SERPONG, ULTIMAGZ.com – Ultimates, apakah kalian pernah mendengar istilah ‘mahasiswa kura-kura’ dan ‘mahasiswa kupu-kupu’? Istilah ini muncul menggambarkan kebebasan seorang mahasiswa dalam menentukan aktivitasnya di dunia perkuliahan.
‘Mahasiswa kura-kura’ adalah akronim dari mahasiswa kuliah-rapat-kuliah-rapat. Istilah ini dipakai untuk mendefinisikan mahasiswa yang sering terlibat dalam organisasi, kepanitiaan, Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM), dan kegiatan-kegiatan kampus lainnya. Sebaliknya, ‘mahasiswa kupu-kupu’ adalah akronim dari mahasiswa kuliah-pulang-kuliah-pulang. Istilah ini digunakan untuk menyebut mahasiswa yang pergi ke kampus hanya untuk berkuliah saja dan enggan berkontribusi di kegiatan mahasiswa lainnya.
Kedua jenis mahasiswa yang diwakilkan oleh istilah-istilah tersebut sering kali dibanding-bandingkan. Banyak orang yang merasa bahwa ‘mahasiswa kupu-kupu’ lebih buruk dan sulit untuk sukses nantinya jika dibandingkan dengan ‘mahasiswa kura-kura’. Anggapan ini didasarkan pada stigma bahwa ‘mahasiswa kupu-kupu’ adalah mahasiswa pemalas, terlalu pasif, dan kurang pergaulan. Namun, apa benar begitu?
Jawabannya adalah, tidak juga. Melansir artikel Kwik Kian Gie School of Business, ‘mahasiswa kupu-kupu’ memiliki keunggulan dari sisi fokus belajar. Mereka yang tidak memiliki kegiatan lain di kampus selain belajar dapat menangani tugas dan jadwal perkuliahan secara lebih baik dan teratur. Dari segi lain, mereka juga memiliki kesempatan dan keleluasaan dalam mencoba hal-hal lain yang bisa pelajari, misalnya soft skill, hobi, hingga bisnis.
Baca juga: “3 Cara Mahasiswa Baru Gali Potensi Diri Saat Kuliah Daring”
‘Mahasiswa kura-kura’ memang harus diakui memiliki kesempatan yang jauh lebih besar dalam hal networking atau berjejaring. Hal ini nantinya akan sangat bermanfaat untuk pergaulan dan juga hubungan dalam dunia kerja seorang mahasiswa. Selain itu, ‘mahasiswa kura-kura’ juga cenderung memiliki lebih banyak kemampuan yang dibutuhkan industri, misalnya cara berorganisasi, mengatur waktu, berbicara di depan publik, dan lain-lain.
Pada dasarnya, kedua jenis mahasiswa ini sama-sama bermanfaat jika mengetahui apa yang ingin dicapai selama menjadi mahasiswa. Akan tetapi, dari kedua sisi juga sebenarnya berbahaya jika dilakukan secara berlebihan.
Mahasiswa yang terlalu pasif dalam kegiatan di kampusnya cenderung sulit untuk menemukan wadah lain untuk mengasah keahlian sosialnya. Mereka yang tidak memiliki pengalaman berorganisasi sama sekali biasanya akan sulit membiasakan diri di dunia kerja ketika lulus nanti.
Baca juga: “Rektor UMN Imbau Mahasiswa Berpikir Jangka Panjang”
Dampak buruk juga akan dirasakan bagi mahasiswa yang terlalu aktif dalam kegiatan-kegiatan kampus. Perlu disadari bahwa belajar adalah kewajiban utama seorang mahasiswa. Ketika terlalu sibuk berorganisasi tanpa diimbangi dengan manajemen waktu yang baik, ‘mahasiswa kura-kura’ pada akhirnya akan mengorbankan salah satu kewajiban yang diembannya, dan di banyak kasus, akhirnya kewajiban belajarnya lah yang terlalaikan.
Kesimpulannya, semua kembali lagi ke mahasiswanya masing-masing. Seorang mahasiswa diberikan kebebasan dalam menentukan bagaimana mereka akan menjalani masa perkuliahan. Kebebasan ini perlu didukung dengan kebijaksanaan, tanggung jawab, dan orientasi jangka panjang pada tujuan yang jelas.
Penulis: Reynaldy Michael Yacob (Strategic Communication, 2020)
Editor: Nadia Indrawinata
Foto: tugu.com, hola.com
Sumber: kwikkiangie.ac.id, campuspedia.id, penerbitbukudeepublish.com
Can you be more specific about the content of your article? After reading it, I still have some doubts. Hope you can help me.