JAKARTA, ULTIMAGZ.com — Hujan deras yang mengguyur pusat Jakarta tidak menghambat banyak aktivis untuk berkumpul di Rumah Cikini pada Sabtu (29/02/20). Para aktivis yang terdiri dari laki-laki, perempuan, dan transpuan membuat poster untuk menunjukkan keluh kesah mereka kepada pemerintah saat International Women’s Day (IWD) yang jatuh pada Minggu (08/03/20).
Para aktivis membuat poster-poster tersebut sambil mendengarkan diskusi mengenai Rancangan Undang-Undang Ketahanan Keluaga (RUU KK) oleh peneliti Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Pratiwi Febry. Diskusi ini juga melibatkan salah seorang aktivis dan konsultan gender Tunggal Pawestri dan dimoderasi oleh Director of Space Universitas Negeri Jakarta Noval Auliady. Usai diskusi, mereka menyimpulkan penolakan terhadap RUU KK karena mengatur ranah privasi warga negaranya sendiri. Kemudian, beberapa orang menceritakan kisah dibalik keluh kesah mereka yang tertera di atas poster.
Seorang mahasiswi bernama Rifka menuliskan “JANDA-JANDA SIAP BUAT INDONESIA KUAT” di atas posternya. Berdasarkan diskusi RUU KK sebelumnya, pemerintah masih menganggap orangtua tunggal dengan sebelah mata. Penting diketahui, bahwa perumus RUU KK mewacanakan agar orangtua tunggal tidak dilindungi karena dianggap meruntuhkan ketahanan keluarga. Padahal, banyak dari mereka yang bercerai akibat kekerasan dalam rumah tangga yang sudah di luar batas.
“Karena being a single mom, enggak berarti rentan dalam ketahanan keluarga, bahwa kebanyakan single mom stronger being alone daripada di dalam toxic relationship,” pinta Rifka menjelaskan tulisan di atas poster buatannya. Ia menganggap, masih banyak stigma terhadap seorang janda atau ibu tunggal.
“Janda itu pasti perempuan, terutama itu pasti statusnya di-reverse kepada laki-laki. Tapi, kenyataanya enggak. Perempuan akan tetap berdiri di kaki mereka, bahkan ketika mereka sudah menjadi single mom. Banyak juga ‘kan mantan suaminya pergi, tetapi mereka tetap stand dan menyekolahkan anaknya sampai bisa jadi orang yang sangat fungsional.”

Aktivis lainnya bernama Sekar. Perempuan itu menuliskan “BEBASKAN TAHANAN POLITIK PEREMPUAN PAPUA” di atas posternya. Sekar memerhatikan, bahwa masih ada aktivis perempuan bernama Sayang Mandabayan di Manokwari, Papua yang ditahan karena menggunakan hak kebebasan berekspresinya.
“Dia masih punya anak kecil dan dalam proses penahanan, dia [terpaksa] harus menyusui di dalam tahanan,” jelasnya.

Poster berikutnya terlihat unik, ditulis dalam bahasa Jawa, yaitu “Anakmu ramuten sing temen ojo dikongkon kawin ae” yang diakhiri dengan “#stopperkawinan” dini. Aktivis pembuat poster itu menjelaskan, artinya orangtua yang mempunyai anak seharusnya mengajak berdialog yang benar, tidak hanya meminta anaknya untuk segera menikah.
“Aku dari Lamongan dan di sana kami coba dialog. Kami mengumpulkan tanda tangan dari anak-anak SMA, ‘Kami gak mau nikah setelah lulus SMA’, (banyak orang) diajak dialog enggak mau mulu,” kata aktivis itu.
Ia mengaku, pernah bercakap-cakap dengan seorang santriwati yang tidak mau membubuhkan tanda tangannya karena seorang kiai yang memberitahunya, “Daripada anak lu pacaran, mending langsung nikah.” Tak hanya itu, aktivis perempuan itu mengaku sedih sudah menerima tiga undangan lamaran begitu lulus SMA, walaupun dia mengaku belum siap dalam usianya yang masih dini.
Keluh kesah ketiga aktivis tersebut hanyalah sebagian kecil dari berbagai macam keluh kesah terkait isu perempuan yang akan disuarakan saat aksi IWD nanti pada Minggu (08/03/20). Sosok yang memviralkan isu ketidaksetaraan gender di Universitas Negeri Jakarta (UNJ) baru-baru ini, Noval Auliady, membagikan pandangannya mengapa para mahasiswa, khususnya mahasiswi dianjurkan ikut turun ke jalan pada IWD.
“Teman-teman mahasiwa di Indonesia harus maju di tanggal 8 nanti saat International Women’s Day karena banyak sekali isu-isu ketidakadilan gender yang ada di kampus-kampus kita. Banyak sekali masalah kekerasan seksual, terus juga pemugaran anggota-anggota organisasi perempuan. Dan banyak masalah-masalah lain yang harus diselesaikan secepat-cepatnya. Jadi, untuk teman-teman perempuan, dan khususnya, teman-teman minoritas lainnya, kita harus bareng-bareng menyuarakan suara kita, apa yang ada di pikiran kita selama ini untuk segera disahkan dan direalisasikan di tahun ini juga.”
Penulis: Ignatius Raditya Nugraha
Editor: Maria Helen Oktavia
Foto: Ignatius Raditya Nugraha