SERPONG, ULTIMAGZ.com – Anak muda menjadi kelompok masyarakat yang banyak menjadi sasaran kampanye dalam Pemilihan Umum (Pemilu) 2024. Sebab, pada pemilu tahun ini, 56,45 persen pencoblos adalah kaum muda, yang mana 22,85 persen di antaranya merupakan generasi Z, dilansir dari kompas.com.
Generasi Z yang pada 14 Februari lalu menggunakan hak pilih mereka, mayoritas baru pertama kali melakukan pencoblosan. Sebagai populasi pencoblos paling banyak di Indonesia, anak muda menunjukkan antusias yang besar dalam upaya untuk menjadi bagian dari pesta demokrasi tahun ini. Melansir databoks.katadata.co.id, 59,8 persen anak muda tertarik dengan dunia politik. Lantas, bagaimana tanggapan para pencoblos pertama dalam Pemilu 2024 kemarin?
Baca juga: Pentingnya Mahasiswa Menggunakan Hak Suara dalam Pemilu
ULTIMAGZ telah melakukan wawancara terhadap anak muda untuk mengetahui kesan, pesan, dan pemahaman politik setelah berpartisipasi dalam pemilu pertama mereka. Wawancara dilakukan kepada 10 mahasiswa dengan rentang usia 18 sampai 20 tahun dari berbagai kota yang dilakukan sejak Minggu (18/02/24) hingga Rabu (21/02/24) secara langsung dan dalam jaringan (daring).
Balita Negara Mencoblos Pertama Kali
ULTIMAGZ menanyakan beberapa hal kepada para mahasiswa dalam menanggapi pengalaman pertama mereka mencoblos, termasuk perasaan mereka saat berada di tempat pemungutan suara (TPS). Beberapa di antara mereka mengaku antusias ketika hendak menggunakan hak suara mereka untuk pertama kalinya.
“Saya bingung, tapi juga excited. Saya engga sabar untuk coblos pertama kalinya karena itu suatu hal yang baru buat saya, ada kontribusi juga buat Indonesia,” ujar Sharon, mahasiswi Desain Komunikasi Visual (DKV) Universitas Multimedia Nusantara (UMN) ketika diwawancarai ULTIMAGZ pada Selasa (20/02/24).
Rasa semangat ini juga dirasakan Alpha, mahasiswi Ilmu Komputer di Binus Kemanggisan, dan Nicholas, mahasiswa DKV di salah satu universitas di Tangerang.
“Saya coblos itu rasanya senang karena akhirnya bisa jadi masyarakat yang berperan,” terang Nicholas ketika diwawancarai oleh ULTIMAGZ pada Selasa (20/02/24).
Namun, tidak sedikit juga dari mereka yang justru merasa biasa karena merasa paham dengan dunia politik yang sedang terjadi.
Di sisi lain, Manda, mahasiswi Teknik Kimia di Tianjin, Tingkok, justru merasa belum memahami politik. Dia mengaku merasa bingung untuk mencoblos siapa pada pemilu tahun ini. Ada juga mereka yang merasa bahwa mencoblos adalah tanggung jawab yang besar.
Persiapan yang dilakukan oleh setiap narasumber juga tergolong berbeda. Beberapa dari mereka melakukan riset mengenai kandidat calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres), seperti visi misi dan kepribadian setiap pasangan calon (paslon).
“Aku cari tahu visi misi capres, cawapres, dan legislatifnya jadi aku engga asal milih gitu,” ujar Tacya, mahasiswi DKV UMN.
Di sisi lain, beberapa narasumber tidak melakukan persiapan sama sekali, hanya sekadar melihat berita yang kerap kali muncul di media sosial. Ada juga yang mengakui bahwa mereka coblos seadanya saja.
“Engga ada yang dipersiapkan banget, sih. Aku paling baca berita dari Bijak Memilih dan sosmed (media sosial), gitu,” kata Jon, mahasiswa Public Policy di salah satu kampus Jogjakarta.
Hal ini tentunya memengaruhi hasil pemilihan mereka saat mencoblos. Mereka yang tidak terlalu memahami politik cenderung memilih berdasarkan pilihan orang-orang di sekitar atau memilih secara acak, terutama saat memilih para perwakilan legislatif.
“Legislatifnya ngasal, capres-cawapres juga ngaruh dari ortu (orang tua),” ujar Alpha.
“Ada dorongan, sih, cuma tetap ada juga yang milih berdasarkan hati. Legislatif sih yang engga terpengaruh (pihak manapun), beneran dari sendiri ngasalnya,” jelas Niel, mahasiswa Teknik Mesin dan Dirgantara di Institut Teknologi Bandung (ITB).
Namun, ada juga mahasiswa yang merasa pilihan mereka berasal dari diri mereka sendiri dan tidak terpengaruh oleh tekanan di sekitar mereka.
“Dari sendiri, sih. Walaupun ada dorongan tapi tetap pilih sendiri,” ujar Angeline, mahasiswi Desain Produk di salah satu universitas di Tangerang, ketika ditanya pengaruh lingkungan sekitar terhadap pilihan politiknya.
Pemilu 2024 ini juga menaruh kesan di para pencoblos pertama di TPS. Salah satunya Jon yang bertemu dengan bapak-bapak yang berjoget untuk mendukung salah satu paslon, sampai kondisi TPS yang becek sehingga kurang nyaman didatangi. Namun, mayoritas mahasiswa tidak merasa ada hal yang spesial atau janggal di TPS mereka.
Walaupun tidak ada hambatan dari TPS yang didatangi, beberapa mahasiswa mengalami kendala dari diri mereka. Selain ukuran kertas coblos yang besar, mereka baru menyadari bahwa pilihan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) juga berada di tangan mereka. Maka dari itu, banyak dari mereka yang tidak melakukan persiapan apapun untuk memilih calon legislatif.
“Awalnya aku pikir cuman beberapa kertas, tapi ternyata aku perlu mencoblos empat kertas, salah satunya tuh DPRD yang aku engga tahu siapa-siapa saja karena aku engga melakukan riset sebelumnya,” jelas Sharon.
Melihat Kepekaan Anak Muda Terhadap Politik
Setelah menjalani pencoblosan, sebagian besar narasumber mengaku akan memperdalam pengetahuan mereka dalam dunia politik. Selain agar bisa ikut diskusi politik dengan keluarga, beberapa mahasiswa mengakui bahwa riset yang mereka lakukan untuk pemilu tahun ini masih kurang sehingga ingin mempersiapkan diri lebih matang untuk Pemilu 2029.
Namun, ada juga narasumber yang merasa acuh tak acuh dengan dunia politik, bahkan ketika selesai mencoblos. Walau menyadari pengetahuan politik mereka kurang, mereka tidak memiliki keinginan untuk belajar lebih dalam. Hal ini muncul karena adanya anggapan bahwa kehidupan sehari-hari tidak akan berubah siapapun itu pemimpimpinnya.
“Ya, mau siapapun pemimpinnya, sama aja sih hidup,” ujar Angel.
Terdapat beberapa faktor dari sikap ketidakpedulian tersebut, dari sulitnya mengikuti berita terbaru tentang politik, hingga tingkat kepercayaan yang rendah terhadap kegiatan kampanye. Ada pula yang memiliki stigma negatif terhadap politik karena beberapa alasan, salah satunya dari penggunaan baliho yang berlebihan dan dapat mengakibatkan kecelakaan.
“Aku harap untuk ke depannya, kampanye bisa lebih baik lagi dan bisa menunjukkan sesuatu hal yang lebih karena pribadi saya merasa, pemilu kali ini panasnya saja yang berasa dan kurang berdampak, hanya seperti gimik saja,” ujar Sharon.
Salah satu narasumber yaitu Tacya juga mengangkat isu pentingnya pemerintah memberikan edukasi tentang Pemilu 2029 sejak dini, baik kepada generasi sekarang hingga benih generasi yang akan mencoblos di 2029.
“Jadi, biar anak-anak muda engga banyak golput (golongan putih) seperti tahun ini yang lumayan banyak karena dia engga ngerti, padahal itu buat masa depannya sendiri,” jelas Tacya pada Selasa (20/02/24).
Baca juga: Kenali 10 Istilah Seputar Pemilu yang Wajib Generasi Z Ketahui
Maka dari itu, penting bagi anak muda untuk peduli dengan politik, terutama dengan pemilu. Pilihan setiap masyarakat sama-sama penting di negara demokrasi seperti Indonesia.
Nyatanya, memilih para pemimpin negara akan sangat berpengaruh untuk kelangsungan hidup anak muda sebagai masyarakat. Partisipasi aktif diperlukan untuk mengawasi kekuasaan dan pembentukan kebijakan masyarakat dan negara. Ibu pertiwi perlu ditata dan diawasi, maka mari sebagai warga muda untuk berani aktif berpartisipasi dan beraspirasi.
Penulis: Kezia Laurencia, Kristy Charissa Lee
Editor: Cheryl Natalia
Fotografer: ULTIMAGZ/Andita Chayara, Sofhi Srieky Tiambun Silalahi
Sumber: kompas.com, databoks.katadata.co.id, aclc.kpk.go.id