Peringatan: Artikel ini mengandung spoiler film “Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas”.
SERPONG, ULTIMAGZ.com — “Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas” (“Vengeance Is Mine, All Others Pay Cash”) adalah film garapan sutradara Edwin yang dirilis pada Desember 2021 dan kini tersedia di layanan Netflix.
Mengadaptasi novel dengan judul serupa karya penulis Eka Kurniawan, “Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas” berhasil memenangkan penghargaan Golden Leopard Film Festival 2021 di Locarno, Swiss, serta masuk dalam Official Selection Toronto International Film Festival 2021.
Jajaran aktor dan aktris yang namanya sudah tidak asing lagi ditelinga penikmat film Indonesia seperti Marthino Lio, Reza Rahardian, Cecep Arif Rahman, Christine Hakim, hingga Lukman Sardi, membuat film ini sontak masuk dalam daftar 10 tayangan yang paling ramai ditonton di Netflix dalam 2 minggu penayangan perdananya di layanan tersebut.
Dengan latar tahun 1980-an, “Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas” menceritakan perjalanan seorang jagoan tak takut mati bernama Ajo Kawir (Marthino Lio) yang memiliki mengalami disfungsi ereksi (impoten).
Suatu hari, Ajo bertemu dengan seorang petarung wanita bernama Iteung (Ladya Cheryl) yang tangguh dan berparas rupawan. Ajo yang jatuh cinta pada Iteung merasa khawatir dan ragu untuk mendekatinya karena satu hal yang dianggap menjadi kekurangannya. Namun, pembahasan cerita tidak berhenti sampai di situ saja.
Ajo Kawir, Disfungsi Ereksi, dan Maskulinitas Toksik
Disfungsi ereksi yang dialami oleh Ajo sering menjadi ejekan warga tempat ia tinggal. Dapat terasa dalam film bagaimana kejantanan seorang pria dinilai berdasarkan kemampuannya berereksi. Ketika Ajo tidak memenuhi kriteria tersebut, hal itu dianggap ironis, terlebih karena berbanding terbalik dengan sikap Ajo yang dikenal tidak punya rasa takut dan gemar menggunakan kekerasan.
Ajo senang berkelahi bahkan tanpa harus mengetahui mengapa ia melakukannya, seolah-olah untuk membuktikan diri bahwa ia adalah pria yang kuat dan jantan terlepas dari apa yang dianggap menjadi kekurangannya tersebut.
Sepanjang awal film dapat terlihat betapa mudahnya ia mengangkat tinju dan menantang orang lain untuk saling beradu tonjok. Terdapat beberapa adegan di awal film ketika Ajo tersinggung dengan ledekan orang-orang di sekitarnya hingga memuncak pada pernikahannya dengan Iteung. Ia dipandang tidak mampu memuaskan sang istri di atas ranjang terlebih mendapatkan momongan.
Segala hal telah Ajo coba untuk berereksi, tetapi selalu menemukan jalan buntu. Mulai dari mendatangi tempat pekerja seks komersial (PSK), berkelahi, termasuk ketika ia mulai mengencani dan menikahi Iteung.
Namun ternyata, disfungsi ereksi yang dianggap sebagai kekurangan oleh masyarakat setempat timbul bukan tanpa sebab. Kekerasan seksual yang ia alami ketika masih kecil menjadi alasan kuat Ajo tidak bisa ereksi. Ajo Kawir kecil dipaksa untuk berhubungan seksual dengan wanita yang berusia jauh dari dirinya akibat ketahuan mengintip seorang penguasa.
Iteung dan Pelecehan Seksual pada Masa Kecil
Dari sisi Iteung, seiring berjalannya cerita, terungkap bahwa ketangguhan dan sikap dingin yang dimiliki Iteung merupakan akibat dari trauma masa kecilnya yang tragis. Saat masih menjadi seorang siswi Sekolah Dasar (SD), Iteung pernah mengalami pelecehan seksual oleh salah satu gurunya.
Meskipun saat itu ia berhasil melawan dan membalikan keadaan dengan melawan pelaku, pengalaman tersebut tetap saja memberi bekas pada dirinya. Iteung tumbuh menjadi seorang perempuan keras dan “berdarah dingin” yang tidak ragu untuk melakukan hal kejam terhadap orang lain dengan tujuan tertentu.
Kedua insan ini seolah menjadi cermin untuk satu sama lain. Mereka gemar melakukan kekerasan dan membawa trauma masa kecil yang senantiasa membekas sampai dewasa. Dengan dinamika hubungan interpersonal dan intrapersonal tersebut, penonton dapat menyaksikan bagaimana keduanya mengatasi berbagai masalah hidup yang terus menghantui dan harus mereka hadapi.
Dari kasus karakter Ajo Kawir dan Iteung, dapat dipahami bahwa kekerasan seksual yang terjadi pada masa kecil memiliki dampak yang nyata pada sepanjang hidup korban. Perilaku emosional, kebengisan, dan kecenderungan untuk ingin mendominasi yang dimiliki oleh kedua karakter ini secara psikologi memang memiliki hubungan erat terhadap trauma masa kecil.
Melansir dari klikdokter.com, menurut psikolog Ikhsan Bella Persada, luka psikologis akibat trauma masa kecil dapat berakibat destruktif terhadap perilaku dan emosi seseorang apabila luka tersebut tidak ditangani dengan baik.
“Luka tersebut masih ada di alam bawah sadar, sehingga bermanifestasi dalam bentuk perilaku dan emosi negatif. Contohnya, perasaan tidak dicintai oleh orang lain, tidak percaya diri, cemas, atau ingin mendominasi orang lain,” jelas Ikhsan.
Hubungan dekat antara korban dan pelaku sering menambah kompleksitas dari penanganan kasus kejahatan seksual pada anak. Padahal menurut Humaira (2015), berbagai bentuk dukungan khusus dibutuhkan untuk membantu anak yang menjadi korban kejahatan seksual, sesuatu yang tidak dialami oleh Ajo dan Iteung sedari kecil.
Tidak ada bimbingan atau dukungan dari lingkungan sekitar mereka. Para pelaku yang membuat mereka seperti ini pun tidak diusut dan ditindaklanjuti secara serius. Semua nampak seperti ingin membiarkan Ajo dan Iteung bertarung dengan traumanya sendiri. Termasuk menghadapi para pelaku.
Baca juga: Twenty Five Twenty One” Ajak Telurusi Kehidupan Masa Muda
Secara keseluruhan, “Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas” mampu menyampaikan pesan tabu dengan cara yang menarik dan berani. Alurnya yang mengungkap masa lalu para karakter secara perlahan dan tak beruntun membuat penonton penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi pada mereka.
Latar tempat, waktu, dan suasana, juga penggunaan bahasa baku yang transparan membuat film ini terasa nyata di benak penonton. Pun dialog-dialog tidak konvensional yang mampu terdengar begitu apa adanya dan menyampaikan pesan dari tema besar film dengan baik.
Meski begitu, perlu diakui bahwa durasi 1 jam 55 menit dari film ini tidak digunakan secara efisien dalam mengelaborasi ceritanya. Alurnya yang lambat dan beberapa cerita sampingan yang sebenarnya tidak diperlukan membuat film ini menjadi agak menjemukan.
Penulis: Reynaldy Michael, Andia Christy
Editor: Nadia Indrawinata
Sumber: klikdokter.com,
Humaira, D., Rohmah, N., Rifanda, N., Novitasari, K., Diena, U., & Lubabin, F. (2015). KEKERASAN SEKSUAL PADA ANAK: TELAAH RELASI PELAKU KORBAN DAN KERENTANAN PADA ANAK. Jurnal Psikoislamika, 12(2).