SERPONG, ULTIMAGZ.com — Di bawah terik sinar matahari, terlihat beberapa anak tidak di dalam rumah. Mereka memegang sebuah wadah lalu berlanglang menyusuri jalanan macet sembari berharap mendapat sedikit uang. Pemandangan pekerja anak seperti itu lazim ditemui dan tidak jarang menimbulkan rasa prihatin. Hal ini juga yang dirasakan oleh Ni Putu Winna.
Suka berinteraksi dengan pekerja anak jalanan, Putu juga sering mendapati pekerja anak di dalam bidang lainnya seperti kerja di restoran.
“Aku suka iseng saja kadang-kadang ke restoran. Terus, aku lihat pekerjanya muda banget,” jelas Putu kepada ULTIMAGZ melalui Zoom pada Selasa (18/05/21).
“Aku tuh dalam hati kayak ini dia, nih, gak boleh. Ilegal,” lanjutnya.
Anak memang tidak diperbolehkan untuk bekerja dengan alasan apa pun. Berdasarkan UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, disebutkan bahwa anak adalah setiap orang yang berumur di bawah 18 tahun dan dilarang untuk dipekerjakan oleh pengusaha. Namun, orang dewasa sering kali tidak menggubris persoalan ini walau secara hukum tidak memperbolehkannya.
“Sebenarnya kalau ada kontrak ‘kan bisa dituntut. Cuman, mereka pasti mempekerjakan anak-anak ini juga di bawah tangan. Maksudnya, under desk, cukup tahu saja,” lanjutnya.
Setiap anak yang bekerja secara rutin untuk orang tuanya, orang lain, dan bahkan dirinya sendiri di dalam bidang apa pun ini biasa disebut dengan istilah pekerja anak. Kecuali, jika pekerjaan tersebut termasuk dari bagian kurikulum pendidikan atau pelatihan. Pekerjaan yang dilakukan pun dapat diberi upah ataupun tidak. Dengan begitu, pekerja anak dapat terbilang serupa dengan pengeksploitasian anak. Hal ini tentu sangat merugikan anak mengingat anak mempunyai hak untuk tumbuh dan berkembang secara optimal.
Namun, bagaimana anak dapat hidup optimal? Jika ia harus mendapati paparan perlakuan salah secara fisik, emosional, seksual, dan risiko lainnya saat bekerja. Berdasarkan hasil Asesmen dan Advokasi Pekerja Anak Komisi Perlindungan Anak Indonesia 2020, lembaga pendamping semua sektor pekerja anak melaporkan terjadi kekerasan pada pekerja anak dan sebanyak 53% responden mengatakan bahwa jenis eksploitasi yang paling banyak dialami pekerja anak adalah eksploitasi seksual.
Berangkat dari keresahan inilah, Putu bergabung sebagai volunteer di Rumah Faye dan ikut aktif sejak 2019. Rumah Faye adalah sebuah organisasi non-profit untuk membebaskan anak-anak Indonesia dari perdagangan manusia, kekerasan, dan eksploitasi.
Tantangan Membebaskan Anak dari Bahaya Dunia Kerja
Sebagai penggerak perlindungan anak, Rumah Faye melakukan tiga aksi kerja nyata yakni pencegahan, penyelamatan, dan pemulihan. Masuk ke dalam divisi pencegahan, Putu bersama tim banyak melakukan penyuluhan edukasi di lokasi rumah padat penduduk Jakarta yang memiliki kelas ekonomi menengah ke bawah. Penyuluhan tersebut mengajarkan anak-anak mengenai hak-hak yang mereka punya dan edukasi seks yang masih tabu diajarkan padahal penting.
“Kita kumpulin anak-anak setempat. Kita kasih tahu kalau mereka sebagai anak punya hak. Jadi, it’s okay to speak up kalau misalkan dipaksa sama orang-orang, orang tua, dan lain-lain. Jangan mau saja. Karena sering kali pelakunya dari orang yang dikenal.”
Sementara, bidang penyelamatan dan pemulihan hanya bisa dilakukan oleh beberapa orang yang memiliki kemampuan atau edukasi mumpuni di bidang tersebut. Selain karena keahlian, pengalaman orang-orang khusus dibutuhkan karena nyawa dapat menjadi taruhan di dalam proses pembebasan anak dari eksploitasi. Sebab mereka akan banyak menghadapi mafia-mafia ataupun polisi sebagai oknum yang dipekerjakan oleh mafia.
“Waktu membangun Rumah Aman di Batam, pekerjanya itu diikutin sama mafia-mafia child trafficker di sana. Beberapa kali ada yang lempar bom molotov ke pengerjaan Rumah Aman-nya karena mereka gak mau,” jelas Putu.
Rumah Aman sendiri adalah tempat tinggal yang tersembunyi untuk anak-anak yang diselamatkan Rumah Faye dan tempat untuk proses pemulihan. Walau tidak bersinggungan langsung, Putu mengetahui tantangan-tantangan yang dihadapi sukarelawan Rumah Aman. Beberapa anak yang diselamatkan kabur dan malah kembali ke germo menjadi pekerja seks komersial (PSK) karena diberi narkoba selama di germo dan merasa sudah nyaman di sana.
Isu Pekerja Anak Perlu Diprioritaskan
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah pekerja anak di Indonesia mengalami peningkatan dalam kurun waktu tiga tahun, yakni dar 1,2 juta pekerja anak pada 2017 menjadi sekitar 1,6 juta pada 2019. Melansir dari ilo.org, sekitar 11 juta anak-anak Indonesia saat ini rentan tereksploitasi sebagai pekerja anak. Hal ini disebabkan terpukulnya ekonomi akibat pandemi.
Menanggapi isu ini, pemerintah telah membuat berbagai program seperti Indonesia Bebas Pekerja Anak tahun 2022. Namun, menurut Putu, cara-cara pemerintah masih sulit dipraktekkan di lapangan karena birokrasi pemerintah yang berbelit.
Anak adalah bibit-bibit penerus bangsa. Jika sebuah bibit tidak dirawat dengan baik, tidak akan ada juga tanaman yang sehat dan berkualitas. Jika seorang anak tidak mendapatkan hak mereka, jangan salahkan jika mereka menumbuhkan berbagai permasalahan sosial yang tidak kunjung usai. Maka dari itu, isu pekerja anak tidak dapat dianggap remeh ataupun ditaruh paling akhir.
“Investasi sama anak, it’s never wrong. Gak pernah gak jadi prioritas. Karena eventually mereka jadi orang gede yang akan jadi pemerintah kita, businessman, penopang ekonomi, dan penopang sosial kita,” ungkap Putu.
Sustainable Development Goals (SDG) merupakan target kehidupan layak yang dicanangkan oleh setiap negara di dunia. Salah satu dari 17 tujuan besar SDG adalah pekerjaan layak dan pertumbuhan ekonomi. Di tujuan nomor 8 tersebut, SDG ingin mengakhiri tenaga kerja anak dalam bidang apa pun.
Penulis: Vellanda
Editor: Andi Annisa Ivana Putri
Sumber: lokadata.id, www.ilo.org
Foto: Hedwige Gevelyne A.