SERPONG, ULTIMAGZ.com — Belakangan ini, muncul pernyataan-pernyataan komedi karena jauh menyimpang dari sains. Hal tersebut menimbulkan banyak pihak geleng-geleng kapala. Bagaimana tidak, ternyata pihak-pihak pembuat kebijakan publik atau mereka yang berpengaruh di badan pemerintah membentuk narasi pseudosains.
Misalnya, dalam RUU Ketahanan Keluarga (RUU KK) yang mengategorikan aktivitas seks sadisme dan masokisme (BDSM) dan orientasi non-heteroseksual sebagai penyimpagan seksual sehingga perlu direhabilitasi. Dan yang kedua, seorang komisioner yang bekerja di badan pemerintah, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), menyatakan bahwa perempuan dapat hamil ketika berenang di kolam renang karena sperma dari kaum lelaki yang terangsang tanpa penetrasi.
Narasi tersebut mengatakan sesuatu hal yang seolah-olah berkaitan dengan sains, tetapi jauh menyimpang dan tidak bisa dibuktikkan secara ilmiah. Tentu saja, di negara Indonesia yang masih mencetak skor rendah dalam memahami sains, ini adalah ancaman misinformasi atau disinformasi yang serius.
Pada dasarnya, wacana rehabilitasi dalam RUU KK dan pernyataan komisioner KPAI itu mudah sekali disanggah. Citra Referandum, pengacara publik LBH Jakarta sekaligus anggota koalisi Gerak Perempuan, menunjukkan bahwa perumus RUU KK memakai ilmu semu atau pseudosains dalam mengategorikan kelompok minoritas seksual sebagai penyimpangan seksual (24/02/20).
Hal ini dikarenakan pedoman internasional berupa naskah akademik telah mengeluarkan homoseksualitas dari kategori penyakit kejiwaan. Pedoman internasional ini merujuk pada Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM) V atau the 10th revision of the International Statistical Classification of Diseases and Related Health Problems (ICD-10).
Bagaimana dengan pernyataan KPAI? Yassin Yanuar Mohammmad, dokter spesialis obstetri dan ginekologi membantah ilmu semu KPAI yang absurd itu secara mentah-mentah. Dilansir dari kompas.com, sperma ternyata akan langsung mengering ketika keluar dari tubuh (22/02/20). Tak hanya itu, sperma akan langsung mati, terlepas dari sperma itu terkena kaporit atau tidak. Alhasil, Yassin menyimpulkan bahwa komisioner KPAI tidak mempunyai dasar bukti ilmiah yang kuat, atau bahasa kasarnya, ngasal.
Sesungguhnya, kedua fenomena komedi itu adalah contoh dari kesekian kalinya fenomena ilmu semu atau pseudeosains terjadi di Indonesia. Oleh karena itu, sudah saatnya orang-orang tahu, apa itu pseudosains dan cara membedakannya dari sains agar tidak ikut menjadi gagal paham seperti yang sangat disayangkan, politikus dan pembuat kebijakan publik di negara kita.
Apa itu pseudosains?
Pseudosains adalah “Bidang yang mencoba untuk mencocokkan diri dengan kehormatan sains yang asli, dan menyalin penemuan dan protokol sains, tetapi jauh dari standar praktik dan verifikasi di bidang sah yang mau ditiru,” kata profesor psikologi Barry L Beyerstein melalui “Distinguishing Science from Pseudoscience”.
Sederhananya, pseudosains adalah ‘ilmu’ yang dicocok-cocokkan dengan sains tanpa dasar bukti yang jelas. Psuedeosains biasanya bertentangan dengan pengetahuan sainstifik yang sudah terbukti dan tidak bisa bertahan menghadapi kritik yang kompeten.
Pernah melihat ramalan bintang, seperti astrologi? Ya, itu adalah contoh pseudosains. Namun, perlu dipahami bahwa pseudosains jauh lebih berbahaya daripada membiarkan orang-orang berandai-andai bahwa ada suatu hubungan antara bintang dan sifat mereka sebagai manusia. Jika menilik sejarah singkat, pseudosains berperan menjadi justifikasi perbudakan terhadap orang berkulit hitam di Amerika Serikat.
Pada 1851 misalnya, dilansir dari washingtonpost.com, seorang dokter terkemuka, Samuel A. Cartwright melaporkan kepada Asosiasi Medis Louisiana bahwa dia telah mengidentifikasi suatu penyakit bernama Drapetomania. Dokter itu menjelaskan, orang-orang Negro memiliki otak dan pembuluh darah yang kecil sehingga cenderung tidak cekatan dan barbar.
Alhasil, Cartwright memberitahu para dokter, orang-orang Negro harus ditundukkan untuk mengagumi dan menghormati keputusan Tuhan. Menyeramkannya, pemikiran absurd bahwa orang kulit hitam yang tidak mau menjadi budak adalah orang sakit bertahan sepanjang abad 18 menuju abad ke-19.
Oleh karena itu, penting memahami bahwa pseudosains sangat berbahaya, terlebih lagi ketika didukung oleh para penguasa. Bayangkan, apa yang akan terjadi ketika orang-orang LGBTQ+ harus direhabilitasi menurut RUU KK walaupun mereka tidak sakit? Sebagai contoh, American Psychological Association melaporkan pada 2009, usaha ‘rehabilitasi’ mencoba mengubah orientasi seksual dengan menimbulkan mual, muntah, kelumpuhan, bahkan sengatan listrik kepada pasien. Alhasil, usaha ‘rehabilitasi’ ini ditetapkan sebagai praktik yang tidak perlu, tidak efisien, dan berbahaya.
Tidak hanya menyentuh isu-isu kontroversial, pseudosains bisa melukai mereka yang frustasi mencari pengobatan. Misalnya, soda kue ketika dicampur dengan madu dikatakan dapat menyembuhkan kanker atau kabar bahwa air nanas panas bisa menyembuhkan kanker. Ketika seharunya pasien kanker masuk ke rumah sakit, nyawa mereka bisa semakin terancam dengan menghabiskan waktu melakukan ‘ilmu’ yang sangat diragukan kebenarannya.
Maka dari itu, menjadi penting untuk mengenali perbedaan sains dan pseudosains. Berikut adalah sepuluh karateristik sains yang penting menurut Jeffrey A. Lee melalui “The Scientific Endevaor”. Sementara itu, karateristik pseudosains adalah kebalikannya dari daftar karateristik sains sebagai berikut.
- Sains dilakukan dengan observasi dan eksperimen untuk mengonfirmasi atau menolak suatu hipotesis. Bukti yang bertentangan dengan teori dan hukum alam yang ada dipelajari dengan seksama
- Berdasarkan pola yang berulang dan keteraturan alam yang berkedudukan kuat.
- Hasil bisa diperoleh kembali melalui eksperimen, tidak ada alasan yang bisa diterima jika gagal.
- Testimoni dan cerita personal tidak bisa diterima sebagai bukti
- Konsisten dan saling berhubungan.
- Argumen berdasarkan pengetahuan sainstifik dan hasil eksperimen
- Menggunakan istilah yang terdefinisi dengan jelas dan banyak digunakan oleh orang lain
- Meyakinkan orang-orang menggunakan bukti, argumen berdasarkan logika atau metode matematika.
- Peer review atau penilaian sejawat. Literatur ditulis untuk sesama saintis yang merupakan spesialis dan ahli.
- Semakin banyak hal dalam sains yang bisa dipelajari seiring dengan berjalannya waktu.
Namun, bagaimana jika penganut pseudosains mengatakan, “Ada masalah yang tidak bisa dijelaskan oleh sains”? Untuk menjawab itu, kutipan dari karya Djohansjah Marzoeki, Budaya Ilmu dan Filsafat Ilmiah bisa menjadi titik terang:
“Tidak ada masalah yang tidak bisa dibicarakan. Kalau ada mengatakan bahwa sesuatu itu tidak bisa dibicarakan secara ilmiah, maka itu karena ia tidak mau mempergunakan cara-cara ilmiah dalam perdebatan. Kalau memang tidak mau atau tidak bisa memakai metode ilmiah maka berarti bahwa masalahnya adalah masalah pribadi atau masalah emosional atau masalah golongan tertentu saja.”
Penulis: Ignatius Raditya Nugraha
Editor: Agatha Lintang
Foto: Liputan6.com
Sumber: Siaran Pers GERAK perempuan, kompas.com, washingtonpost.com, nclrights.org, physics.weber.edu, “Budaya Ilmiah dan Filsafat Ilmu” oleh Djohansjah Marzoeki