SERPONG, ULTIMAGZ.com – Rasa nyeri melilit di perut bagian bawah yang terus meluruhkan lapisan-lapisan di dalamnya. Gumpalan demi gumpalan dari lapisan dinding tempat ovum bersemayam mulai memisahkan diri dari tempat asalnya. Segumpal darah bulanan mulai berjalan secara teratur menuju pintu keluar. Terpisahnya gumpalan itu dengan lapisan dinding, memberikan rasa nyeri yang luar biasa bagi kaum hawa.
Mari berbicara tentang rasa sakit yang harus dilalui perempuan tiap bulan. Menstruasi bukanlah hal yang remeh.
Baca juga: Ibu Hamil Adalah Ibu yang Kuat, Bukan Berarti Tidak Butuh Bantuan
Pada Selasa (11/04/23), ULTIMAGZ telah melakukan survei melalui Instagram dalam bentuk question box guna menjadi ruang kisah Ultimates dalam berjuang penderitaan menstruasi. Terkumpul 21 responden yang didapatkan dari cerita para perempuan. Masing-masing dari mereka memiliki rasa sakit versinya sendiri yang tidak dapat disamakan dengan satu perempuan dengan lainnya.
Namun, semua Ultimates menjawab bahwa nyeri saat menstruasi sangat tidak menyenangkan dan menghambat aktivitas sehari-hari. Setiap tubuh memiliki perbedaan pada kadar rasa sakitnya. Ada yang berkata bahwa hanya sampai sebatas nyeri saja, ada pula yang sampai jatuh pingsan. Perbedaan respons tubuh dalam menyikapi rasa nyeri ini tidak dapat disamakan karena ketahanan atau kekuatan fisik seseorang berbeda-beda.
“Kalau lagi parah keramnya sakit banget dari perut ke punggung, sering mual dan muntah juga,” jawab Priscilla Violetta, mahasiswa Universitas Multimedia Nusantara (UMN) jurusan Jurnalistik 2019.
“Pernah dapet deres banget sampai 1 hingga 2 jam harus ganti pembalut. Benar-benar kayak pendarahan,” ucap Rizky Azzahra, mahasiswa UMN jurusan Komunikasi Strategis 2021.
Perempuan memang mengalami menstruasi tiap bulannya. Namun, akan ada waktunya mereka memasuki masa menopause. Menopause merupakan waktu yang menandai akhir dari siklus menstruasi.
Mengutip dari lexology.com, ada perbedaan utama antara nyeri haid dan gejala menopause. Gejala menstruasi terjadi sebulan sekali dan biasanya hanya beberapa hari, sedangkan menopause adalah proses yang terjadi dalam jangka waktu yang lebih lama. Namun, nyeri haid dan ketegangan pramenstruasi dapat menyebabkan kecacatan apabila tingkat keparahan dan frekuensi gejala memengaruhi kemampuan perempuan untuk melakukan aktivitas normal sehari-hari.
Meskipun gejala menstruasi tidak cukup serius untuk menyebabkan kecacatan, gejalanya masih dapat berdampak pada kinerja perempuan dalam melaksanakan kesehariannya.
Beda tubuh, beda pula setiap orang dalam menyikapi rasa nyeri saat menstruasi. Perbedaan rasa sakit inilah membangun pandangan yang berbeda-beda terhadap seseorang yang sedang datang bulan.
Penderitaan perempuan tidak hanya pada rasa nyeri kram saja. Olokan, sindiran, dan ujaran merendahkan sering diterima oleh perempuan. Perjuangan untuk tetap dapat beraktivitas dengan normal layaknya makhluk sehat saat menstruasi tidaklah mudah untuk dilakukan bagi sebagian besar perempuan.
Perempuan Lebay saat Menstruasi?
“Lebay banget, mens doang.”
“Lagi PMS, ya? Pantesan sensitif.”
Kalimat seperti di atas kerap terdengar di telinga kebanyakan perempuan ketika sedang haid.
Banyak perempuan yang sedang menstruasi mengeluh kesakitan, tetapi orang di sekitarnya justru tidak mendukung.
Nyeri haid disebabkan oleh kontraksi rahim untuk meluruhkan lapisannya yang telah menebal, dikutip dari hellosehat.com. Bersamaan dengan rahim yang berkontraksi dan meluruh, tubuh pun melepaskan hormon prostaglandin, senyawa yang memicu rasa sakit dan peradangan.
Memang, ada perempuan yang tidak merasakan nyeri saat menstruasi, tetapi tidak sedikit yang merasakan nyeri, mual dan tidak nafsu makan, sakit di bagian punggung, bahkan pingsan. Keberadaan hormon yang tidak stabil saat menstruasi pun turut memengaruhi kondisi psikis perempuan.
Maka dari itu, diperlukannya dialog atau diskusi terbuka tentang kompleksitas kondisi perempuan di masa menstruasi. Hal ini penting dan baik untuk perempuan maupun untuk laki-laki. Dengan demikian, masyarakat bisa memilah dan memilih topik yang tidak merendahkan martabat perempuan dan meremehkan pengalaman perempuan.
Menstruasi dari Kacamata Sosial
Ashila Febriana, mahasiswa di Sekolah Vokasi Institut Pertanian Bogor (IPB), menceritakan kesulitannya dalam berkuliah sembari mengalami datang bulan. Dalam sekolah vokasi, kehadiran mahasiswa harus seratus persen karena praktikum mendominasi dalam perkuliahan. Saat Ashila alami nyeri luar biasa pada hari pertama menstruasi, mau tidak mau ia harus tetap masuk kelas demi menjaga nilainya, tetapi sayangnya ia harus hilang fokusnya selama perkuliahan.
“Mau izin tuh susah, soalnya kalau sakit haid itu sebenarnya hanya butuh bed rest atau minum obat. Sedangkan kalau sakit harus ada surat izin dokter. Mau izin pun susah, jadi tetap memaksakan ke kampus walaupun nyeri banget.”
Sulitnya izin untuk tidak hadir sesi perkuliahan membuat Ashila harus datang ke kelas dengan kondisi yang lemas.
Sebanyak 39 persen pelajar perempuan mengaku pernah di-bully saat menstruasi, dilansir dari kumparan.com. Hasil itu didapat dari studi Manajemen Kebersihan Menstruasi (MKM) yang dilakukan Yayasan Plan Internasional Indonesia pada 2018 di SD dan SMP di tiga provinsi Indonesia.
Kondisi serupa dialami oleh Shalma Fitriani (21) yang bekerja di salah satu produsen minuman di mal. Ia menceritakan bahwa saat datang bulan, banyak bagian tubuh yang terasa nyeri luar biasa, mulai dari perut, paha, punggung, hingga pinggang.
Saat di hari pertama mens, ia butuh istirahat yang cukup untuk meredam rasa nyerinya. Namun, ia harus menjaga shift stand seorang diri dari pukul 10 pagi hingga 10 malam. Kondisi yang tidak mengenakkan itu tidak dapat membohongi ekspresinya.
Selama menjaga, ia merasa tidak bertenaga dan sulit untuk beraktivitas. Apalagi mendengar perkataan bosnya yang membuatnya tidak nyaman.
“Kamu kenapa sih lemas banget. Orang-orang mana mau beli kalau kamu kayak begini,” kata Shalma menirukan perkataan bosnya kepada ULTIMAGZ saat wawancara melalui telepon pada Rabu (12/04/23).
Kemudian, Shalma hanya bisa menjelaskan bahwa ia sedang nyeri menstruasi. Bosnya diam dan lanjut memarahinya dan menyudutkan mengapa ia tidak bisa lebih bersemangat atau ceria.
“Ya, harusnya kalau lagi sakit gak kayak gini lah, kalo sakit tuh ngomong dari semalam, malah dipaksain kerja,” lanjut Shalma kembali menirukan perkataan sang atasan.
Shalma merasa disalahkan terus-menerus. Bosnya pun menyuruh Shalma untuk membeli obat dan minum, tetapi mengingat ia berjaga sendiri, hal itu tidak memungkinkan ia meninggalkan stan dagangannya. Di hari yang sama, barang-barang datang dari pabrik dan Shalma harus mengangkat barang berat itu dan menatanya di lemari dingin.
Kejadian kurang menyenangkan ini juga dialami oleh Yaya (bukan nama sebenarnya). Ia bercerita bahwa saat mengalami menstruasi, pernah terjadi vertigo sampai tidak sadarkan diri. Di lingkungan sosialnya, ia tidak mendapatkan ujaran kebencian, tetapi ia merasa bahwa sekitarnya memandang dirinya berlebihan lantaran rasa sakit menstruasinya yang lebih parah dibandingkan perempuan lainnya.
Menstruasi nyatanya hal yang tabu dibicarakan di masyarakat Indonesia hingga saat ini. Bahkan dalam tradisi keagamaan, ada yang melarang untuk tidak melakukan peribadatan ketika perempuan mengalami menstruasi.
Psikolog Klinis Dewasa Anggita Panjaitan menjelaskan bahwa stigma buruk terhadap perempuan yang sedang menstruasi sudah ada sejak puluhan atau ratusan tahun lalu. Contohnya, perempuan dianggap pribadi yang lemah saat sedang menstruasi. Rasa sakit menstruasi pun dianggap sebagai sakit perut saja, walau nyatanya rasa sakit menstruasi berbeda-beda pada perempuan.
Stigma tersebut dapat dilatarbelakangi oleh faktor agama dan budaya. Menurutnya, stigma buruk terkait menstruasi membuat ketabuan yang dibangun oleh lingkungan sosial. Ketabuan pun dipelihara sadar tidak sadar oleh semua orang.
“Ada efek dari budaya tertentu ketika perempuan mengeluarkan darah, seakan mereka dalam kondisi yang kotor, tidak layak, bahkan di beberapa negara ada yang diasingkan, tidak boleh keluar rumah, dan sebagainya,” kata Anggita.
“Seharusnya di masa modern sudah melek dengan pengetahuan kesehatan. Tidak ada yang salah kok dengan diri perempuan. Justru menstruasi itu mengindikasikan bahwa perempuan itu sehat.”
Tidak ada yang salah dengan menstruasi, tetapi orang-orang menganggap hal itu seakan aib dan menggantinya dengan kata seperti “halangan” atau lagi “dapet“. Apa yang keliru dengan konotasi menstruasi?
Kemudian, ketika ingin mengganti pembalut di sekolah, siswi sering kali menyimpan pembalut di selipan buku atau menyembunyikannya di tempat yang tidak terjangkau dan izin ke belakang untuk mengganti pembalut. Ketabuan itu akan terus muncul apabila tidak ada yang mencoba memberi tahu bahwa menstruasi adalah hal yang wajar untuk dialami oleh seorang perempuan.
Dalam kebanyakan tayangan iklan, penjualan pembalut sering kali ditampilkan menggunakan cairan berwarna biru, tidak berwarna merah. Semua orang tahu bahwa darah menstruasi berwarna merah, tetapi dalam periklanan masih menggunakan cairan biru.
Contoh-contoh yang disebutkan di atas memang terlihat kecil, tetapi dampaknya dapat memblokade informasi penting terkait menstruasi yang seharusnya didapatkan oleh perempuan. Anggita menegaskan bahwa ketabuan itu harus dilawan oleh semua orang.
“Secara tidak sadar, kita jadinya menghalangi akses perempuan untuk mewujudkan diri mereka yang sehat,” ujar Anggita.
Pecahkan Tabu Menstruasi melalui Pendidikan
Untuk meminimalkan ketabuan ini, bantuan edukasi diperlukan agar menstruasi tidak dipandang dengan sebelah mata. Edukasi dapat dimulai dengan pendidikan seksualitas yang mendasar di rumah.
Perubahan dapat dimulai di rumah dan perempuan perlu merasa aman di kulit mereka sendiri sebelum melangkah keluar di masyarakat dan berbicara tentang menstruasi.
Perlu menilik juga mengenai persamaan dan perbedaan fungsi jenis kelamin perempuan dan laki-laki, salah satunya kesehatan atau kondisi pubertas masing-masing gender. Pendidikan seksualitas di sekolah pun berperan signifikan.
Sayangnya, survei oleh U-Report Indonesia pada 2020 mencatat, setengah dari total responden perempuan mencari informasi terkait menstruasi melalui internet. Sementara 22 persen lainnya tidak melakukan apa-apa.
Baca juga: Kupas Tabu Masyarakat dengan Mengenal Lebih Penyakit Seksual Vaginismus
“Jangan sampai menstruasi ini adalah sesuatu yang tabu, anak-anak gak aware bahwa ketika sakit berlebihan saat menstruasi itu memerlukan pemeriksaan di rahim. Jangan sampai akses kepada kesehatan di tubuh jadi berkurang,” kata Anggita.
Perlu diadakannya edukasi dan diskusi terbuka seputar menstruasi seperti di sekolah dengan usia yang relevan, hingga ke jenjang yang lebih dewasa di lingkungan kerja. Kemudian, disediakannya fasilitas-fasilitas umum untuk mempermudah perempuan melewati masa menstruasi juga berperan krusial. Terakhir, adanya payung hukum yang melindungi hak-hak perempuan ketika mengalami menstruasi, juga mampu menyejahterakan perempuan.
Penulis: Aqeela Ara
Editor: Alycia Catelyn
Foto: Keizya Ham
Sumber: lexology.com, kumparan.com, indonesia.ureport.in, hellosehat.com