tak hanya memfilter informasi, tetapi generasi Z juga diharapkan dapat memfilter media sosial yang baik untuk dirinya dan jangan mudah untuk menceritakan hal pribadi ke media sosial. Maka dari itu, untuk mencegah terjadinya strawberry generation, tak hanya peran orang tua yang dibutuhkan. Namun, peran dari setiap pribadi (generasi Z) juga dibutuhkan. Generasi Z harus dapat berpikir kritis dalam menghadapi perkembangan zaman.
Penulis: Carolyn Nathasa, Josephine Arella
Editor: Jessica Elisabeth Gunawan
Foto: unsplash.com
Sumber: Kasali, R. (2017). “Strawberry Generation”. Penerbit Mizan, tagar.id, djkn.kemenkeu.go.id