JAKARTA, ULTIMAGZ.com — Berbekal trailer dengan unsur komedi, rasa penasaran pun timbul karena ingin mengetahui cara penulis serta sutradara menyajikan kisah cintanya. Namun setelah menontonnya, “Cinta Itu Buta” masih menimbulkan sejumlah pertanyaan dalam benak terkait cara jalan berpikir cerita tersebut.
Bayangkan apabila Ultimates merupakan perempuan dari Indonesia yang mendadak mengalami kebutaan setelah mengetahui tunangan berselingkuh dengan teman sendiri, apa yang Anda lakukan? Apakah akan pulang dari negeri rantauan agar bisa bertemu dengan keluarga serta memulihkan rasa sakit hati dan kebutaan Anda? Atau memilih untuk sendiri di luar negeri untuk memulihkan kebutaan dan rasa sakit hati itu sendiri?
Dari pilihan yang ada, naskah “Cinta Itu Buta” membiarkan Diah (Shandy Aulia yang pernah berperan dalam “Eiffel I’m in Love”) untuk mengatasi kebutaan dan sakit hatinya seperti pilihan kedua. Terlebih Diah juga tidak diberikan ruang untuk adegan berkonsultasi dengan dokter mengenai penyebab dan cara mengatasi kebutaannya. Dengan berkedok mengalami kebutaan sementara karena stres, masalah seberapa serius penyakitnya pun masih menjadi tanda tanya hingga usai menonton film ini.
Rachmania Arunita sebagai sutradara dengan tiga penulis “Cinta Itu Buta”(Fanya Runkat, Renaldo Samsara, Sigrid Andrea Bernardo) gagal untuk memperbaiki kritikan naskah sadurannya dalam memasukkan elemen kebutaan. Pasalnya, “Cinta Itu Buta” mengadaptasi film asal Filipina yang digarap oleh Sigrid Andrea Bernardo dengan judul “Kita Kita”(2017). Meski “Cinta Itu Buta” mempunyai kesempatan untuk membuatnya kembali, tetapi ternyata mereka puas dengan sebatas meniru jalan cerita yang sudah ada. Pembeda kisahnya sekadar dari pemilihan latar cerita, yaitu di Busan, Korea Selatan.
Dalam “Cinta Itu Buta”, Shandy Aulia bermain peran bersama Dodit Mulyanto sebagai Nik. Masa awal perkenalan mereka pun cukup membuat kening berkerut. Bagaimana bisa Diah yang mengalami kebutaan cepat melunak saat ada laki-laki asing bernama Nik yang setiap hari datang ke rumah dan membawakan makanan untuknya karena Nik itu lucu? Masalahnya, unsur komedi dalam sosok Nik sering kali seksis.
Bagi perempuan yang tinggal sendiri dengan kondisi mengalami kebutaan, tidak seharusnya Nik melontarkan guyonan seakan mereka sudah kenal bertahun-tahun. Bukan marah atau tersinggung, kamera pun merekam ekspresi Diah yang terkesan menyukai semua candaan Nik. Mereka juga baru kenal beberapa hari dan Nik dengan santainya melontarkan candaan seperti ini.
“Tahu enggak bedanya kamu sama rumput laut? Kalau rumput laut mengandung nutrisi. Kalau kamu mengandung anak-anak kita nanti. HAHAHAHAAA”
Dialog tersebut terkesan tidak memerhatikan konteks waktu dan hubungan kedua tokoh. Bukan hanya itu, pada adegan Diah dan Nik di bus, tanpa persetujuan dari Diah, Nik menempelkan kedua jarinya pada bibirnya dan hampir menyentuh bibir Diah yang kondisinya tidak bisa melihat. Kedua skenario tersebut terasa creepy dan memberikan contoh yang tidak baik untuk penonton.
Selama menyaksikan “Cinta Itu Buta”, sulit rasanya untuk menikmati dialog serta gerak Nik karena pendalaman karakternya kurang kuat. Alhasil, sering kali ucapan atau perilaku Nik terlihat tidak natural dan tanggapan dari Diah pun terasa canggung. Tak mengherankan, “Cinta Itu Buta” merupakan kesempatan pertama komika Dodit dalam film layar lebar dengan motivasi menerima tawaran sebagai pemeran utama karena sedang bokek.
Penonton juga tidak diberikan kejelasan siapa sebenarnya sosok Nik, seperti apa profesinya sehingga ia bisa berbahasa Inggris dan membiayai kehidupannya selama di Korea Selatan. Menjelang akhir adegan, tak ada juga penjelasan bagaimana caranya Nik memiliki waktu untuk menulis surat dalam kapsul waktu yang ia sewa. Pasalnya, menulis surat dalam kapsul waktu seakan-akan Nik tahu bahwa saat Diah sudah sembuh dari kebutaan sementaranya, dirinya tidak akan ada di sisi Diah.
Dengan jelas, film ini menjatuhkan ekspektasi setelah menonton trailernya. Cara jalan berpikir sebab dan akibat dalam film ini juga menimbulkan pertanyaan dari awal menonton hingga adegan selesai. Semua serba kebetulan, terkadang tidak jelas, dan tak masuk akal dengan baluran komedi yang tidak memerhatikan kondisi. Kisahnya seperti sinetron di televisi, tetapi dengan modal biaya yang besar.
Penulis: Elisabeth Diandra Sandi
Editor: Agatha Lintang Kinasih
Foto: YouTube Dodit Mulyanto
Sumber: kompas.com