JAKARTA, ULTIMAGZ.com – Beberapa hari terakhir, beranda media sosial saya dipenuhi dengan pembicaraan mengenai gangguan makan dan depresi. Pasalnya, dalam episode teranyar ajang Indonesia’s Next Top Model (INTM) yang tayang di stasiun televisi NET. pada Jumat (19/03/21), Deddy Corbuzier dan Luna Maya yang berperan sebagai juri dinilai tidak menunjukkan empati kepada salah satu peserta yang menceritakan pengalamannya dalam menghadapi kedua hal tersebut. Para juri justru merundungnya dan menjadikan gangguan mental sebagai bahan olok-olokkan.
https://twitter.com/Alkupra/status/1373887370592882688
Dalam tayangan tersebut, terlihat Deddy dan Luna memotong cerita salah seorang peserta, Ilene.
“Kamu, tuh, cantik. Kamu, tuh, model. Tinggi, seksi, iya. Pintar, iya. Kalau kamu depresi, kamu, tuh, menghina tukang martabak yang jualan [di] depan rumah saya,” ujar Deddy.
Kedua juri pun sempat terlihat membercandai gangguan makan. Ketika Ilene berkata bahwa ia pernah mengalami bulimia nervosa—sejenis gangguan makan yang ditandai dengan perilaku mengonsumsi makanan dalam jumlah yang tidak terkontrol dalam waktu singkat—merasa bersalah, lalu berupaya “mengeluarkan” makanan tersebut dengan olahraga berlebih, mengonsumsi obat pencahar, atau memuntahkannya, Luna berseloroh, “Saya suka banget makan. Jadi, saya [punya] eating disorder, kali, ya?”
Pertanyaan tersebut kemudian ditanggapi oleh Deddy. “Anda memang ‘mental health’, Bu,” ucap pria berkepala plontos itu disusul tawa. Ia bahkan berkata bahwa tekanan yang dialami model di industri modelling yang terlihat kurus dan body shamming yang diterima Ilene karena tidak dapat memenuhi “berat badan ideal” adalah sebuah kewajaran. Semua itu adalah “tuntutan pekerjaan”.
Baca juga: Body Shaming, Sepele tapi Menghancurkan
Sayangnya, semua pernyataan dan percakapan di atas dipotong dalam video tayangan ulang episode tersebut yang diunggah ke kanal YouTube INTM, Senin (22/03/21).
Pernyataan-pernyataan yang dilontarkan kedua juri tersebut jelas tidak empatik terhadap penderita dan penyintas gangguan mental, baik gangguan makan maupun depresi. Kedua hal tersebut dapat dialami siapa pun. Gangguan mental tak pilih-pilih. Ia tak terbatas usia, gender, bentuk tubuh, tinggi badan, tingkat kecerdasan, profesi, ataupun status sosial.
Seseorang yang berprofesi sebagai psikolog atau psikiater sekalipun dapat mengalami gangguan kejiwaan. Sebuah studi yang diadakan pada 2018 menunjukkan, sebanyak dua per tiga dari 678 psikolog klinis di Inggris pernah mengalami masalah kesehatan mental. Survei Asosiasi Psikologi Amerika (APA) pada 2009 juga menunjukkan bahwa 68 persen lulusan psikologi di Amerika melaporkan gejala depresi.
Memang, stigma masih menghambat percakapan tentang gangguan mental di Indonesia. Kesadaran masyarakat mengenai depresi dan gangguan kecemasan memang meningkat akhir-akhir ini, tetapi tidak demikian dengan kesadaran mengenai gangguan makan. Dalam sebuah artikel South China Morning Post (SCMP) tentang anorexia nervosa, disebutkan bahwa gangguan makan belum terlalu banyak didiskusikan dan diakui di berbagai negara Asia. Salah satu sebabnya, adanya normalisasi tubuh ramping sebagai “standar kecantikan Asia”.
Dalam kasus gangguan makan, banyaknya potret kecantikan yang tidak realistis di media sering kali membuat kita menormalisasi diet yang tak sehat, memuja tubuh kurus-tinggi-langsing, dan menghujat orang-orang yang bentuk tubuhnya kita anggap “tidak ideal”. Obsesi masyarakat terhadap bentuk tubuh ini dapat memicu dan menormalisasi gangguan makan.
Dilansir dari Our World In Data, pada 2017, sebanyak 15,8 juta orang di seluruh dunia mengalami gangguan makan. Di Asia Timur dan Tenggara, angkanya mencapai 3,23 juta orang dengan proporsi penderita perempuan dua kali lipat dibanding laki-laki. Di Indonesia, penderita gangguan makan nyaris menyentuh angka 403 ribu orang.
Gabriella Safira (20), mahasiswa Indonesia di Taiwan yang pernah mengalami bulimia nervosa, mengatakan bahwa ia mulai memikiran bentuk tubuh dan terobsesi untuk kurus sejak duduk di bangku sekolah menengah pertama (SMP). Pada suatu kunjungan karyawisata ke Pusat Peragaan IPTEK (PP-IPTEK) di Taman Mini Indonesia Indah (TMII), seorang teman menyebutnya “gendut”.
“Di sana, ada satu tempat buat naik sepeda, harus di bawah 50 kilogram [untuk naik]. Ada timbangan juga di sana. Gue timbang, dong. Gue 54 [kilogram] saat itu. Terus satu teman bilang bahwa gue gendut banget intinya,” ujarnya saat dihubungi, Selasa (23/03/21).
Hingga kini, Safira masih berada dalam tahap pemulihan. Ia berucap bahwa saat mengalami bulimia, ia merasa tidak masalah makan dalam jumlah banyak karena pada akhirnya akan dimuntahkan. Siklus makan-muntah-makan-muntah ini akhirnya berefek pada kesehatan lambungnya. Ia pun tidak pernah merasa bahwa dirinya cukup kurus dan cantik. Selalu ada kesalahan pada tubuhnya.
Hal serupa juga sempat dialami Julietta Citra (21) dan Gabriel Winoto (23). Kedua mahasiswi Universitas Multimedia Nusantara (UMN) ini bercerita bahwa mereka mulai mengalami gangguan makan saat menginjak SMP. Julie yang merupakan korban perundungan memuntahkan makanan agar memiliki alasan fisik untuk menghindari acara-acara yang membuatnya tidak nyaman, sedangkan Gabriel yang berperawakan besar menjalani diet ketat dan melakukan olahraga berlebih karena orang-orang di sekelilingnya “takut ia semakin besar” dan memaksanya untuk mengurangi berat badan.
“Aku hanya makan berat sehari sekali, itu pun sedikit. Sisanya aku makan buah karena kalau aku makan seperti orang pada umumnya akan dibilang gendut. Itu sampai rambut rontok dan kuku mudah patah banget. Pernah juga olahraga sampai mau pingsan karena ngukurnya enggak pakai waktu dan jarak ketika kardio, tapi pakai kalori,” ungkap Gabriel.
Baca juga: “Eating Disorder”, Pola Makan Berantakan dengan Risiko Tinggi
Baik Safira, Julie, maupun Gabriel kini sudah berada dalam kondisi yang lebih baik dibanding sebelumnya. Mereka berkisah bahwa perubahan pola pikir dan dukungan lingkungan sangat membantu proses pemulihan mereka. Safira mulai mempelajari ilmu gizi secara formal dan menerapkan pola makan dan hidup sehat, tak lagi melihat makanan sebagai musuh, melainkan sebagai “bahan bakar” untuk tubuh. Gabriel mulai memperbaiki relasinya dengan makanan sejak didiagnosis memiliki autoimun, merombak pola pikir dari “tidak boleh makan sesuatu karena takut gendut” menjadi “jika makan, apa efeknya?”
Julie? Ia tak lagi memuntahkan makanan untuk mencari alasan sejak menemukan lingkungan pertemanan yang sehat.
“Mereka oke kalau gue menolak jalan. Mereka mengerti keadaan gue yang emang kadang enggak mau aja ketemu orang. Mereka selalu let me know kalo I matter dan pilihan gue enggak akan membuat mereka love me less,” pungkasnya.
Dear judges, gangguan kejiwaan bisa terjadi pada siapa saja: tua-muda, tinggi-pendek, pintar-bodoh, model ataupun bukan. Dibanding menghakimi penderita dan penyintas, berempatilah.
Penulis: Charlenne Kayla Roeslie, Jurnalistik 2018
Editor: Maria Helen Oktavia
Foto: YouTube/Indonesia’s Next Top Model
Sumber: pubmed.ncbi.nlm.nih.gov, apa.or, psychologytoday.com, ourworldindata.org, healthline.com, youtube.com, twitter.com