JAKARTA, ULTIMAGZ.com — Sejak 1998, dunia merayakan Hari Hemofilia Sedunia setiap 17 April agar dapat meningkatkan pemahaman serta kesadaran masyarakat mengenai hemofilia. Kerap kali, masyarakat memberi predikat penyakit ini dengan julukan ‘The Royal Diseases‘ atau ‘Penyakit Kerajaan’.
Julukan tersbut muncul karena salah satu Ratu Inggris, Ratu Victoria (1837-1901) merupakan pembawa sifat atau carrier penyakit hemofilia. Untuk mengenal penyakit keturunan ini secara lebih dalam, berikut penjelasan dan rekam jejak sejarah hemofilia.
Dilansir dari situs resmi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI), hemofilia merupakan kondisi kelainan darah yang sulit untuk menggumpal atau membeku karena tubuh kekurangan protein pembekuan darah. Alhasil, darah penyintas tidak dapat dihentikan apabila terluka. Ketika pendarahan terlambat ditangani, hemofilia dapat membawa penderita pada kecacatan fisik dan berujung pada kematian.
Kata hemofilia sendiri pertama kali ditemukan dalam tulisan karya Hopff di Universitas Zurich pada 1828. Namun, 100 tahun kemudian seorang dokter dan guru besar kedokteran di Jerman Johann Lukas Schonlein baru memperkenalkan istilah hemofilia atau haemophilia. Jejak ini ditemukan dalam ensiklopedia Britanica. Schonlein membuat istilah ini sejak ia harus menggunakan mikroskop agar dapat melakukan analisis kimiawi terhadap urin dan darah seorang pasien untuk menegakkan diagnosis penyakit.
Kemudian penyakit ini mendapatkan julukan ‘Penyakit Kerajaan’ ketika Ratu Victoria (nenek buyut Ratu Elizabeth II) melahirkan anak kedelapannya, Pangeran Leopold. Berdasarkan pemberitaan British Medical Journal pada 1868, Ratu Victoria dan Dokter Kerajaan tidak tahu anak laki-lakinya itu sakit apa. Padahal Leopod adalah penderita hemofilia sehingga luka memarnya sulit untuk pulih dan sering mengalami pendarahan. Dengan kondisi pengetahuan dunia dan tenaga medis tentang penanganan pasien hemofilia yang minim, akhirnya Leopod meninggal dunia pada saat berumur 31 tahun karena pendarahan otak.

Penyebab Ratu Victoria dapat menjadi pembawa penyakit genetik hemofilia pernah dijelaskan dalam situs kompas.com. Pasalnya, beberapa keluarga kerajaan besar di Eropa akrab dengan praktik perkawinan sedarah atau inses. Padahal pernikahan antar-saudara di keluarga dapat menimbulkan efek buruk untuk keturunannya. Walaupun Ratu Victoria bukan pelaku inses, tetapi tindakan keluarganya yang membuat ia menjadi pembawa penyakit hemofilia. Hal ini terbukti dari kasus yang terjadi pada anak kedelapannya, Leopod dan tiga anak-anak perempuannya, Putri Victoria, Putri Alice, serta Putri Beatrice.
Meski ketiga putrinya tidak positif hemofilia, tetapi mereka menjadi pembawa genetik penyakit tersebut. Buktinya pada 1928, Viscount Trematon, anak laki-laki Alice, meninggal dengan penyebab yang sama seperti Leopod, yaitu pendarahan otak. Masalahnya, ketiga putri Ratu Victoria menikahi pria yang merupakan bangsawan dari Spanyol, Jerman, dan Rusia. Akibatnya, penyebaran penyakit ini menjadi semakin meluas ke kerajaan lain.

Sebenarnya hemofilia sering terjadi pada laki-laki yang hanya memiliki satu kromosom X karena penyakit genetik ini berasal dari kelainan kromosom X. Dalam perhitungan genetis, perempuan memiliki dua kromosom X yang dapat membuatnya hanya sebagai pembawa atau carrier penyakit hemofilia. Maka dari itu, peluang keturunan laki-laki untuk terkena hemofilia lebih tinggi. Di sisi lain, perempuan dapat terjangkit hemofilia bila ayahnya hemofilia dan ibunya merupakan carrier. Namun, kasus ini jarang terjadi.
Hingga saat ini, diagnosa hemofilia hanya bisa diketahui lewat tes darah yang dilakukan oleh dokter. Dengan tes darah, dokter dapat mengetahui berapa lama waktu yang dibutuhkan tubuh untuk pembekuan darah, faktor pembekuan mana yang hilang, dan tingkat faktor pembekuannya. Sebelum memutuskan untuk tes darah, Ultimates dapat menyimak gejala-gejala penderita hemofilia yang disadur dari tirto.id.
- Setiap luka, gigitan, goresan, atau cedera gigi menyebabkan pendarahan eksternal yang berlebihan.
- Sering mengalami mimisan tanpa sebab.
- Terdapat memar-memar yang besar atau dalam di kulit.
- Pendarahan yang tidak bisa dijelaskan setelah mendapatkan vaksin.
- Nyeri dan bengkak di persendian seperti di lutut dan siku. Kemudian saat disentuh akan terasa panas, bengkak, dan sulit bergerak.
- Terdapat darah di dalam urine atau feses.
- Pendarahan di otak, termasuk sakit kepala, muntah, lesu, pengelihatan kabur, kelumpuhan hingga kejang-kejang.
Penulis: Elisabeth Diandra Sandi
Editor: Abel Pramudya
Foto: pexels.com, tribunnews.com
Sumber: kompas.com, tribunnews.com, tirto.id, cnnindonesia.com, idntimes.com