SERPONG, ULTIMAGZ.com — Man’s best friend atau sahabat manusia merupakan julukan yang sering diberikan kepada anjing-anjing peliharaan. Dalam film “Isle of Dogs”, penonton diperbolehkan melihat seberapa keras perjuangan manusia untuk menyelamatkan sahabatnya.
Mengambil latar tempat sebuah kota fiksi di Jepang bernama Megasaki, film animasi stop motion ini mengisahkan tentang para anjing yang dibuang ke pulau sampah. Bukan tanpa alasan, melainkan karena pada masa itu ditemukan flu anjing yang bisa menular ke manusia. Akhirnya semua anjing harus dideportasi atas perintah Walikota Kobayashi. Enam bulan kemudian, seekor anjing liar bernama Chief (Bryan Cranston) bersama dengan beberapa anjing lain menemukan seorang bocah yang terdampar di pulau tersebut. Bocah itu adalah Atari (Koyu Rankin), keponakan walikota yang sedang mencari anjingnya bernama Spots.
Atari yang tidak pernah menyerah untuk mencari hewan peliharaannya memberikan gambaran seberapa besar rasa cinta manusia kepada hewan. Sepanjang film, ia terlihat tidak pernah sekalipun berpikir untuk berhenti mencari Spots yang begitu ia sayangi.
Film berdurasi 105 menit ini menggunakan animasi yang indah sehingga memiliki nilai estetika sendiri. Unsur budaya tradisional Jepang menjadi daya tarik kuat. Selain itu, kru produksi sudah bekerja keras karena mereka memerhatikan detail-detail terkecil sekalipun. Ini bisa terlihat dalam pembuatan bangunan hingga latar tempat pulau sampah.
Jalan cerita film karya sutradara Wes Anderson ini pun dikemas secara pas. Tidak ada bagian yang terasa terlalu cepat atau terlalu lama. Dengan penggunaan medium animasi, penonton seakan dapat mengeksplor bagian-bagian cerita yang tidak biasa, apalagi pada daerah pulau sampah.
Sejak awal film “Isle of Dogs”, dijelaskan bahwa gonggongan dari anjing akan diterjemahkan langsung ke bahasa Inggris. Sementara itu, bahasa Jepang hanya terdengar apabila ada rekaman atau pembicaraan orang asing. Konsep penggunaan bahasa ini memunculkan keunikan tersendiri karena tokoh-tokoh Jepang tetap mempertahankan untuk berbicara bahasa aslinya. Namun bagai dua sisi mata pisau, konsep ini dapat menjadi sebuah halangan karena pembuatnya tidak menyediakan terjemahan secara langsung. Alhasil, penonton yang tidak mengerti bahasa Jepang akan bertanya-tanya mengenai arti dari pembicaraan antar tokoh.
Penulis: Nadia Indrawinata
Editor: Elisabeth Diandra Sandi
Foto: idntimes.com