JAKARTA, ULTIMAGZ.com — Ultimates mengidentifikasi diri sebagai bagian dari fandom tertentu? Sama, kami juga. Fandom bisa menjadi salah satu ruang aman bagi kita untuk mengekspresikan diri, bersenang-senang, hingga terlibat dalam aktivisme. Meski demikian, fandom tak selamanya penuh canda-tawa. Terkadang, ia bisa jadi toksik juga.
Salah satu kultur fandom toksik yang mungkin sering kita dengar akhir-akhir ini adalah yang berkaitan dengan “kewajiban” streaming lagu atau video musik milik idola agar mencapai target pemutaran tertentu. Tentunya, hal ini sebenarnya dilakukan untuk mengapresiasi karya dan kerja keras para idola sekaligus mempromosikan mereka.
Namun, praktik ini dapat menjadi toksik apabila seorang atau sekumpulan penggemar memaksa penggemar lain untuk turut melakukan streaming. Pada beberapa kejadian, para penggemar yang tidak melakukan streaming secara militan bahkan mendapat perundungan anggota fandom dan dicap “tidak loyal” kepada sang idola.
Perundungan dalam fandom memang bukan hal yang baru. Dilansir dari BBC, penulis asal Kanada Wanna Thompson sempat dirundung oleh para Barbz, sebutan bagi penggemar penyanyi rap Nicky Minaj, pada 2018 lalu. Saat itu, Wanna yang juga merupakan penggemar Nicki Minaj melontarkan kritik terhadap karya Nicky. Menurutnya, sang penyanyi perlu membuat lagu-lagu yang lebih dewasa.
Tak lama setelah mencuit, Wanna mulai mendapat berbagai ancaman dan makian dari para Barbz. Mereka bahkan menemukan foto anak Wanna yang masih berusia empat tahun dan merundung penampilannya.
Tak hanya perundungan antarpenggemar karena berbagai hal, salah satu fenomena bermasalah yang kerap muncul dalam fandom toksik adalah banyaknya konten pornografi dalam bentuk imagine atau fiksi penggemar yang bisa diakses secara bebas di dalam fandom. Salah satu model konten yang kami temukan ialah twit-twit berisi video porno sesama jenis tanpa wajah yang diimajinasikan sebagai anggota grup musik laki-laki tertentu.
Fenomena ini bermasalah karena dua hal. Pertama, ia mempermudah anak-anak di bawah umur yang berada dalam fandom untuk mengakses pornografi. Hal ini memungkinkan mereka terpapar pornografi pada usia yang lebih muda daripada seharusnya. Akibatnya? Kecanduan pornografi pada usia dini, seperti yang terjadi pada anak dalam utas Twitter @siwonchuyy di bawah ini.
https://twitter.com/siwonchuyy/status/1420719375351369730
Kedua, berbagai fiksi penggemar bertema homoseksual dapat melanggengkan fetish terhadap hubungan gay yang secara tidak langsung mengobjektifikasi dan mendiskriminasi teman-teman LGBTQIA+. Dalam artikelnya untuk Magdalene, Tabularasa mengatakan bahwa sering kali, penggemar yang memiliki fetish terhadap hubungan sesama jenis adalah perempuan heteroseksual yang memiliki homofobia terselubung. Mereka melihat hubungan sesama jenis tak lebih dari sekadar hiburan pemuas fantasi dan sebenarnya tak ingin para idola mereka benar-benar menjadi bagian dari komunitas LGBTQIA+.
Fetish dan obsesi terhadap hubungan sesama jenis antaridola ini dapat berakar dari paham bahwa idola adalah milik pribadi (bias is mine). Hal ini diungkapkan oleh salah satu blogger, Tiara Sutari. Melalui blog pribadinya, Tiara berbagi bahwa sebagai salah satu fans grup laki-laki pada masa itu, ia lebih nyaman dengan ship sesama jenis dibanding ship berbeda jenis kelamin karena rasa cemburu yang dimilikinya sebagai seorang penggemar. Istilahnya, lebih baik sang idola gay dibanding heteroseksual, karena ia tidak perlu terlalu cemburu.
Paham bias is mine dapat timbul akibat hubungan parasosial antar penggemar dan idola. Hubungan parasosial sendiri adalah suatu bentuk hubungan yang dirasakan oleh penggemar terhadap idolanya. Karena kerap mengonsumsi konten dari idola, penggemar merasakan kedekatan emosional dengan sang idola, padahal kedekatan emosional tersebut bersifat semu.
Gayle S. Stever dalam artikelnya yang berjudul “Parasocial and Social Interaction with Celebrities: Classification of Media Fans” yang dipublikasikan di jurnal Psychology Theories Methods and Applications mengatakan bahwa seseorang bisa mencintai atau menggemari idolanya berdasarkan perasaan, seperti “selebritas idola mirip dengannya”, “ia ingin seperti selebritas”, “keterikatan secara romantis”, dan “menganggap idola adalah pahlawan suci.”
Gayle juga menulis, beberapa penggemar merasa terselamatkan hidupnya oleh sang idola melalui lirik-lirik lagu yang diciptakan, seperti yang ia temui dalam sampel penggemar Michael Jackson dan Bruce Springsteen. Ada pula penggemar yang merasa lebih aman menjalin hubungan ilusif dengan idolanya, dibanding dengan manusia nyata di sekitarnya.
“Hal ini dikarenakan ia menganggap bahwa sang idola tidak mungkin menyakiti dirinya seperti yang dapat dilakukan oleh keluarga atau tetangganya,” tulis Gayle.
Istilah parasosial diperkenalkan sosiolog asal University of Chicago Donald Horton dan Richard Wohl pada 1950-an. Pada 1956, mereka menerbitkan artikel “Mass Communication and Para-Social Interaction: Observations on Intimacy at a Distance” di jurnal Psychiatry.
Jika diteruskan lebih jauh, hubungan parasosial bisa membawa berbagai dampak, meski tak selalu negatif. Sebagian orang mungkin melihat bahwa hubungan parasosial dapat menginspirasi perilaku agresif dari penggemar. Terkadang, agresi ditujukan pada selebriti itu sendiri (kemarahan karena selebriti tersebut menjalin hubungan atau mengecewakan mereka dengan berperilaku buruk di depan umum). Di lain waktu, agresi ditujukan kepada penggemar atau orang lain yang mungkin dianggap “membahayakan” reputasi atau karier selebritas, terlepas dari apakah mereka benar-benar melakukannya atau tidak.
Contoh negatif lainnya adalah bagaimana hubungan parasosial dapat berkembang untuk orang-orang yang sebenarnya bukan selebriti berkat garis yang semakin kabur antara pencipta dan konsumen. Siapa pun yang memiliki platform adalah seseorang yang dapat mengembangkan hubungan parasosial dengan orang lain. Dalam kaitannya dengan fandom, hal ini ditemukan dalam orang-orang yang jatuh cinta pada idola dalam wujud karakter semesta alternatif (AU) yang umumnya bisa menjadi toksik bila tidak didasari dengan realita.
Akhirnya, tak ada salahnya juga bergabung dalam fandom untuk bersenang-senang dan membangun komunitas. Namun, ketika kultur fandom sudah mulai menginspirasi Ultimates untuk melakukan tindakan agresif terhadap seseorang atau penggemar lain, maka inilah saatnya untuk menarik kembali dan mengarahkan energi Ultimates pada hal yang positif.
Memang tidak semua fandom dan penggemar bisa mengarah pada hubungan yang toksik. Demikian juga tak ada fandom yang benar-benar bersih dari penggemar toksik. Namun, setiap orang memiliki pilihan dalam menyikapi kultur dan hubungan toksik dalam fandom. Jadi, masih mau fanwar?
Penulis: Charlenne Kayla Roeslie, Carolyn Nathasa Dharmadhi
Editor: Xena Olivia
Foto: Son of Alan/Folio Art
Sumber: bbc.com, teenvogue.com, duniatiarasutari.blogspot.com, twitter.com, Psychology Theories Methods and Applications, Psychiatry