SERPONG, ULTIMAGZ.com – Pramoedya Ananta Toer ialah seorang sastrawan klasik Indonesia yang pernah diasingkan di Pulau Buru sebagai tahanan politik (tapol) pada masa Orde Baru (1965). Pramoedya dituduh terlibat dalam Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia (G30S PKI) tanpa pengadilan yang jelas. Namun, selama masa tahanannya, Pramoedya menghabiskan waktunya untuk mengukir karya di Pulau Buru.
Pulau Buru, dengan segala keterbatasan dan keputusasaan, menjadi tempat pembuangan bagi mereka yang dianggap sebagai musuh negara. Di sana, Pramoedya dan para tapol bekerja secara paksa membuka hutan untuk membuat jalan, menggarap lahan pertanian, dan membangun barak-barak dengan peralatan seadanya.
Baca juga: Rekomendasi Buku Pramoedya Ananta Toer, Angkat Sejarah dan Politik Indonesia
“Pulau itu masih liar, banyak hewan buas, penduduk asli di sana masih tergolong terbelakang,” ujar Pramoedya dilansir dari liputan6.com.
Pramoedya dan para tapol lainnya diperlakukan secara kasar oleh petugas di Pulau Buru. Hasil pertaniannya pun sering sekali dirampas dan membiarkan mereka bernapas dengan perut kosong. Sebagian tapol pun memakan keong dan cumi-cumi mentah untuk bertahan hidup.
Walaupun dengan kenestapaan yang dihadapi, Pramoedya tetap menulis dalam penderitaan. Hanya dengan kertas-kertas bekas dan pensil yang sulit didapat, Pramoedya tetap meneguhkan tekadnya untuk menulis.
Melansir dari cnnindonesia.com, Pramoedya tidak diperbolehkan menulis saat itu. Namun, ia melakukannya secara diam-diam. Pramoedya menceritakan karyanya secara lisan kepada teman-teman tahanannya. Karya Pramoedya menjadi teman waktu luang tapol lainnya untuk menjaga kehidupan mereka yang penuh keresahan.
Baru pada 1973, Pramoedya mendapatkan perlakuan khusus dibanding tapol lainnya. Perlakuan khusus ini didapat oleh Pram atas perintah dari Jenderal Soemitro yang memperbolehkannya untuk menulis. Bahkan, Pram diberikan kertas dan mesin tik untuk memusatkan perhatiannya dalam mengarang.
Melansir dari historia.id, Soemitro memperbolehkan Pramoedya untuk menulis atas izin dari Presiden Soeharto. Izin ini diberikan karena adanya desakan dari dunia internasional. Dunia saat itu mengetahui sastrawan besar sedang ditahan di Pulau Buru dan diperlakukan secara tidak manusiawi.
Sejak saat itulah, Pramoedya menghabiskan waktunya untuk menulis. Salah satu karya yang dihasilkan adalah sebuah memoar yang berisi kehidupannya di Pulau Buru. Karya tersebut diberi judul Nyanyi Sunyi Seorang Bisu Jilid Satu dan Dua.
Baca juga: Adaptasi Film ‘Bumi Manusia’ Tuai Pro dan Kontra
Selain menulis memoar, Pramoedya juga melahirkan karya yang menjadi bagian sejarah sastra Indonesia. Pulau Buru menjadi saksi bisu dalam lahirnya karya sastra legendaris Indonesia, yaitu Tetralogi Buru: Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca.
Karya-karya yang dilahirkan oleh Pramoedya pada masa tahanannya menjadi sebuah legasi sastra yang abadi. Tiap tuturannya merupakan sebuah nyanyian sunyi Pramoedya di Pulau Buru. Sebuah suara yang terlahir dari penderitaan, tetapi penuh dengan harapan akan kebebasan.
Penulis: Reza Farwan
Editor: Jessie Valencia
Foto: kompas.com
Sumber: liputan6.com, cnnindonesia.com, historia.id
Nice blog right here! Additionally your web site a lot up fast! What web host are you the usage of? Can I get your associate link on your host? I desire my website loaded up as quickly as yours lol
Outstanding post, you have pointed out some good points, I too think this s a very excellent website.