JAKARTA, ULTIMAGZ.com — Kekerasan seksual bukan merupakan hal baru di Indonesia. Beberapa kasus sempat meramaikan media massa dan dalam penyelesaiannya, kasus kekerasan seksual kerap kali tidak berujung adil untuk penyintas. Hal ini terjadi karena belum ada payung hukum untuk melindungi korban. Padahal Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyatakan bahwa kasus kekerasan seksual sangat rentan terjadi di Indonesia.
“Tahun 2012, kita sudah sampaikan ke publik dalam 10 tahun, 2001 hingga 2011 ternyata di Indonesia itu setiap hari 35 perempuan menjadi korban kekerasan seksual,” ujar Ketua Komnas Perempuan Periode 2015-2019 Azriana Manalu pada Jumat (23/11/18).
Hingga akhirnya pada 2016, Komnas Perempuan mengusulkan peraturan untuk melindungi korban sekaligus mencegah kasus kekerasan seksual kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI). Awalnya rancangan itu disambut oleh badan legislatif dan masuk ke dalam agenda pembahasan. Namun tak disangka, Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) harus melalui jalan yang panjang dan penuh lika-liku.
Penolakan yang Gagal Paham
Azriana harus menelan kenyataan pahit pada 2019 karena saat itu muncul berbagai macam penolakan terhadap RUU P-KS yang diusulkan oleh institusinya. Namun, dia menilai argumen dari para penolak tidak memiliki dasar yang jelas.
“Mereka mengatakan RUU ini membonceng agenda LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender), pro-zina, dan pro-seks bebas. Draf RUU mana yang mereka baca?” kata Azriana, dilansir dari Majalah Tempo edisi 8 Februari 2019.
Pro dan kontra terhadap RUU P-KS memang sempat menghiasi panggung demokrasi Indonesia. Beberapa khalayak mendesak rancangan tersebut segera disahkan. Akan tetapi, beberapa yang lain menilai RUU P-KS secara tidak eksplisit mempromosikan seks bebas dan perilaku menyimpang.
Politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Jazuli Juwaini yang saat itu menjabat sebagai ketua fraksi PKS di DPR merupakan salah satunya. Ia mengatakan, rancangan peraturan tersebut sangat melenceng dari nilai-nilai Pancasila dan agama.
“Definisi kekerasan seksual hingga cakupan tindak pidana kekerasan seksual dominan berprespektif liberal yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, agama, dan budaya ketimuran. Bahkan berpretensi membuka ruang sikap permisif atas perilaku seks bebas dan menyimpang,” kata Jazuli melansir dari merdeka.com.
Tidak hanya dari fraksi di gedung parlemen, poster-poster bertuliskan “Tolak RUU P-KS” juga sempat meramaikan jalanan ibukota. Dengan alasan yang serupa dengan Jazuli, mereka menolak rancangan tersebut. Azriana pun menanggapi tudingan-tudingan terhadap peraturan yang diusulkan oleh institusinya.
”Bahkan satu pun kata LGBT tidak ada di dalamnya. Pesan-pesan tersebut beredar tanpa adanya konfirmasi, dialog, dan pembahasan yang sehat sehingga situasi menjadi tidak kondusif,” kata Azriana.
RUU P-KS memang dibuat untuk melindungi korban dan mencegah terjadinya kasus kekerasan serta pelecehan seksual, bukan untuk mengatur hubungan seksual. Lagipula, tidak relevan jika membahas hubungan seks di luar nikah. Pasalnya, hal tersebut sudah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dengan pembahasan yang tidak kalah kontroversial mengenai pencurian ranah privat.
Tercabut dari Arus Regulasi Gedung Parlemen
Alih-alih menunjukkan kemajuan, pembahasan RUU P-KS malah dimundurkan oleh para dewan. Setelah sekian lama menjadi perbincangan di gedung parlemen, DPR akhirnya memutuskan untuk menarik RUU P-KS dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2020. Dalam rapat bersama Badan Legislasi (Baleg) DPR pada Selasa (30/06/20), Wakil Ketua Komisi VIII DPR Marwan Dasopang mengatakan, pencabutan dilakukan karena sulitnya pembahasan.
“Kami menarik RUU Penghapusan Kekerasan Seksual karena pembahasannya agak sulit,” ujar Marwan, dikutip dari kompas.com.
Alasan ini tampaknya tidak dapat ditoleransi oleh Komisioner Komnas Perempuan Bahrul Fuad. Dia mengaku sangat kecewa terhadap keputusan tersebut. Fuad mengutarakan bahwa pencabutan RUU P-KS sangat bertentangan dengan keinginan masyarakat yang sudah lama mengharapkan persoalan kekerasan seksual segera mendapatkan kepastian hukum.
Terlebih lagi dengan alasan ‘pembahasan agak sulit’, Fuad menilai DPR tidak memiliki komitmen politik yang cukup kuat untuk memberikan kepastian hukum untuk korban-korban kekerasan seksual. “Kesulitan pembahasan menurut kami dikarenakan tidak adanya political will untuk memberikan keadilan bagi korban,” jelas Fuad pada Rabu (01/07/20).
Tidak hanya karena ‘pembahasan yang agak sulit’, DPR juga memiliki alasan lain atas pencabutan RUU P-KS. Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad menilai bahwa keputusan tersebut adalah hal yang wajar karena rancangan peraturan ini menimbulkan polemik yang panjang di tengah masyarakat.
“Apa yang diusulkan (pencabutan RUU P-KS) juga rasional karena RUU ini menuai polemik di masyarakat. Kemudian di kaum perempuan juga,” kata Dasco pada Rabu (01/07/20) pada reporter cnnindonesia.com.
Akan tetapi, alasan ini juga tidak masuk akal ketika beberapa RUU yang mengundang polemik di tengah masyarakat tetap bisa berjalan dengan mulus. Bahkan beberapa di antaranya telah berubah menjadi peraturan yang sah, seperti masih berjalannya pembahasan Omnibus Law yang dinilai tidak adil untuk buruh, RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) yang dianggap beberapa pihak mengebiri dasar negara, serta disahkannya RUU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan KUHP yang menimbulkan rangkaian aksi di jalan.
RUU Terhambat dalam Kondisi yang Semakin Darurat
Selain alasan pencabutan RUU P-KS yang kurang masuk akal, keputusan ini juga menunjukkan kurang seriusnya DPR terkait isu kekerasan dan pelecehan seksual. Padahal, kasus semakin banyak terjadi dan korban memerlukan payung hukum untuk berlindung. Pelecehan yang terjadi 6 hari lalu di salah satu kedai kopi, di Sunter, Jakarta Utara, bisa menjadi contoh.
Seorang pelanggan mendapati bagian tubuhnya diintip oleh barista berinisial KH melalui kamera pengawas atau CCTV. Aksi KH kemudian direkam oleh rekannya, DD, dan diunggah di media sosial. Dalam rekaman video yang meledak di media sosial itu, terlihat salah seorang di antara pegawai mencoba memperbesar gambar pada bagian tubuh pelanggan tersebut. Merujuk keterangan pers yang dikeluarkan Kepala Polres Jakarta Utara Komisaris Besar Polisi Budhi Herdi Susianto pada Jumat (03/07/20), peristiwa yang menimpa korban terjadi pada Rabu (01/06/20) petang.
”Dari hasil penyelidikan, kami menduga ada tindak pidana di peristiwa tersebut sehingga kami lanjutkan menjadi penyidikan. Ada tersangka yang harus bertanggung jawab atas viralnya video itu, yakni DD. Dia yang berperan sebagai pembuat (video) dan yang mengunggahnya ke media sosial,” kata Budhi, dilansir dari kompas.id.
Pengunggah video kemudian diringkus dan dijerat menggunakan Pasal 45 Ayat 1 juncto Pasal 27 Ayat 1 UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas UU Nomor 1 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), terancam mendapat hukuman enam tahun penjara. Sementara pengintip ditetapkan sebagai saksi.
Alih-alih dianggap sebagai pelecehan seksual, kasus ini malah diselesaikan dengan UU ITE. Menurut Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah, hal ini bisa terjadi karena hukum yang berlaku belum mengatur tentang pelecehan non-fisik. Kekerasan seksual menurut hukum saat ini hanya mencakup perkosaan, pencabulan, dan persetubuhan.
”Kekosongan hukum itulah yang mau dijawab oleh Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual,” kata Siti.
Siti mengatakan UU ITE bukanlah aturan yang tepat untuk menyelesaikan kasus pelecehan. UU ITE dengan peraturan terkait konten asusila pun salah sasaran. Menurut Siti peristiwa ini menunjukkan cara pandang keliru terhadap perempuan yang berbeda dengan konten asusila.
“Pelaku bisa dijerat dengan UU ITE karena menyiarkan konten asusila. Padahal, esensinya berbeda dengan pelecehan. Itu bukan konten asusila, tapi menunjukkan bahwa perempuan menjadi obyek seksual laki-laki,” jelasnya.
Tidak hanya mendefinisikan kekerasan seksual secara luas dan menyediakan penyelesaian secara hukum, RUU P-KS secara lebih detail membahas tentang pendampingan korban. Alhasil, selain mendapat keadilan, korban juga memiliki hak untuk pemulihan, terutama dari aspek psikologis.
Kasus ini sebenarnya menunjukkan urgensi terhadap rancangan peraturan ini. Namun di saat negara membutuhkan payung hukum, keputusan DPR malah membuat RUU P-KS dan korban kekerasan serta pelecehan seksual tidak jelas nasibnya.
Penulis: Andrei Wilmar
Editor: Elisabeth Diandra Sandi
Foto: Ignatius Raditya Nugraha
Sumber: cnnindonesia.com, Majalah Tempo, theconversation.com, kompas.com, merdeka.com, kompas.id