SERPONG, ULTIMAGZ.com — Indonesia memiliki untuk menanggung beban rakyat miskin dan menyejahterakannya. Amanat tersebut terukir pada Pasal 34 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara. Bukan ‘membantu’ dan ‘melindungi’, tetapi ‘memelihara’.
Kata dipelihara bukan sekadar memberikan bantuan pangan dan sandang saja, tetapi juga pada seluruh aspek kehidupan yang sifatnya holistik. Kemiskinan merupakan permasalahan dalam konteks yang sangat besar. Mulai dari ekonomi, pendidikan, politik, ekonomi, informasi, teknologi, dan pastinya akses terhadap keadilan.
Akses terhadap keadilan diartikan sebagai upaya negara untuk menjamin terpenuhinya hak-hak dasar berdasarkan UUD 1945 dan prinsip universal hak asasi manusia. Namun, proses penegakkan hukum seringkali melahirkan ketidakadilan. Masyarakat miskin kerap menjadi korban dari penegakan hukum yang tidak adil.
Ada banyak jenis bantuan untuk korban bencana, aksi bela (movement), dan penggalangan dana bagi orang sakit. Namun, hal tersebut tidak berlaku untuk kasus hukum. Menyelesaikan persoalan hukum dianggap bukan sebagai hal yang gratis. Oleh sebab itu, banyak yang enggan membantu jika tidak mendapatkan keuntungan ekonomis.
Salah satunya adalah kasus yang menimpa Nenek Asyani (63) pada Juli 2014 silam. Ia dinyatakan mencuri 7 kayu jati yang ditebang dari lahan milik Perhutani di Situbondo. Atas tuduhan tersebut, Nenek Asyani pun dijatuhkan hukuman selama 1 tahun 18 bulan. Padahal, pengacara Nenek Asyani, Supriyono, menyatakan bahwa berdasarkan fakta di persidangan tidak ada satu pun bukti (saksi dan barang bukti) yang dapat membuktikan sang nenek bersalah.
Di lain sisi, pada 16 Juni 2021, Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta resmi mengurangi masa hukuman jaksa Pinangki Sirna Malasari dari 10 menjadi 4 tahun. Alasan jaksa memutuskan hal tersebut adalah karena sang pelaku telah mengakui kesalahannya. Selain itu, ia juga merupakan ibu dari anak empat tahun. Atas dasar tersebut PT pun meringankan hukumannya.
Pertanyaan Besar Semua Orang: Adilkah?

Hal ini masuk ke dalam dimensi kemiskinan dari sisi yang jarang tersorot. Akses terhadap keadilan masyarakat kurang mampu yang minim membuat perlakuan tidak adil di pengadilan.
Sebagai negara hukum dan demokrasi, jaminan keadilan harus diberikan kepada setiap warganegara. Hal ini tertuang dalam UUD 1945 pasal 1 ayat 3 yang berbunyi “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Artinya semua orang berhak diperlakukan sama dalam kerangka bantuan hukum. Jadi bukan hanya kesamaan kedudukan di depan hukum, tetapi juga persamaan akses untuk mencapai keadilan yang sahi. Karena hak memperoleh pembelaan adalah salah satu unsur dari hak asasi manusia.
Menurut Legal dari Japan Asia Consultants, Josua Pangihutan Silaen, ia menyatakan bahwa negara memberikan bantuan hukum secara gratis kepada masyarakat miskin seperti diatur dalam UU No. 16 Tahun 2011. Bantuan hukum yang diberikan berupa konsultasi dan pendampingan hukum oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) yang sudah ditunjuk oleh negara.
“Pemberi Bantuan Hukum tidak diperbolehkan untuk meminta biaya terhadap jasa yang diberikan kepada penerima bantuan karena telah mendapatkan dana dari APBN atau APBD seperti yang telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2013,” ujar Josua.
Josua menilai bahwa negara sudah cukup memfasilitasi masyarakat kurang mampu untuk mendapatkan perlindungan hukum. Hal tersebut dapat dilihat dari besarnya alokasi dana Bantuan Hukum yang diberikan kepada LBH terakreditasi. Meskipun begitu, sampai saat ini banyak lembaga advokasi yang mengeluhkan anggaran tersebut karena dianggap kurang dari jumlah yang dibutuhkan.
“Realita dilapangan masih banyak LBH yang mengeluhkan alokasi dana pemerintah karena dinilai tidak sebanding dengan biaya operasional yang dikeluarkan dalam rangka memberikan pelayanan hukum kepada masyarakat miskin,” ungkapnya.
Ia juga menambahkan bahwa hingga saat ini masih banyak LBH yang ‘nakal’ dengan melakukan praktik pemerasan kepada klien meskipun telah mendapatkan dana oleh pemerintah untuk membantu masyarakat kurang mampu.
“Proses hukum di lembaga negara seperti di kepolisian, kejaksaan, maupun pengadilan dalam realitanya masih jauh dari kategori baik,” ungkap Josua.
Hal tersebut disebabkan karena masih banyaknya ketidak sesuaian prosedur dan perilaku korupsi yang dilakukan oleh para aparatur sipil serta pejabat negara. Oleh sebab itu, supremasi hukum di Indonesia kurang berjalan sebagaimana mestinya dan menyebabkan banyak ketidakadilan bagi masyarakat di Indonesia.
Selain masalah dari lembaga advokasi, minimnya edukasi hukum dari pemerintah pun membuat banyak masyarakat kurang mampu tidak mengetahui fasilitas bantuan hukum yang sudah disediakan. Bisa juga karena masyarakat sudah terdoktrin bahwa biaya untuk perkara hukum “mahal” sehingga membuat mereka berpikir kembali untuk mengajukan permohonan Bantuan Hukum kepada LBH.
“Seharusnya kegiatan edukasi tentang pengetahuan hukum perlu untuk diperbanyak lagi, karena pada hakikatnya seumur hidup manusia pasti akan saja berhubungan dengan proses dan permasalahan hukum,” tambah Josua.
Kondisi ini lah yang menjadikan sebagian besar masyarakat miskin memiliki posisi tawar yang sangat lemah di hadapan hukum.
Oleh sebab itu, ada dua upaya yang dapat dilakukan oleh negara untuk mewujudkan akses ke keadilan terutama bagi masyarakat yang ekonomi rendah, yakni:
Adanya jaminan ketersediaan sarana pemenuhan hak bagi masyarakat miskin untuk mencapai keadilan.
Artinya negara bukan hanya sekadar menyediakan fasilitas, melainkan juga menjamin pelayanan (service) yang baik terhadap setiap kliennya. Oleh sebab itu, perlu adanya partisipasi pemerintah bukan hanya dengan memberikan dana, tetapi melakukan evaluasi berkala terhadap LBH yang sudah diberikan tanggung jawab.
Adanya metode dan prosedur yang efektif untuk memperluas akses masyarakat terhadap keadilan
Pemerintah sebaiknya mempermudah proses permintaan bantuan hukum yang dilakukan oleh masyarakat kurang mampu. Karena bagaimanapun juga, masyarakat tersebut terbatas dan tentunya tidak mengerti soal prosedur hukum yang panjang. Selain itu, pemerintah juga sebaiknya melakukan sosialisasi terhadap masyarakat miskin agar semakin mempermudah mereka untuk mengakses fasilitas yang sudah disediakan oleh negara.
Sejalan dengan poin ke-16 dalam SDG, gerakan ini perlu untuk dipromosikan agar mampu menciptakan masyarakat yang damai dan inklusif melalui kemudahan akses pada keadilan. Selain itu, sebagai upaya untuk membangun institusi yang efektif dan akuntabel di semua tingkatan.
Oleh sebab itu integritas, moralitas, idealisme, dan profesionalitas aparat penegak hukum harus lebih ditingkatkan lagi. Karena bagaimanapun juga, moral dari hukum adalah keadilan. Selain itu, partisipasi aktif dari pemerintah serta organisasi kemasyarakatan lainnya juga sangat penting agar masyarakat ekonomi ke bawah mampu menemukan keadilannya.
Penulis: Jairel Danet Polii
Fotografer: Frizki Alfian
Editor: Andi Annisa Ivana Putri, Maria Helen, Xena Olivia