“Siapa suruh kamu pake baju begitu? Itu kan artinya kamu pengin dilihat orang.”
“Coba kalau cowok ganteng, pasti beda sikapnya,”
“Ah, kan, kamu cowok. Pasti dalem hati seneng juga.”
JAKARTA, ULTIMAGZ.com–Pernahkah Ultimates mendengar atau menemukan perkataan tersebut di kehidupan sehari-hari? Ucapan seperti itu termasuk ke dalam victim blaming. Faktanya, victim blaming marak ditemukan, terutama di media sosial. Padahal, tindakan semacam itu tidaklah pantas untuk dilakukan, bahkan termasuk ke dalam kategori kekerasan.
Victim blaming merupakan sebuah istilah untuk menggambarkan mengenai sebuah kejadian di mana korban disalahkan dan harus bertanggung jawab atas perilaku tidak pantas yang diterimanya. Tindakan ini memprovokasi pelaku untuk membenarkan tindakan pelecehan maupun kekerasan, baik melalui tindakan maupun ucapan.
Melansir dari tirto.id, istilah victim blaming dipopulerkan oleh William Ryan. Konsep victim blaming merupakan pembenaran atas perilaku tidak adil yang dilakukan oleh pelaku dengan cara menemukan cacat atau kesalahan korban.
Jika dipikir berdasarkan logika, tindakan victim blaming tidak memiliki landasan yang jelas, tidak rasional, melupakan sisi humanisme, dan juga memperparah keadaan. Ibaratnya, sudah jelas-jelas terdapat korban yang menderita, beberapa orang malah mencari-cari kesalahan korban yang terkadang tidak berhubungan dengan masalah utama.
Meskipun begitu, tindakan victim blaming yang memang benar-benar menyudutkan korban, masih sangat masif ditemukan di masyarakat Indonesia. Bahkan, beberapa kali dilakukan oleh figur publik maupun politikus terkenal di berbagai platform media.
Kentalnya victim blaming dalam kasus kekerasan seksual
Menurut Pusat Sumber Daya Bagi Korban Kejahatan Kanada, kekerasan seksual adalah salah satu jenis kejahatan yang kerap terjadi victim blaming. Hal ini juga didukung oleh mitos korban wanita sebagai ‘penggoda’, sementara pelaku laki-laki sebagai ‘tak berdaya menghadapi nafsu’.
Mengutip Sexual Trauma and Recovery Service (STARS), ternyata ada beberapa korban kekerasan seksual yang lebih cenderung dituduh. Misalnya menurut Smith, Keating, Hester & Mitchell (1976), pemerkosaan oleh seseorang yang dikenal korban lebih besar kemungkinan mendapat perlakuan victim blaming dibandingkan dengan pelaku yang tidak dikenal. Jensen & Gutek (1982) juga mengungkapkan bahwa lebih besar kemungkinan victim blaming ditujukan kepada korban wanita yang mematahkan stereotip gender dibandingkan dengan mereka yang tidak.
Baca juga: Bentuk Kekerasan Seksual Tidak Melulu Perkosaan
Victim blaming yang termasuk dalam kekerasan seksual tentu saja akan menyebabkan dampak buruk bagi korban. Melansir kumparan.com, beberapa di antaranya adalah korban menjadi bulan-bulanan masyarakat, membuat keluarga merasa tidak nyaman, dan lain-lain. Selain itu, korban pun lebih merasa enggan melapor kasus kekerasan seksual.
Kasus nyata yang terus terulang
Terdapat banyak kasus yang dapat dijadikan contoh kejadian victim blaming. Salah satu yang masih hangat diperbincangkan oleh masyarakat adalah kasus Dinar Candy, seorang figur publik yang saat itu menjadi pembawa acara di salah satu program televisi. Untuk selengkapnya, Ultimates dapat membaca laporan suara.com mengenai isu ini dan unggahan akun Instagram @dearcatcallers.id.
Di video yang ramai dibicarakan tersebut, tiba-tiba seorang pria datang merangkul pundaknya dan disebut menyentuh bagian payudaranya. Dinar yang merasa tidak nyaman pun berteriak marah kepada pelaku. Namun, pelaku tampak tersenyum dan bahkan dibela oleh kerumunan yang sedang menonton, termasuk satpam yang sedang berjaga di lokasi.
Ketika ada salah satu pria dari kerumunan ikut marah atas perilaku pelaku, masyarakat sekitar kembali membela pelaku dengan menyuruh pria tersebut tidak perlu marah dan emosi.
Video tersebut pun diunggah ke platform TikTok dan ramai dibicarakan di dunia maya. Beberapa orang pun membuat komentar-komentar seperti “Coba kalau yang megang lakik berotot terus ganteng pasti beda sikapnya, yakin gua dah,” “Kalau suting ga suka di pegang, ga tau di belakang kamera,” “Siapa suruh berpenampilan kaya gituu,” dan “Anda jangan marah lah dipegang, inget ngga bakal kucing makan ikan kalau ikannya ngga disimpen baik-baik,”
Komentar semacam itu jelas menyalahkan Dinar Candy yang seharusnya merupakan seorang korban dan patut untuk dibela. Di dalam komentar-komentar itu, Dinar Candy dijadikan semacam objek yang pantas saja untuk diperlakukan seenaknya. Padahal, penting untuk mengerti bahwa perempuan juga merupakan seorang manusia yang memiliki suara setara dengan laki-laki.
Kaitannya dengan budaya patriarki
Kecenderungan masyarakat Indonesia melakukan victim blaming yang terus berulang tidak dapat jauh dari budaya patriarki yang masih melekat pada cara masyarakat bersosialisasi. Atas alasan inilah, lebih banyak korban perempuan daripada laki-laki. Terbukti dari Catatan Tahunan (Catahu) Komnas Perempuan Tahun 2020, jumlah kasus Kekerasan terhadap Perempuan (KtP) sepanjang tahun 2020 sebesar 299.911 kasus.
Ditambah, berdasarkan riset Grubb dan Turner (2012) menunjukkan laki-laki akan lebih cenderung mengarahkan kesalahan pada korban dibandingkan pelaku. Namun, tidak menutup kemungkinan bahwa sesama perempuan juga menyalahkan korban. Melansir beritagar.id, berdasarkan hasil studi yang diterbitkan Journal of Applied Psychology, peneliti juga menguraikan bahwa perempuan melaporkan lebih banyak pengalaman tidak menyenangkan, meliputi kekerasan dan kekejaman, dari rekan kerja perempuan daripada kolega laki-laki.
Berdasarkan sebuah jurnal penelitian dari Universitas Negeri Surabaya (UNESA) berjudul “Alasan Perempuan Melakukan Victim Blaming Pada Korban Pelecehan Seksual,” kuatnya budaya patriarki yang dianut mayoritas masyarakat menyebabkan para perempuan tidak dapat bebas mengutarakan pendapat mereka. Laki-laki selalu dilihat memiliki peran sebagai kontrol utama di dalam masyarakat, sedangkan perempuan hanya memiliki sedikit pengaruh atau bisa dikatakan tidak memiliki hak pada wilayah-wilayah umum dalam masyarakat. Akhirnya, terjadi pembatasan peran perempuan oleh budaya patriarki menjadikan perempuan terbelenggu dan mendapatkan perlakuan diskriminasi.
Ideologi budaya patriarki ini sudah melekat dan terus-menerus diturunkan dari generasi ke generasi. Budaya ini akhirnya tertanam di pikiran beberapa orang, pria dan wanita, terutama mereka yang tidak memiliki pendidikan tinggi. Mereka cenderung berpikir bahwa perempuan memang tidak memiliki suara, tidak memiliki kesempatan yang sama.
Kodrat mengenai perempuan di bawah laki-laki membuat banyak orang berpikir bahwa perempuan memang pantas disalahkan dan membenarkan pelecehan seksual dilakukan sebagai naluri’ alami yang dimiliki oleh laki-laki. Mirisnya, pemikiran patriarki seperti ini juga masih lekat dalam pemikiran beberapa perempuan, sehingga perempuan yang seharusnya saling mendukung malah saling menyerang dan menjatuhkan.
Victim blaming bisa tamat?
Menurut Inisiatif Penghapusan Stigma Wisconsin (Wise End Stigma), ada beberapa upaya untuk ikut serta menghentikan victim blaming secara sistematis.
- Menguji atau mempertanyakan pernyataan victim blaming. Biasanya, orang-orang yang menuduh korban tidak sadar bahwa apa yang mereka katakan itu salah;
- Ingat bahwa yang salah adalah si pelaku. Jangan membiarkan pelaku atau orang-orang terdekatnya memberi alasan yang membenarkan tindakan mereka;
- Pertanyakan bercandaan yang ‘menganggap enteng’ kejadian traumatis karena dapat menormalisasi victim blaming;
- Didiklah orang-orang sekitar—bisa juga melalui organisasi atau komunitas—tentang betapa pentingnya mendukung korban.
Maka dari itu, lagi-lagi pendidikan dan edukasi menjadi kunci utama untuk mengubah pemikiran yang ‘kolot’ semacam ini. Apalagi, zaman sudah semakin berkembang, sehingga pemikiran bahwa perempuan tidak berada di posisi yang sama dengan laki-laki sudahlah tidak relevan.
Sering kali, perkataan ditujukan hanya untuk perempuan mengenai bagaimana mereka seharusnya bertindak, memakai baju yang tertutup, menjaga perilaku, dan lain-lain. Padahal, mendidik laki-laki untuk tidak memegang perempuan secara sembarangan, menghargai keputusan perempuan, dan melihat perempuan sebagai pribadi yang setara juga perlu diajarkan sedari kecil.
Baca juga: KBGS: Tingginya Kejadian Minimnya Penanganan
Peran media juga dapat menjadi alternatif untuk mengatasi hal ini, dengan penyebaran edukasi yang semakin luas, akan semakin banyak masyarakat yang terdidik. Media harus mulai memberhentikan unsur lawakan yang menyinggung dan menyalahkan satu pihak. Alangkah lebih baik jika media dapat menjadi sumber informasi yang berguna, bukan memecah belah.
Pada akhirnya, perempuan dan laki-laki sama-sama membutuhkan satu sama lain. Karenanya, saling menghargai merupakan solusi yang paling tepat untuk menciptakan ruang aman bagi kedua belah pihak.
Penulis: Keisya Librani Chandra, Nadia Indrawinata
Editor: Andi Annisa Ivana, Maria Helen Oktavia, Xena Olivia
Foto: The Jakarta Post
Sumber: starsdorset.org, magdalene.co, wisewisconsin.org, tirto.id, theconversation.com, journal.unesa.ac.id, komnasperempuan.go.id, beritagar.id