Mahasiswa takut pada dosen,
Dosen takut pada dekan,
Dekan takut pada rektor,
Rektor takut pada menteri,
Menteri takut pada presiden,
Presiden takut pada mahasiswa. (Taufiq Ismail- Takut 66, Takut 98)
SERPONG, ULTIMAGZ.com- Menyandang status ‘maha’, mahasiswa memiliki banyak kelebihan dibandingkan siswa biasa, yakni di-maha-kan atau dihormati di masyarakat. Sebagai sosok yang terhormat di masyarakat, sudah seharusnya mahasiswa mampu berpikir dewasa, independen, dan mandiri. Dengan ilmu dan karakter yang mumpuni, mahasiswa diharapkan mampu memberikan kontribusi di masyarakat, yakni dengan memperbaiki yang salah dan tak gentar untuk melawan kezaliman.
Pada tahun ini, tepat dua dekade sudah semenjak reformasi dijalankan. Masa-masa reformasi adalah saat dimana para mahasiswa berhasil menggaungkan dan menjembatani suara rakyat. Suara mahasiswa terbukti mampu dijadikan kontrol sosial, bahkan pemerintahan “berdinding besi” pun mampu diruntuhkan. Namun, itu dulu.
Sekarang, perlahan tapi pasti, suara-suara lantang mulai samar. Suara perlawanan yang bergema kala kebijakan tidak pro rakyat muncul hanya ramai digaungkan di sosial media. Zaman berubah, media yang digunakan juga berubah, itu wajar. Namun sangat disayangkan, pengaruh suara mahasiswa di masyarakat juga ikut mengalami perubahan.
Namun, seperti tak ingin dilupakan, reformasi dan kekuatan mahasiswa meminta diingat kembali dengan cara yang tak terduga.
Aksi #KartuKuningJokowi
Identik dengan hari kasih sayang, Februari merupakan bulan penuh cinta yang seringkali dirasa tepat untuk menyatakan rasa sayang pada orang-orang terkasih. Begitu juga yang dilakukan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Indonesia (UI) pada Presiden RI Joko Widodo. Namun bukan dengan seikat mawar atau sebatang coklat yang manis, melainkan lewat sebuah kartu kuning. Suatu cara yang tak terduga.
Aksi #KartuKuningJokowi oleh Ketua BEM UI M. Zaadit Taqwa, memberikan sentilan manis bagi pemerintah Indonesia. Zaadit melakukan aksi simbolik berupa peniupan peluit dan pengacungan buku paduan suara berwarna kuning ke arah Jokowi pada acara Dies Natalis ke-68 UI, Balairung UI, Depok (2/2/2018).
Aksi Zaadit ini merupakan ungkapan protes BEM UI kepada pemerintahan Jokowi yang masih mempunyai banyak pekerjaan rumah. Ada tiga tuntutan yang disoroti BEM UI sebagai pihak yang merencanakan aksi ini, yakni penyelesaian masalah gizi buruk dan campak di Asmat, penghentian dwifungsi ABRI, dan penolakan atas peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia (Permenristekdikti) tentang organisasi mahasiswa (ormawa).
Dilansir dari Kompas.com, per 31 Januari 2018 terdapat 71 korban meninggal dunia akibat gizi buruk dan campak di Asmat, Papua. Status daerah ini pun ditetapkan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) sebagai kejadian luar biasa (KLB). Urgensi menyejahterakan seluruh rakyat Indonesia sudah menjadi cita-cita bangsa seperti dicantumkan dalam Pembukaan UUD 1945, tak terkecuali bagi Papua.
Isu kedua tentang penolakan usul Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo, yang menunjuk dua jenderal Polri menjadi pelaksana tugas (PLT) Provinsi Jawa Barat dan Sumatera Utara. Penolakan dwifungsi ABRI dalam pemerintahan merupakan salah satu dari sekian banyak agenda reformasi 1998. Polri seharusnya tidak ikut campur alias netral dalam urusan politik sebagaimana tertuang dalam pasal 28 ayat (2) UU No.2 Tahun 2002 tentang Polri.
Isu ketiga yakni Permenristekdikti tentang ormawa yang secara keseluruhan akan menyeragamkan aturan ormawa seluruh Indonesia dengan pembatasan periodisasi dan mengharuskan izin kegiatan melalui rektorat. Sungguh sebuah aturan yang akan membatasi ruang gerak mahasiswa sebagai organisasi. Penyeragaman bukan hal yang tepat untuk diterapkan dalam organisasi mahasiswa, sebab ada banyak keperluan yang berbeda dan spesifik bagi masing-masing universitas.
Terlepas dari pro-kontra aksi ini di masyarakat, tindakan Zaadit seakan membawa semangat mahasiswa untuk hidup bukan hanya sebagai pelajar, tetapi juga sebagai agen kontrol sosial di masyarakat. Melalui aksi ini, mahasiswa seakan diingatkan bahwa mereka dapat bersuara dan tak boleh terlena akan pemberitaan-pemberitaan positif yang berhubungan dengan pemerintah.
Mengutip pernyataan dari Presma UGM, Obed Kresna dalam Mata Najwa episode Kartu Kuning Jokowi (7/2/2018) aksi ini seharusnya bukan sebagai tindakan anti pemerintah. Mahasiswa hanya ingin jadi jembatan bagi pemerintah dan masyarakat, dan itu memang sudah menjadi tugas seorang mahasiswa.
Tanggapan BEM UMN terhadap Aksi BEM UI
Secara khusus, penulis menanyakan tanggapan BEM UMN terhadap aksi BEM UI sebagai sesama organisasi mahasiswa kampus, yakni Badan Eksekutif Mahasiswa. Pihak BEM UMN pun menjawab dengan surat resmi seperti yang tertera di bawah ini.
Dalam surat ini, sikap BEM UMN terhadap aksi BEM UI adalah netral alias abu-abu, antara menolak ataupun mendukung. Ketidakjelasan sikap ini pun diuraikan Ketua BEM UMN Julian Rizki, sebagai bentuk keinginan BEM UMN untuk tidak bersikap “sok tahu” atas isu-isu yang dibahas dalam aksi #KartuKuningJokowi ini.
“BEM UMN enggak bisa mengatakan mendukung atau menolak karena kita (BEM UMN) berada di halaman berbeda (dengan BEM UI atau BEM universitas lainnya). So, nggak bisa mendukung atau menolak secara penuh aksi yang dilakukan ini. Butuh kajian lebih lanjut untuk bisa sepenuhnya setuju atau menolak aksi tentang 3 isu yang dibahas. Nah, kita enggak punya tuh, kajian-kajian untuk meneliti isu ini, apakah memang substansial atau hanya membuka peta politik baru, maka kami memilih untuk tidak mendukung atau menolak,” ujar mahasiswa Public Relations angkatan 2015 ini.
Namun secara pribadi, Julian mengakui aksi yang dilakukan Zaadit dan BEM UI sungguh kreatif.
“Aksi ini menunjukkan kembali bahwa mahasiswa masih ada,” ujar pria yang gemar menulis sajak dalam blog pribadinya ini.
Terlihat dengan jelas dalam surat di atas, fungsi BEM UMN hanya terkait dengan kegiatan pemberdayaan internal mahasiswa UMN. Julian mengakui bahwa faktor sumber daya yang dimiliki dan usia yang masih terbilang muda membuat BEM UMN belum mampu menjalankan dwifungsi mahasiswa sebagaimana dicita-citakan dalam long march (mahasiswa) angkatan ’66. BEM UMN pun tidak berafiliasi dengan BEM SI ataupun perkumpulan BEM lainnya.
“Politik mungkin nanti dulu, kita fokus untuk pembenahan internal kampus dulu. Kita emang gak bergabung tapi kita tetep menjalin kerja sama seperti studi banding dan sebagainya. Karena kalaupun bergabung, BEM UMN gak akan memberikan kontribusi maksimal seperti BEM lainnya karena memang sumber daya kami kurang mampu menangani masalah politik seperti itu,” tambah Julian.
Namun perlu diingat sebagai siswa yang di-maha-kan, mahasiswa tidak hanya berkewajiban untuk menjadi seorang intelek di bangku kuliah, tapi juga sebagai penerus dan pemerhati kehidupan bangsa. Organisasi mahasiswa merupakan salah satu dari banyaknya wadah kaum muda untuk menyatakan sikap dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kiprah mahasiswa akan selalu dinanti. Suara mahasiswa sebagai insan merdeka yang tidak ditunggangi kepentingan siapapun kecuali kepentingan rakyat akan ditunggu untuk bergema kembali.
“Hanya ada dua pilihan: menjadi apatis atau mengikuti arus. Tetapi aku memilih untuk menjadi manusia merdeka” – Soe Hok Gie, Aktivis Mahasiswa Angkatan ’66.
Penulis: Diana Valencia, Mahasiswi Jurnalistik UMN angkatan 2015
Editor: Gilang Fajar Septian
Foto: Merdeka.co, Tribunnews.com, Twitter (@DAVEMANUEL7, @ricojco),