SERPONG, ULTIMAGZ.com – Hak mendapatkan kebebasan untuk berekspresi adalah sah bagi seluruh orang. Begitu pula tentu bagi para penyandang disabilitas yang eksistensinya kerap diremehkan. Kemampuan berkreasi seseorang dengan keterbatasan fisik ataupun mental terkadang dipandang sebelah mata.
Padahal, tanpa memandang status, ras, dan kondisi seseorang, siapa pun memiliki ruangnya untuk bersuara. Ruang tersebut dapat disalurkan melalui kreativitas diri. Namun, dalam menggali dan mengembangkan kreativitas tersebut tentu diperlukannya pelatihan dan bimbingan.
Baca juga: Autisme atau Tidak, Bukan Sebuah Tolok Ukur Kemampuan Seseorang
Seperti peran nyata yang dilakukan oleh dosen Prodi Desain Komunikasi Visual (DKV) Anne Nurfarina yang juga adalah pendiri dari Art Therapy Center, sebuah wadah ekspresi bagi penyandang disabilitas.
Art Therapy Center merupakan sebuah wadah pendidikan yang dikhususkan bagi anak disabilitas yang sudah berdiri sejak 2014. Wadah ini memberikan kesempatan bagi penyandang disabilitas untuk berkembang dari segi perilaku dan kemampuan yang berbasis seni.
Sebelum membangun tempat pendidikan ini, Anne juga telah melakukan advokasi terhadap penyandang disabilitas sejak 2007. Bukan tanpa alasan, perhatian dosen yang mengajar mata kuliah Creativity Theory dalam isu ini dipengaruhi oleh adiknya yang memiliki autisme.
“Ibu (saya) itu punya adik yang autis. Dia kelahiran (19)73. Waktu itu kan, tahun segitu (1973) gak ngerti autis itu apa,” ujar Anne kepada ULTIMAGZ pada Senin (09/10/2023).
Pada suatu waktu, tepatnya saat ia masih sekolah dasar (SD), Anne menemukan bahwa sang adik dapat merespon komunikasi yang sifatnya audio visual. Momen ini pun menginspirasi Anne untuk berkomitmen dalam seni sebagaimana audio visual berhubungan erat dengan bidang tersebut.
Dalam perjalanannya menempuh pendidikan seni di Institut Teknologi Bandung (ITB), Anne bertemu dengan Primadi Tabrani, seorang profesor yang mengemukakan teori kreativitas. Dalam ilmunya tersebut, Tabrani menyatakan bahwa kreativitas dimiliki oleh setiap manusia, tanpa terkecuali.
Dari pernyataan tersebut, Anne pun mulai memfokuskan dirinya dalam kajian studi yang berhubungan dengan isu disabilitas. Sampai akhirnya, wanita asal Bandung ini menemukan suatu metode efektif yang dapat memicu komunikasi dengan penyandang disabilitas yaitu menggunakan metode sensasi.
Metode sensasi merupakan cara fokus untuk meningkatkan kecerdasan dasar suatu individu, yaitu dengan menggunakan sarana audio, visual, dan motorik. Cara yang digunakan Anne menekankan pada pemahaman karakteristik dan ketertarikan subjek terlebih dahulu.
“Ibaratnya, analoginya kita ketemu pintu masuknya dulu. Ibaratnya itu kan kalau kita sama, satu frekuensi (dengan anak disabilitas), si anak kita (akan) lebih mudah membuka pintunya,” jelas dosen kelahiran 16 Juni 1968 ini.
Melalui penerapan metode sensasi di Art Therapy Center, Anne pun memberikan kesempatan anak disabilitas untuk mengeksplorasi dan mengekspresikan diri serta pemikirannya.
Pendirian Lembaga Pelatihan Kerja sebagai Lanjutan Sarana Edukasi
Anne menyadari bahwa setelah melakukan pelatihan melalui lembaga pendidikan yang didirikannya ini, anak didiknya, terutama yang memiliki masalah intelektual, cenderung belum tentu mendapatkan kesempatan dalam dunia pekerjaan secara mudah.
Hal ini pun memunculkan kekhawatiran. Sebab, apabila seorang penyandang disabilitas terus menerus tidak dilatih untuk produktif, hal tersebut berpotensi untuk menurunkan kemampuan yang telah dilatih sebelumnya.
Maka dari itu, selain Art Therapy Center, Anne juga membangun sebuah Lembaga Pelatihan Kerja (LPK) bernama Creative Business of Diffable Community (CidCo) yang telah diresmikan oleh Dinas Ketenagakerjaan pada 2019. Kata “diffable” di dalamnya mengartikan different ability yang dimiliki penyandang disabilitas.
“Bukan difabel dalam arti disabilitas ya, tapi different ability. Jadi, kita men-highlight jangan fokus ke disabilitasnya, (atau) ketidakmampuannya,” tuturnya.
Melalui lembaga ini, kaum disabilitas pun dapat terus berkarya sekaligus mendapatkan penghasilan sendiri. CidCo tak hanya berlokasi di Bandung, tetapi juga Padang. Namun, pelaksanaannya sendiri masih dalam jarak jauh melalui daring.
Visi untuk Mewujudkan Pendidikan Inklusif
Mulai dari 2019 Anne tengah memperjuangkan kurikulum yang inklusif bagi penyandang disabilitas.
“Ibu (saya) itu lagi bikin konsep sustainability vocational education for disabilities,” kata Anne.
Dengan konsep seperti ini, alih-alih menempuh pendidikan reguler yang bersifat general, Anne merancang pembelajaran spesifik yang sesuai dengan kebutuhan dan minat masing-masing anak sejak usia dini.
Baca juga: Merangkul Perbedaan dengan Keiistimewaan Anak Sindrom Down
Dengan demikian, inklusivitas yang dimaksud tidak lagi dalam lingkup ras, suku, dan agama. Lebih dari itu, hal ini menyangkut memberikan pendidikan sesuai dengan kemampuan mereka sehingga setiap anak dengan disabilitas dapat menikmati pembelajaran yang dapat mengembangkan potensi mereka.
“Inklusif itu kan artinya setara, artinya dia punya hak untuk mendapatkan pelayanan yang sesuai dengan kebutuhannya, gitu,” ujar Anne.
Penulis: Margaretha
Editor: Josephine Arella
Foto: Margaretha Netha