SERPONG, ULTIMAGZ.com – Tangerang merupakan salah satu kota di provinsi Banten yang masih lekat dengan kekhasan budayanya. Salah satu contohnya adalah Cina Benteng. Kehidupan masyarakat Tionghoa di Tangerang hingga saat ini tidak terlepas dengan eksistensi etnis satu ini.
Hingga saat ini, Cina Benteng merupakan sebutan untuk masyarakat Tionghoa di Nusantara yang bermukim di wilayah Tangerang. Cina Benteng merupakan hasil akulturasi dari dua kebudayaan, yakni Tionghoa dengan pribumi. Dari zaman ke zaman, mereka sudah berbaur dengan warga asli setempat. Oleh karena itu, Cina Benteng kerap disebut sebagai Tionghoa Peranakan.
Baca juga: Arti Imlek Sebagai Tahun Baru yang Dirayakan Masyarakat Tionghoa
Peradaban Cina Benteng merupakan sebuah perjalanan yang panjang sampai akhirnya dapat menciptakan identitasnya sendiri di Nusantara. Ultimates, mari simak sejarah awal dan perkembangan budaya Cina Benteng di bawah ini!
Gelombang Pertama Asal Muasal Cina Benteng
Adanya keberadaan etnis Cina Benteng diawali dengan kedatangan orang-orang Tionghoa ke Nusantara pada abad ke-15. Melansir historia.id, dipercaya ada sebuah rombongan kapal saudagar dari Tiongkok yang awalnya ingin berlayar di Batavia (Jakarta) pada 1407. Namun, kapal mereka mengalami kerusakan sehingga harus berlabuh di muara Sungai Cisadane.
Hal serupa juga diceritakan oleh seorang budayawan sekaligus pelestari budaya Cina Benteng, Oey Tjin Eng atau yang akrab disapa Engkong. Ia menceritakan mengenai perjalanan awal datangnya orang Tionghoa ke tanah Tangerang.
“Tahun 1407, terdapat di Teluk Naga (ada) satu rombongan perahu di bawah pimpinan Tjen Tjie Lung atau Halung. Perahu ini ‘kan perahu jung, muatnya seratus orang lebih. Kemudian dalam rombongan ini ada sembilan orang gadis. Nah, di Teluk Naga itu ada penguasa. Namanya Sanghyang Anggalarang dari Kerajaan Pajajaran,” jelas Engkong saat diwawancarai pada Senin (09/12/24).
Singkatnya, laki-laki setempat mulai menikahi para gadis Tionghoa dari rombongan tersebut. Laki-laki Tionghoa yang telah lama menetap pun ikut menikahi perempuan lokal, lalu memiliki keturunan sehingga kedua budaya berasimilasi.
Engkong juga menjelaskan bahwa setelah mereka berkembang di Teluk Naga, mereka membuat satu jalur lagi di Desa Pangkalan. Di desa ini, mereka dikenal sebagai teng lang atau tang ren.
Belanda, Benteng Makasar, dan Pemukiman Cina Benteng yang Meluas
Kemunculan Cina Benteng juga tidak terlepas dari adanya sejarah Benteng Makasar. Benteng tersebut merupakan bangunan Belanda yang awalnya dipercayai untuk menahan serangan dari Kerajaan Banten.
Melansir nationalgeographic.grid.id, benteng tersebut dibangun sekitar 1683-1685 saat hubungan antara Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) dan Banten tengah menegang. Benteng tersebut kemudian dinamai Benteng Makasar karena konon pembuatnya berasal dari Makassar.
“Ini Belanda, ini Kerajaan Banten. Dibuatlah Benteng Belanda, 1685, menurut buku Remah Berserak karyanya Dr. Eddy Prabowo Witanto,” ujar Engkong sambil mengilustrasikan penjelasannya dengan gerakan tangan.
Namun, saksi bisu sejarah tersebut kini sudah tidak ada wujud nyatanya. Hanya ada jalanan bernama Jalan Benteng Makasar yang terletak di sebelah barat Sungai Cisadane, dilansir dari pinisi.co.id.
Di tengah itu, terjadi gelombang kedua menyebarnya orang-orang Tionghoa di Tangerang. Gelombang kedua ini berkaitan dengan kericuhan yang terjadi pada orang-orang Tionghoa di Batavia.
“Nah, mungkin gelombang kedua dari orang-orang Tionghoa itu adalah 1740. Terjadi pembantaian orang-orang Tionghoa di Jakarta (Geger Pacinan),” tutur Engkong.
Engkong kemudian melanjutkan dengan singkat bagaimana peristiwa tersebut membuat warga Tionghoa bermigrasi dari daerah lain ke wilayah Tangerang. Hal tersebut menyebabkan terjadinya akulturasi budaya antara budaya Tionghoa dengan Batavia dan Sunda.
Melansir historia.id, pembantaian di Batavia yang melibatkan orang-orang Tionghoa oleh VOC terjadi pada 1740 lalu. Dari peristiwa tersebut, banyak orang Tionghoa yang melarikan diri ke muara Sungai Cisadane.
Di sana, mereka hidup berbaur dengan orang-orang Tionghoa dan masyarakat lokal yang juga tinggal di area luar benteng. Mereka yang hidup dan tinggal di luar benteng disebut dengan Cina Benteng.
Kebudayaan dan Keseharian yang Saling Beriringan
Akibat akulturasi budaya, masyarakat Cina Benteng tidak dapat berbahasa Mandarin. Kebanyakan dari mereka menggunakan bahasa ibu, yakni bahasa lokal seperti Indonesia, Betawi, dan Sunda.
Penampilan fisik serta gaya hidup mereka berbeda dengan etnis Tionghoa lainnya yang ada di Indonesia. Secara fisik, warna kulit mereka sedikit lebih gelap jika dibandingkan dengan etnis Tionghoa lainnya di Indonesia. Kebanyakan dari mereka pun menjalani keseharian dengan sederhana, seperti berdagang, bertani, atau beternak, dan sehingga dengan mudah akrab dengan warga lokal setempat.
Menurut Linda, seorang warga asal Bandung yang menikah dengan warga asli Cina Benteng, budaya etnis Tionghoa tersebut masih terasa kental. Hal ini tampak dari tradisi dan keseharian yang dijalani.
“Memang kita sebagai orang Chinese, ya, bangga gitu karena di (Cina) Benteng ini orang-orangnya kalau kayak Cina Benteng gotong royongnya bagus, terus mereka gaulnya juga persaudaraannya kuat,” ujar Linda.
“Kalau, ya menurut ii (sebutan bibi dalam bahasa Mandarin), enggak sama (dengan) waktu ii tinggal di Bandung,” lanjut Linda.
Linda sudah tinggal dan menetap di Tangerang selama kurang lebih 40 tahun. Semenjak menikah, ia banyak mengetahui dan mengikuti budaya, tradisi, serta perayaan di lingkup Cina Benteng. Perayaan-perayaan seperti tahun baru Imlek, ceng beng (sembahyang untuk mengenang dan menghormati leluhur), hingga peh cun (identik dengan tradisi makan bacang, biasanya lengkap juga dengan pelaksanaan festival perahu naga di Sungai Cisadane) masih diikuti olehnya.
Hal tersebut menunjukkan bahwa meskipun zaman terus berkembang, nilai-nilai budaya Cina Benteng justru tidak hilang begitu saja. Tidak hanya budaya dan tradisi yang menjadi penunjang keberlangsungan Cina Benteng, tetapi juga peninggalan-peninggalan yang menjadi saksi perjalanan sejarah.
Salah satu peninggalan yang identik dengan etnis Cina Benteng adalah Kelenteng Boen Tek Bio, kelenteng tertua di daerah Tangerang. Tidak hanya menjadi situs peninggalan, tetapi kelenteng ini masih berdiri dan berstatus sebagai tempat ibadah, menjadi bukti peradaban Cina Benteng dari generasi ke generasi.
Baca juga: Tak Hanya Kuliner, Pasar Lama Tangerang Juga Punya Museum
“Saya harap sebagai orang Tionghoa, jangan lupakan budaya kamu sendiri, itu aja. Kenapa Tangerang itu enggak luntur budayanya? Apalagi sudah banyak masuk agama lain ‘kan. Karena mereka masih kental, kuat orang tuanya juga, dari engkong ke anak ke cucu, turun temurun.” pesan Engkong kepada masyarakat dan generasi muda sebagai penerus budaya Cina Benteng.
Cina Benteng bukan hanya sekadar sejarah, melainkan juga menjadi identitas penting dalam keberagaman yang ada di Indonesia. Dengan memahami dan melestarikan budaya ini, Cina Benteng tidak akan hilang dari zaman dan tetap hidup di setiap generasi.
Penulis: Jesslyn Gunawan Wijaya
Editor: Radella Dagna, Jessie Valencia
Foto: tangerangkota.go.id
Sumber: historia.id, nationalgeographic.grid.id, pinisi.co.id
I am really inspired together with your writing abilities as well as with the layout for your weblog. Is that this a paid theme or did you modify it your self? Either way keep up the excellent high quality writing, it is uncommon to see a great blog like this one these days..