JAKARTA, ULTIMAGZ.com – Pernakah Ultimates menonton film yang menceritakan ketika korban jatuh cinta kepada pelaku yang melakukan kejahatan dan kekerasan kepada dirinya? Rupanya hal semacam itu dapat terjadi di dunia nyata, lho! Kondisi ini disebut dengan istilah Stockholm Syndrome.
Berdasarkan teori Graham, dkk (1995), Stockholm Syndrome merupakan kondisi paradoks psikologis yang menimbulkan ikatan yang kuat antara korban dan pelaku kekerasan. Ikatan ini meliputi rasa cinta korban terhadap pelaku, melindungi pelaku yang telah menganiayanya, menyalahkan diri sendiri sebagai penyebab kekerasan, menyangkal atau meminimalisir kekerasan yang terjadi.
Melansir dari Live Science, Stockholm Syndrome merupakan konsep psikologis yang digunakan untuk menjelaskan suatu reaksi dan keadaan, tetapi sindrom ini tidak didiagnosis secara resmi. Stockholm Syndrome tidak termasuk di dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-5), sebuah buku referensi bagi psikolog untuk mendiagnosis penyakit mental dan perilaku manusia. Pun demikian, para penegak hukum dan profesional di bidang kesehatan mental menyadari bahwa fenomena ini dapat terjadi di dunia nyata sehingga terdapat pengawasan terhadap kondisi tersebut.
Asal Usul Istilah Stockholm Syndrome
Nama Stockholm Syndrome sendiri diciptakan oleh seorang psikater dan kriminolog Nils Bejerot. Istilah ini muncul menjelaskan kondisi yang bermula dari sebuah kejadian di Stockholm, Swedia pada tahun 1973. Pada saat itu, Jan-Erik Olsson melakukan penyanderaan terhadap empat pegawai Bank Sveriges Kreditbanken selama enam hari.
Selama penyanderaan, dilakukan negosiasi antara pihak polisi dan Olsson. Olsson meminta rekan satu penjaranya Clark Olofsson untuk bergabung dalam misi merampok bank tersebut. Sebagai imbalannya, Olsson akan mempertimbangkan untuk melepas keempat sandera tersebut.
Setelah bernegosiasi, polisi memutuskan untuk mengabulkan permintaan Olsson dan membebaskan Olosson. Namun, keempat korban sandera penyekapan bank tersebut malah tidak ingin terbebas dari Olsonn. Mereka bahkan lebih takut tehadap pihak kepolisian dibandingkan dengan Olsson dan Olosson yang telah menyekap mereka.
Namun, pada akhirnya polisi setempat berhasil menjebol brankas utama tempat Olsson menyekap keempat korban dan membebaskan mereka. Setelah dibebaskan, keempat korban bahkan tidak ingin menjatuhkan dakwaan terhadap kedua pelaku.
Kasus ini pun dianalisa oleh Nils Bejerot sebagai salah satu reaksi psikologis yang terjadi kepada keempat korban selama enam hari penyekapan. Bejerot menganggap alasan hal ini dapat terjadi karena korban beradaptasi terhadap ancaman Olsson yang terus menodongkan senjata. Saat pelaku sudah tidak berbahaya, para korban menjadi ‘bersyukur’ karena tidak disakiti.
Alasan Terjadinya Stockholm Syndrome
Sebenarnya tidak ada alasan pasti mengapa Stockholm Syndrome dapat terjadi. Psikolog forensik asal Rochester, Minnesota Steve Norton berkata bahwa sindrom ini merupakan salah satu strategi dari otak manusia untuk menyelamatkan diri. Dengan kata lain, cara korban beradaptasi dalam menghadapi kekerasan fisik maupun emosional dari pelaku.
“Sindrom ini merupakan salah satu cara manusia menyelamatkan diri dan beradaptasi yang dipengaruhi oleh rasa takut, ketergantungan, dan trauma seseorang,” ujar Steve Norton.
Sedangkan menurut penelitian psikolog dan professor di University of Cincinnati Dee L. R. Graham pada tahun 1995, Stockholm Syndrome dapat terjadi karena empat alasan, yaitu:
- korban merasa hidup mereka terancam sehingga keberlangsungan hidup mereka berada di tangan pelaku.
- korban melihat kebaikan kecil yang dilakukan oleh pelaku seperti memberi makan.
- korban telah melihat perspektif dan sifat pelaku.
- korban merasa tidak dapat terlepas dari keadaannya.
Keempat poin tersebut menjelaskan bahwa sindrom ini terjadi karena korban merasa terjebak akan situasinya. Hal ini menyebabkan korban mulai beradaptasi dan merasa “bersyukur” terhadap sedikit kebaikan yang dilakukan oleh pelaku. Bahkan, terdapat korban yang mencoba mengerti sudut pandang dan alasan pelaku. Korban berasa bahwa mereka dapat mengubah pelaku menjadi pribadi yang lebih baik.
Mencegah dan Mengobati
Stockholm Syndrome bukan hanya dapat terjadi di dalam aksi penculikan, tapi juga dirasakan dalam relasi antar pasangan, lingkungan kerja, maupun hubungan orang tua dan anak yang tidak baik-baik saja—toxic relationship. Apalagi jika korban sudah mulai merasa adanya ketergantungan bahkan saat mendapatkan kekerasan.
Cara mencegah Stockholm Syndrome adalah dengan menyadari ciri-ciri hubungan yang sudah mulai tidak sehat dan segera melepaskan diri. Hal itu akan jauh lebih baik daripada semakin terikat atau cenderung memiliki kebergantungan.
Namun, jika memang orang terdekat sudah mulai menunjukkan ciri-ciri ketergantungan dan terus-menerus membela pelaku, Ultimates dapat melakukan beberapa cara ini untuk membantu korban melepaskan diri.
- Memberikan edukasi mengenai Stockholm Syndrome mulai dari gejala, penyebab hingga cara menanganinya kepada korban. Dengan memberikan pengertian, korban akan dapat paham sendiri bahwa sindrom ini dapat berbahaya.
- Tidak memaksakan kehendak bahwa tentang kejahatan pelaku. Hal ini dapat menyebabkan korban membela pelaku dan semakin yakin bahwa pelaku merupakan orang baik.
- Bertanya mengenai sudut pandang korban melihat pelaku.
- Menunjukkan rasa peduli dengan cara mendengarkan keluh kesah tanpa memandang buruk ke arah korban.
- Arahkan korban ke psikolog dan orang-orang terdekat agar korban senantiasa merasa didukung.
Stockholm Syndrome merupakan sindrom yang jarang ditemui di kehidupan sehari-hari. Pun, bukan berarti sindrom ini tidak ada. Maka dari itu, perlu adanya kewaspadaan dari dalam diri agar dapat melindungi diri sendiri dari ancaman Stockholm Syndrome.
Penulis: Keisya Librani Chandra
Editor: Xena Olivia
Foto: Livescience.com
Sumber : livescience.com, britannica.com, repository.uma.ac.id, journal.unair.ac.id, idntimes.com, alodokter.com