JAKARTA, ULTIMAGZ.com – Pementasan Indonesia Kita ke-34 bertajuk Pemburu Utang sarat kritik pada sistem pemerintah dan masyarakat masa kini. Dengan mengangkat tema utama kemanusiaan pada tahun ini, lakon ini menunjukkan sisi kesengsaraan masyarakat dari segi kemiskinan. Menurut Agus Noor selaku Sutradara Pemburu Utang, lakon ini merupakan parodi dari realita yang ada.
“Ada tragedi dalam lakon ini. Ini merupakan parodi dari realita yang ada, kemiskinan menjadi retorika kekuasaan,” kata Noor di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta, Jumat (01/11/19).
Noor mengatakan bahwa pementasan ini merupakan kritik terhadap sistem dan hukum yang seharusnya melindungi warga negara. Sistem-sistem yang ada selama ini justru bisa diputarbalikkan dan menyalahkan yang benar.
Salah satu cerminan tradegi itu muncul pada adegan rakyat yang dipaksa membayar utang negara. Namun, mereka justru memilih hidup miskin karena kebijakan yang zalim. Tidak hanya negara yang menindas masyarakatnya, tapi sesama masyarakat pun digambarkan bisa saling mengeksploitasi demi kepentingannya masing-masing.
“Saking menindasnya, bukan hanya negara saja. Tapi sesama rakyat miskin juga mengeksploitasi sesamanya, Bagaimana tidak hanya harta, tapi air mata juga dieksploitasi,” jelas Noor.
Seorang tokoh protagonis bernama Akbar mereprentasikan pihak benar yang dikambinghitamkan agar kebusukan penguasa tak terkuak. Akbar mengatakan, pementasan ini merupakan bentuk keprihatinan akan kenyataan bahwa orang benar yang tidak bukti bersalah dapat disebut sebagai pelaku kejahatan.
“Orang benar bisa kalah hanya dengan kalah suara dan dukungan. Namun, kalau benar terima risikonya saja, karena kebenaran adalah nomor satu dari segalanya,” ungkap Akbar.
Pementasan yang dihelat pada November ini merupakan penutup lakon Indonesia Kita dengan tema Jalan Kebudayaan Jalan Kemanusiaan. Namun selain menjadi penutup tema besar tahun ini, Pemburu Utang juga menjadi pementasan terakhir Indonesia Kita di TIM. Alasannya, TIM akan mengalami perbaikan sarana dan prasarana gedung pertunjukan.
Penulis: Theresia Amadea
Editor: Geofanni Nerissa Arviana
Foto: Rafaela Chandra