SERPONG, ULTIMAGZ.com – Sejak kecil, kita seringkali mendengar ungkapan “Buku adalah jendela dunia”. Dengan membaca buku, seseorang akan memiliki banyak ilmu. Namun dalam perkembangannya, seolah jendela itu sulit dibuka dengan berbagai alasan, salah satunya perkembangan zaman di mana semuanya menjadi instan.
UNESCO (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization) menetapkan tanggal 23 April sebagai Hari Buku dan Hak Cipta Sedunia, berdasarkan keberadaan Festival Katalonia pada tahun 1995. Dan pada tanggal tersebut para penulis ternama seperti Cervantes, Josep Pla, dan William Shakespeare meninggal dunia. Di tanggal itu pula, penulis seperti Maurice Druon dan Vladimir Nabokov dilahirkan.
Dunia sudah menganggap buku adalah bagian penting dari sejarah dan ilmu pengetahuan, sampai-sampai buku memiliki hari “ulang tahun”-nya sendiri. Selain menambah wawasan, beberapa manfaat lain dari membaca buku adalah mengembangkan kreativitas, yang bisa dilihat dari beberapa film yang diangkat dari novel.
Ketika membaca novel, otak manusia akan berimajinasi, membayangkan karakter dan wajah tokoh, latar waktu, dan tempat. Maka dari imajinasi tersebut, terciptalah kreativitas baru dalam bentuk film adaptasi.
Di Indonesia, Hari Buku Nasional dirayakan pertama kali tahun 2006, diprakarsai Forum Indonesia Membaca, sekaligus bertepatan dengan awal mula berdirinya Perpusatakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI) di Jakarta pada tanggal 17 Mei 1980.
Sudah satu dekade berlalu. Lalu, bagaimana nasib buku di Indonesia? Masih adakah peminatnya?
Ada anekdot yang mengatakan “Kalau orang luar negeri membeli barang, baca buku panduan, baru pakai barangnya. Kalau orang Indonesia, beli barang, pakai dulu. Kalau rusak, baru baca buku panduan.” Terdengar ringan, namun cukup untuk menjadi refleksi diri.
Seberapa banyak di antara kita yang mau ‘membuang’ waktunya untuk sekadar membaca, bahkan buku panduan sekalipun yang biasanya tidak terlalu tebal?
Bicara mengenai data, hasil survei yang dilakukan UNESCO pada tahun 2011 menunjukkan dari 1000 penduduk Indonesia, hanya satu orang yang membaca buku. Survei tersebut menunjukkan rendahnya budaya baca masyarakat Indonesia, dibanding dengan negara-negara lain di wilayah Asia atau Eropa, terutama Amerika.
Sebagai perbandingan, satu penduduk negeri ‘Paman Sam’ tuntas membaca 20 hingga 30 judul buku setiap tahunnya. Di Jepang, satu orang rata-rata tuntas membaca 10 hingga 15 buku, dan kebanyakan negara lainnya di Asia, hanya satu hingga tiga buku per tahun. Sementara di Indonesia, dalam setahun rata-rata hanya tuntas membaca satu buku.
Data lain yang dikemukakan UNESCO pada tahun 2009 mengatakan, nilai indeks minat baca Indonesia berada di urutan 52, atau urutan terendah dari berbagai negara yang di survei di Asia.
Ada apa dengan buku dan minat baca orang Indonesia? Mengapa ditinggalkan begitu saja? Pada tahun 2012, The United Nations Development Programme (UNDP) melaporkan angka melek huruf orang dewasa Indonesia hanya 65,5 persen.
Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) mengungkapkan, rendahnya minat baca diduga karena rendahnya kualitas perpustakaan dan daya beli masyarakat. Untuk mengatasi hal ini, pemerintah juga perlu menjalin kerja sama dengan berbagai pihak untuk pengadaan sumber bacaan dan perbaikan fasilitas perpustakaan.
Menanggapi ini, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan mengatakan bangsa Indonesia lebih senang membuat pelaporan pembangunan perpustakaan itu terserap dana APBD dan APBN dengan baik. Akan tetapi, pelaporan kunjungan dan pemanfaatan masyarakat yang membaca buku itu tidak ada.
Berbeda dengan negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia, yang infrastruktur prasarana perpustakaannya sedikit, namun minat membaca masyarakatnya cukup tinggi. Setidaknya, lebih tinggi dibanding Indonesia.
Namun, hal ini dibantu dengan Peraturan Menteri (Permen) Nomor 23/2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti, diantaranya sebelum mulai kegiatan belajar mengajar, siswa diwajibkan membaca selama 15 menit. Kewajiban membaca di kalangan pelajar itu jadi bagian yang penting agar membaca bisa dijadikan kebiasaan positif. Anies juga mengatakan dirinya yakin semangat membaca masyarakat Indonesia masih bisa dibangkitkan.
Sebagai generasi muda, salah satu faktor malas membaca adalah ketebalan buku yang membuat buku tidak mobile, dan kebanyakan buku hanya ada barisan kata tanpa gambar sehingga terkesan kaku. Padahal, anak muda suka sesuatu yang bersifat dinamis. Namun, buku memiliki kelebihan yang tidak dimiliki bacaan yang ada di gawai.
Dalam mengerjakan tugas, jurnal, atau makalah, sumber yang dipercaya dan dianggap valid adalah tulisan buku cetak, bukan artikel daring atau forum dari media berkualitas rendah, apalagi blog. Hal ini disebabkan buku cetak sudah lolos uji ilmiah, dan disunting oleh editor sebelum dianggap layak cetak.
Sedangkan pada artikel daring atau forum, semua orang bisa menulis data, terlepas apakah data itu valid atau tidak, serta kredibilitasnya dipertanyakan. Selain itu, buku memiliki bahasan yang mendalam serta referensi yang tidak sedikit, sehingga pengembangan isinya menjadi lebih maksimal.
Jurnalis Indonesia Pangeran Siahaan pernah berujar, “Dari kecil kita susah payah untuk belajar membaca. Tapi waktu dewasa, kita malah cuek dengan bacaan.” Kutipan tersebut dapat menjadi bahan renungan untuk kita.
Pada akhirnya, data hanyalah data. Yang tersisa adalah hati nurani kita. Akankah kita tetap membiarkan diri terlena dengan kemalasan, atau sebaliknya, mulai membuka lembaran baru dengan memoles ulang “senjata” kita yang telah “berkarat”?
Penulis: Theofilus Ifan Sucipto
Editor: Alif Gusti Mahardika
Sumber: republika.co.id, bukuonlinestore.com, bisnis.com, antaranews.com, beritametro.co.id, selasar.com, iproudbemuslim.blogspot.co.id, dan galamedianews.com
Foto: lindseyhoshaw.files.wordpress.com