SERPONG, ULTIMAGZ.com – Pengemudi kendaraan bermotor yang terbukti menggunakan Global Positioning System (GPS) saat berkendara terancam dikenai pidana tiga bulan kurungan penjara atau denda sebesar Rp750.000,00. Saat ini, sanksi tersebut baru akan diterapkan oleh polisi yang berjaga atau pun yang berpatroli di lapangan.
“Saat ini masih oleh petugas, baik yang berjaga atau yang berpatroli. Tapi ke depan ‘tiada maaf bagimu’ ketika kamera CCTV sudah terpasang dan itu juga sudah bisa dijadikan alat bukti yang sah sesuai Undang-Undang,” kata Kasubdit Gakkum Ditlantas Polda Metro Jaya Kompol Herman Ruswandi sebagaimana dilansir antaranews.com.
Larangan penggunaan GPS ini diatur dalam Pasal 106 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ) yang berbunyi, “Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor di jalan wajib mengemudikan kendaraannya dengan wajar dan penuh konsentrasi”.
Frasa penuh konsentrasi dimaknai seseorang tidak boleh mengendarai kendaraan bermotor saat kondisi mengantuk, sakit, lelah, menggunakan telepon, menonton tayangan, dan mabuk. Selanjutnya, makna tidak boleh menggunakan telepon diperluas menjadi penggunaan telepon seluler dan penggunaan GPS.
Jika pengemudi melanggar aturan tersebut, maka akan dikenai sanksi merujuk Pasal 283 UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang LLAJ yang berbunyi “Setiap orang yang yang mengemudikan kendaraan bermotor secara tidak wajar dan melakukan kegiatan lain atau dipengaruhi oleh suatu keadaan yang mengakibatkan gangguan konsentrasi dalam Pasal 106 ayat (1), dipidana dengan kurungan paling lama tiga bulan atau denda paling banyak Rp750.000”.
“Aturan tersebut jelas alas hukumnya bahkan dari dulu, yakni di Pasal 106 ayat (1) dan Pasal 283 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009. Tidak diragukan lagi,” jelas Herman.
GPS Masih Boleh Digunakan
Kendati dilarang penggunaannya, bukan berarti pengemudi sama sekali tidak diperbolehkan menggunakan aplikasi navigasi tersebut. GPS masih boleh digunakan pengemudi kendaraan bermotor dengan catatan tidak membahayakan dirinya dan orang lain.
“Jika dia mengoperasikan GPS di ponselnya atau yang ditempelkan dalam keadaan kendaraan menepi di pinggir jalan itu boleh. Yang jelas ditindak adalah yang mengoperasikannya saat jalan apalagi di jalur cepat, karena pasti akan mengganggu konsentrasi,” jelas Herman.
Lebih lanjut lagi, Kepala Korps Lalu Lintas (Kakorlantas) Polri Irjen Pol Refdi Andri menegaskan bahwa yang dilarang itu mengoperasikan atau mengaktifkan GPS dalam posisi kendaraan berjalan atau bergerak.
“Jadi berhenti dulu. Setelah tujuannya sudah ada, maka boleh berjalan lagi sambil menggunakan GPS. Tetapi, kalau pakai GPS sambil memegang ponsel dan kendaraan sambil jalan itu yang jelas dilarang dan akan kami tindak,” ujar Refdi.
Polemik Larangan Penggunaan GPS
Larangan penggunaan GPS saat berkendara ini membuat komunitas Toyota Soluna melayangkan gugatan kepada Mahkamah Konstitusi (MK) untuk melakukan peninjauan kembali terhadap Pasal 106 ayat (1) dan Pasal 283 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang LLAJ.
Keberatan juga ditunjukkan oleh Ketua Umum Komunitas Avanza Xenia Indonesia Club Taufik yang menyebutkan bahwa pelarangan penggunaan GPS ini berlebihan. “Apalagi dilarang penggunaannya. Karena selama ini kalau digunakan dan ditempatkan pada posisi tepat, telepon genggam itu tidak mengganggu,” ucap Taufik seperti dilansir kompas.com.
Selain komunitas, Training Director Jakarta Defensive Driving Consulting (JDDC) Jusri Pulubuhu juga menanggapi putusan MK itu. Menurutnya, larangan penggunaan aplikasi navigasi tersebut cenderung subjektif.
“MK ini cenderung subjektif. Mungkin karena melihat dari perilaku ojek dalam jaringan (daring) atau online (ojol) yang kerap multitasking saat berkendara yang memang berbahaya untuk dilakukan. Namun harusnya tidak langsung menolak, karena tidak semua pengendara atau ojol selalu melihat GPS saat berkendara,” ucap Jusri dikutip kompas.com.
Sayangnya, gugatan komunitas Toyota Soluna ini ditolak oleh MK pada Rabu (30/01/19) lantaran pokok permohonannya dinilai tidak beralasan secara hukum. MK berargumen bahwa aturan tersebut merujuk pada UU LLAJ dan sudah lengkap untuk mengatur upaya tertib berlalu lintas.
“Dalam hal ini, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 telah mengatur secara komprehensif upaya tertib berlalu lintas yang tidak hanya bertujuan melindungi pengendara motor, tapi juga pengguna jalan lainnya, seperti pesepeda dan pejalan kaki,” kata Hakim MK Wahiduddin Adams.
Sementara itu, MK sebenarnya juga memahami manfaat GPS yang digunakan oleh pengemudi untuk mencapai lokasi tujuan. Namun MK menilai, penggunaan GPS tetap dapat merusak konsentrasi karena pengemudi melakukan dua aktivitas sekaligus.
Polemik lainnya yang muncul terkait larangan penggunaan GPS ini adalah proses penindakkannya yang dikembalikan kepada petugas di lapangan. Dalam kasus ini, petugas perlu mencermati perilaku berkendara seseorang yang notabene berbeda-beda di setiap kasusnya. Meskipun demikian, Herman berharap dengan adanya peraturan ini, kecelakaan fatal akibat hilangnya konsentrasi pengemudi saat berkendara akan berkurang atau bahkan tidak ada lagi.
Penulis: Galuh Putri Riyanto
Editor: Geofanni Nerissa Arviana
Foto: kumparan.com
Sumber: kompas.com, cnnindonesia.com, antaranews.com, mediaindonesia.com