SERPONG, ULTIMAGZ.com – Film “Dune” akhirnya dirilis di bioskop Indonesia pada Kamis (14/10/21). Penantiannya yang cukup panjang menjadi setimpal karena “Dune” bisa saja menjadi salah satu film sci-fi terbaik yang pernah dirilis.
“Dune” (2021) dari Denis Villeneuve adalah percobaan kesekian untuk mengadaptasi novel berjudul sama karya Frank Herbert. Setelah beberapa adaptasi yang kurang memuaskan, “Dune” akhirnya berhasil menangkap kemegahan buku Herbert dengan visual yang menakjubkan.
Kompleksnya politik dan rumitnya imaginasi dari buku Herbert membuat banyak orang berpendapat bahwa buku ini ‘unfilmable’ alias tidak dapat difilmkan. Namun, “Dune” cukup berhasil menggambarkan dunia antariksa tersebut dengan durasi 2 jam 35 menit pada film bagian pertama ini.
Kisah “Dune” berlatar konflik politik antara House of Atreides, House of Harkonnen, dan House of Corrino atas status sebuah planet bernama Arrakis. Di dunia Dune, Arrakis adalah planet gersang, tandus, juga sulit ditinggali, tetapi memiliki sumber daya alam terpenting berupa rempah bernama Melange.
Selama puluhan tahun, eksploitasi Melange di Arrakis ditangani langsung oleh House of Harkonnen, rumah dari Baron Vladimir Harkonnen. Namun, Kaisar Shaddam IV tiba-tiba menarik Harkonnen keluar dari Arrakis dan menempatkan pesaingnya, House of Atreides, sebagai penggantinya.
Perintah yang asing ini tentu membawa kecurigaan kepada House of Atreides. Pimpinan Atreides, Duke Leto Atreides (Oscar Isaac) menduga sang kaisar mencoba mengadu domba rumahnya dengan Harkonnen untuk menyingkirkan kekuasaannya yang semakin hebat.
Di sisi lain, Paul Atreides (Timothee Chalamet), putra dari Leto mendapatkan penglihatan akan konflik yang akan terjadi di planet Arrakis. Dalam mimpinya, Paul disebut ‘Kwisatz Haderach’ (the chosen one) yang akan memimpin perlawanan para pribumi Arrakis yaitu bangsa Fremen.

Pada dasarnya, dunia Dune memang kompleks dan kadang membingungkan. Kisah Dune di novel memiliki periode waktu yang cukup panjang dengan melingkupi enam buku yang melengkapi serial tersebut. Maka dari itu, menerjemahkan kisah panjang tersebut kepada layar lebar adalah hal yang cukup menantang.
Direktur “Dune” Denis Villeneuve memilih untuk membagi kisah menjadi dua bagian. Dalam bagian pertama, kisahnya lebih menitikberatkan asal usul dengan menggunakan mayoritas durasi untuk mengenalkan para karakter sekaligus membangun ketegangan konflik di antara planet fiktif tersebut. Film “Dune” cukup slow paced atau beralur lamban, hanya pada 40 menit terakhir, plotnya memanas dan konflik akhirnya pecah.
Baca juga: “A WORLD WITHOUT” Suguhkan Konsep Menarik, Tetapi Dinilai Rendah
Cara storytelling ini terbilang efektif karena penonton mempunyai ruang untuk memahami dunia Dune terlebih dahulu sehingga tidak tergesa-gesa dengan konflik yang kian membingungkan. Akan tetapi, akhir dari film tetap menggantung dan menimbulkan beberapa pertanyaan untuk dijawab pada sekuel mendatang.
Jika Ultimates berencana menonton “Dune”, Ultimates bisa menyaksikannya di bioskop untuk mendapatkan pengalaman penuh yang ditunjang oleh visual dan audio yang dramatis dan menenggangkan. Selain itu, sinematografi luar biasa film ini mampu menangkap imajinasi dunia Dune yang terkadang tidak masuk akal.
Penulis: Arienne Clerissa
Editor: Maria Helen Oktavia
Foto: Screenrant, Indie Wire
Sumber: forbes.com,kumparan.com