SERPONG, ULTIMAGZ.com – Apakah Ultimates sering menonton film? Walau sekadar hiburan, menonton film sering menjadi pilihan kaum muda untuk mengisi waktu luang. Namun, apakah Ultimates sadar bahwa generasi muda Indonesia cenderung menyukai film-film Hollywood dibandingkan karya lokal?
Hal tersebut berkaitan erat dengan westernisasi atau fakta bahwa generasi muda Indonesia menyukai kebudayaan barat mulai dari gaya berpakaian, makanan, hingga nilai-nilai kehidupan. Westernisasi pun turut memengaruhi pola konsumsi anak muda terhadap konten dari dunia perfilman Hollywood.
Baca juga: Disney Normalisasikan Pasangan Remaja Gay di “Strange World”
Survei dari Rumah Millennials pada 2019 menunjukkan 83,3 persen responden gemar menonton film Hollywood. Di sisi lain, hanya 52,2 persen responden yang menyukai film Indonesia.
Bahkan, rekor film terlaris di bioskop Indonesia masih dipegang oleh “Avengers: Endgame” yang tayang pada 2019 lalu. Melansir dari cnbcindonesia.com, film garapan Anthony dan Joe Russo tersebut tercatat meraup 11,2 juta penonton dengan keuntungan 34 juta dolar Amerika Serikat (AS), sekitar 520 miliar rupiah.
Lantas, mengapa film-film Tanah Air masih belum diminati sebagian besar generasi muda Indonesia?
Dampak Masif Hollywood
Ultimates pasti sudah tidak asing dengan Hollywood. Tersebar hampir di seluruh negara, Hollywood saat ini menjadi industri perfilman terbesar di dunia.
Sinema AS, yang lebih umum disebut sebagai Hollywood, telah memiliki efek dahsyat pada dunia sinematik di seluruh dunia sejak awal abad ke-20. Sejarahnya dibagi dalam empat periode utama yakni era film bisu, sinema Hollywood klasik, New Hollywood, dan periode kontemporer.
Menurut riset dari Gower Street Analytics, pendapatan Hollywood pada 2022 secara global mencapai 25,9 miliar dolar AS, setara dengan 395 triliun rupiah. Dengan angka fantastis tersebut, tentu Hollywood bisa dibilang telah menguasai pasar dunia, termasuk Indonesia.
Dominasi industri Hollywood telah berdampak pada sejumlah aspek, tidak terkecuali dalam membentuk persepsi dan pola pikir para penonton. Film-film Hollywood sering kali menyajikan white saviour narrative, sebuah naratif yang memperlihatkan orang kulit putih sebagai penyelamat bagi orang-orang kulit berwarna.
Contohnya dalam film “The Great Wall” (2016) yang menceritakan tentang karakter kulit putih sebagai pahlawan bagi bangsa Asia. Tokoh yang dimainkan Matt Damon dalam film tersebut digambarkan menjadi penyelamat yang membantu masyarakat Tiongkok bebas dari serangan monster.
“The Great Wall” adalah salah satu dari sekian banyak film Hollywood yang menonjolkan karakter berkulit putih sebagai protagonis.
Dengan adanya upaya-upaya tersebut, negara barat sukses menanamkan suatu ideologi pada penonton Indonesia tentang kehebatan bangsa mereka. Dengan demikian, sebagian masyarakat lokal pun memiliki pandangan bahwa apa pun yang dilakukan orang-orang kulit putih selalu lebih baik, tidak terkecuali karya perfilman Hollywood.
Kualitas yang Belum Memuaskan
Saat ini, dunia perfilman Indonesia sudah mulai berkembang dan berhasil memproduksi berbagai film-film sukses seperti “KKN di Desa Penari” dan “Dilan 1990”. Namun, masih banyak pula film lokal yang kualitasnya masih kalah dibandingkan hasil karya Hollywood.
Creative Manager IDN Pictures Deo Mahameru mengatakan bahwa perbandingan film Indonesia dengan film Hollywood masih jelas terlihat.
“Harus bisa diterima dengan besar hati bahwa secara umum, kualitas film Indonesia memang belum berada di tingkat yang sama dengan kualitas film Hollywood,” kata Deo, dikutip dari idntimes.com.
Berbagai aspek baik dari alur cerita, akting pemain, maupun teknologi menjadi alasan kualitas karya-karya produksi Hollywood belum dapat dikalahkan oleh film Indonesia.
Survei IDN Times pada 2019 menunjukkan lebih dari 50 persen responden tidak suka menyaksikan film lokal karena jalan ceritanya yang mudah ditebak. Sementara 27,4 persen menganggap teknis film Indonesia masih kurang baik.
Di samping aspek-aspek tersebut, industri perfilman Tanah Air pun masih kekurangan sumber daya manusia (SDM). Hal ini bahkan diakui oleh sutradara terkenal asal Indonesia, Joko Anwar.
“SDM sekarang memang kurang, karena memang kalau dilihat dari jumlah film yang diproduksi setiap tahunnya sudah mencapai 140 judul. Tentunya dengan banyak produksi film akan banyak dibutuhkan juga kru dan pemain film,” ujar Joko, dikutip dari jawapos.com.
Agar mampu memproduksi karya yang bernilai, diperlukan pula SDM yang berkualitas. Keterbatasan penulis naskah, kru film, hingga pemain menjadi hambatan untuk memproduksi karya-karya lokal yang dapat bersaing dengan pasar Hollywood.
Salah satu alasan utama atas permasalahan ini tidak luput dari fakta bahwa pendidikan formal pada bidang perfilman di Indonesia masih sangat minim. Walaupun bukan suatu kewajiban, pendidikan dasar tetap menjadi landasan yang krusial bagi para praktisi di industri perfilman.
Adanya kesenjangan antara jumlah film yang diproduksi dan SDM yang terbatas menjadi penyebab kualitas sejumlah film lokal masih tergolong rendah. Maka dari itu, mengumpulkan SDM yang unggul masih menjadi tugas yang harus diselesaikan industri perfilman tanah air.
Lebih Adaptif dan Variatif
Saat ini, film Hollywood menawarkan berbagai genre dan berhasil masuk ke selera penonton Indonesia dan bahkan berhasil bersaing dengan film lokal. Banyak masyarakat Indonesia pun menilai bahwa film buatan dalam negeri kurang variasi dan terkesan monoton.
Film Indonesia juga dinilai kurang variatif terutama dalam genre sci-fi dan aksi. Banyak yang menganggap film Indonesia kurang orisinal dan masih perlu dibenahi.
“Enggak ada ide yang murni dan fresh dalam film lokal. Ide yang diangkat dari novel doang,” ungkap seorang penonton yang dikutip dari kompas.com.
Melansir dari beautynesia.id, kebanyakan film lokal lebih memilih untuk bermain aman dengan hanya mengangkat genre yang banyak ditonton masyarakat Indonesia. Ketakutan mengeksplor genre baru menjadi penghambat berkembangnya kreativitas para sineas Indonesia. Bahkan banyak yang mengandalkan adegan dewasa untuk menarik perhatian penonton.
Hal ini jelas berbeda dengan film Hollywood yang berlomba-lomba untuk menciptakan film dengan genre baru dan anti mainstream. Meskipun beberapa film mendapatkan rating rendah, tetapi banyak juga yang berhasil menembus kancah internasional karena memiliki jalan cerita yang unik, bermoral, dan dikemas dengan baik.
Oleh karena itu, dunia perfilman Indonesia harus berani keluar dari zona nyaman dan menciptakan sesuatu yang baru. Dengan begitu, industri perfilman lokal akan mampu menjangkau para generasi muda yang cenderung menyukai hal-hal unik.
Kurangnya Kepedulian
Masuknya budaya barat ke Indonesia banyak mengubah persepsi masyarakat terhadap produk-produk lokal. Banyak masyarakat yang lebih membangga-banggakan dan mendukung produk luar negeri agar terlihat kekinian dan mengikuti tren.
Sejumlah anak muda bahkan menganggap bahwa film-film lokal norak dan ketinggalan zaman.
“Alur cerita film lokal banyak yang mudah ditebak dan terkesan garing. Secara visual juga masih terlalu kelihatan editan jadi kayak ketinggalan zaman banget dibanding film luar,” ujar Krisna, seorang mahasiswa Ilmu Komunikasi di Universitas Multimedia Nusantara.
Menilai bahwa Hollywood lebih unggul dari segi pembuatan film, grafik, dan penyuntingan, generasi muda semakin menganggap remeh film lokal.
Kurangnya kepedulian kaum muda terhadap film-film lokal turut menghambat perkembangan dunia perfilman tanah air. Tanpa adanya dukungan dari masyarakat, perfilman Indonesia tidak dapat berkembang dengan maksimal.
Sebagai warga Indonesia, sudah seharusnya Ultimates bangga dan peduli pada karya-karya anak bangsa. Dengan adanya dukungan, dunia perfilman lokal bisa bertumbuh hingga mampu bersaing di pasar internasional.
Ada Kaitannya dengan Mental Inlander
Sebelum menyatakan kemerdekaannya pada 1945, Indonesia dijajah bangsa lainnya seperti Portugis, Belanda, dan Jepang. Sebagai bangsa yang pernah berjuang melawan penjajahan selama ratusan tahun, anak muda Indonesia saat ini cenderung memiliki mental inlander.
Mental inlander atau mentalitas kolonial adalah keyakinan bahwa bangsa penjajah lebih superior dan unggul dibandingkan diri mereka sendiri. Melansir dari narasisejarah.id, mental inlander terbentuk karena adanya berbagai kebijakan pada masa kolonial Belanda yang merendahkan kaum pribumi.
Dengan mental inlander yang masih menghantui, generasi muda cenderung menganggap karya lokal Indonesia tidak hebat, termasuk produk dari industri perfilman.
Mental inlander memang berpusat pada masa penjajahan kepada kaum pribumi Indonesia yang berarti kalangan bawahan, kalangan budak, atau kalangan terbelakang. Namun di zaman sekarang, mental inlander dapat diartikan sebagai sikap yang menganggap segala sesuatu dari luar negeri lebih bagus, maju, dan baik, sedangkan budaya atau sesuatu dari negerinya sendiri dianggap buruk, tidak bagus, dan tertinggal.
Persepsi negatif anak-anak muda terhadap film lokal membuat industri perfilman Indonesia kerap dipandang sebelah mata. Sering kali kaum muda Indonesia lebih bangga ketika mengonsumsi film luar, tetapi justru merasa malu saat menonton karya lokal.
Baca juga: Lagu Anak Mengabur, Anak Tak Seharusnya Nyanyikan Lagu Dewasa
Dengan film-film yang telah dibuat belakangan ini, semoga menjadi pertanda bahwa industri perfilman Indonesia akan terus berkembang dan bertumbuh. Hal ini pun tentu hanya dapat dicapai bersama dengan kontribusi dari masyarakat Indonesia.
Memiliki preferensi masing-masing tentu merupakan hal wajar bagi generasi muda yang hidup berdampingan dengan teknologi dan budaya-budaya luar. Namun, sebagai generasi penerus bangsa, Ultimates tetap harus mendukung karya-karya lokal.
Penulis: Cheryl Natalia (Komunikasi Strategis, 2021) & Wynnie Saputri Jansen (Manajemen, 2021)
Editor: Alycia Catelyn
Foto: Justine Dave
Sumber: rumahmillennials.com, cnbcindonesia.com, idntimes.com, jawapos.com, screendaily.com, narasisejarah.id, kompas.com, beautynesia.id