• About Us
  • Privacy Policy
  • Redaksi
  • Advertise & Media Partner
  • Kode Etik
Thursday, March 23, 2023
No Result
View All Result
ULTIMAGZ ONLINE
  • Beranda
  • Info Kampus
    • Berita Kampus
    • Indepth
  • Hiburan
    • Film
    • Literatur
    • Musik
    • Mode
    • Jalan-jalan
    • Olahraga
  • Review
  • IPTEK
  • Lifestyle
  • Event
  • Opini
  • FOKUS
  • Artikel Series
  • Ultimagz Foto
  • Beranda
  • Info Kampus
    • Berita Kampus
    • Indepth
  • Hiburan
    • Film
    • Literatur
    • Musik
    • Mode
    • Jalan-jalan
    • Olahraga
  • Review
  • IPTEK
  • Lifestyle
  • Event
  • Opini
  • FOKUS
  • Artikel Series
  • Ultimagz Foto
No Result
View All Result
ULTIMAGZ ONLINE
No Result
View All Result

“Happy Old Year” Berkonsep Serba Minimalis

by Elisabeth Diandra Sandi
May 13, 2020
in Film, Review
Reading Time: 3 mins read
Film Happy Old Year

Potret adegan Jean di antara kantung sampah yang berisi barang-barang dari rumahnya. (Foto: iffr.com)

0
SHARES
613
VIEWS
Share on FacebookShare on Twitter

“Discard everything that does not spark joy” – Marie Kondo

JAKARTA, ULTIMAGZ.com — Menurut salah satu strategi pakar pengorganisasian rumah, Marie Kondo, untuk membersihkan rumah dari barang yang sudah tidak terpakai adalah membuang semua hal yang tidak memberikan suka cita lagi pada hidup kita. Film “Happy Old  Year” menggambarkan bagaimana konsep minimalis tersebut mudah terucap, tetapi nyatanya sulit dilakukan. 

Konflik dalam film asal Thailand ini berawal dari Jean (Chutimon Chuengcharoensukying) yang ingin mengubah rumahnya menjadi kantor dengan gaya minimalis. Dalam proses awalnya, keinginan Jean sudah mengalami penolakan dari ibunya (Apasiri Nitibhon) yang masih nyaman dengan keadaan rumahnya walaupun sempit karena tumpukan barang. Namun, Jean tetap berpegang teguh dengan keinginannya karena terdesak pekerjaan barunya yang mewajibkan Jean untuk memiliki kantor sendiri.

Adik laki-lakinya, Jay (Thirawat Ngosawang), membantu Jean untuk membuang barang-barang yang menumpuk dari rumahnya dengan menggunakan strategi Marie Kondo. Ketika pertama kali membuang, Jean bisa memasukan barang-barang ke dalam kantong sampah berwarna hitam tanpa berpikir panjang.

Akan tetapi, pola pikir itu berubah saat Pink (Patcha Kitchaicharoen), kerabat Jean yang membantu menata ulang rumahnya, sakit hati karena Jean membuang hadiah pemberiannya. Padahal mungkin saja hadiah pemberian dari Pink tidak memercikan kebahagiaan lagi pada Jean. Lantas, Pink memberi usul kepada Jean untuk mencoba mengembalikan barang milik teman-temannya yang lain sebelum membuangnya. Jean seakan terlihat egois karena menerapkan strategi Marie Kondo yang hanya memikirkan makna kebahagiaan dari satu sudut pandang.  

Alhasil, perasaan Jean goyah dan ia tidak jadi menjual berpuluh-puluh kantong sampah tersebut kepada penjual barang bekas. Jean memutuskan untuk mengembalikan seluruh barang yang pernah ia pinjam kepada teman-temannya, termasuk mantan kekasihnya, Aim (Sunny Suwanmethanont). Barang milik Aim membawa Jean terhanyut dalam kenangan masa lalu dan perasaannya yang tidak menyenangkan.

Potret adegan Jean saat menemui Aim di depan rumahnya.
Potret adegan Jean saat menemui Aim di depan rumahnya. (Foto: scmp.com)

Keputusan Jean membawanya kepada masalah yang baru. Akan tetapi, hal tersebut juga timbul karena karakter Jean yang tidak segera menyelesaikan pekerjaannya sebelum dirinya pergi untuk mengemban ilmu di Swedia. Kebiasaannya ini yang membuat dirinya di masa depan terbebani dengan segala memori dan tumpukan barang teman-temannya. 

Film “Happy Old Year” juga menggambarkan pepatah kalau buah tak jatuh jauh dari pohonnya. Serupa dengan Jean, ibunya juga tidak menyelesaikan masalah secepatnya. Mereka sama-sama menunda dan menumpuk barang maupun perasaannya sehingga sukar untuk pergi dari kenangan lama. 

Hal menarik dari film ini terletak pada terapan minimalis dari segi artistiknya. Pakaian pemain juga sederhana dan cenderung tidak bercorak dengan warna mencolok. Selain itu, pemberian warna dalam gambar juga bernada netral dan cenderung dingin seperti abu-abu, putih, maupun biru. Warna hangat seperti coklat dan jingga hanya ditemukan pada pemain atau benda mati yang berasal dari masa lalu Jean. Contohnya warna pakaian ibunya dan piano milik ayahnya yang sudah meninggalkan keluarga Jean.

Potret barang-barang di rumah Jean dengan nada warna hangat.
Potret barang-barang di rumah Jean dengan nada warna hangat. (Foto: iffr.com)

Bukan hanya itu, pemberian efek musik juga sangat minimalis dalam film “Happy Old Year”. Frekuensi kehadiran musik sebagai pembantu pengangkatan emosi pemain sangat jarang apabila dibandingkan film pada umumnya. Suara pendukung baru muncul apabila Jean mengalami masalah atau berada dalam adegan puncak. Penggunaan alat musiknya pun hanya ada dua yaitu, antara piano atau saxophone. Hebatnya, penggunaan bunyi natural atau natural sound dari aktivitas pemain dalam beberapa adegan seolah dapat menggantikan iringan musik.

Dengan pemberian musik yang minimalis, kelihaian pemain dalam berekspresi untuk membawa emosi lebih tersorot. Tak jarang film “Happy Old Year” mengambil gambar dengan durasi yang cukup lama pada satu tokoh untuk menyajikan gradasi perubahan emosi pemain. Mungkin detil ini yang berhasil membuat emosi pemain dapat tersalurkan kepada penonton.

Selain itu, film “Happy Old Year” dapat memberikan gambaran apa pentingnya menyelesaikan masalah secepatnya, berempati, dan menekan ego. Apakah Ultimates penasaran dengan lanjutan kisah Jean dan kemasan filmnya yang minimalis?

 

Penulis: Elisabeth Diandra Sandi

Editor: Abel Pramudya

Foto: iffr.com, scmp.com

Tags: barang bekasChutimon Chuengcharoensukyingfilmfilm-thailandGaya HidupHappy Old YearMarie KondominimalisReview FilmSunny Suwanmethanontthailand
Elisabeth Diandra Sandi

Elisabeth Diandra Sandi

Related Posts

Kru dan pemain “Everything Everywhere All at Once” menang tujuh piala penghargaan di Oscar 2023, termasuk di kategori Film Terbaik. (Foto: Los Angeles Times/Myung J. Chun)
Film

“Everything Everywhere All at Once” Raup 7 Piala Oscar 2023, Termasuk Film Terbaik

March 14, 2023
Sampul “A Good Girl’s Guide to Murder” karya Holly Jackson yang mengisahkan seorang remaja mencoba mengungkit kasus pembunuhan. (Foto: beffshuff.com)
Literatur

“A Good Girl’s Guide to Murder”, Seorang Remaja Ungkit Kebenaran Kasus Pembunuhan

March 14, 2023
Poster film “Suzume”. (Foto: Twitter/Suzume_Tojimari)
Film

“Suzume” Resmi Tayang di Bioskop Indonesia

March 9, 2023
Next Post
Liga Inggris Dapatkan Lampu Hijau untuk Kembali Gelar Kompetisi

Liga Inggris Dapatkan Lampu Hijau untuk Kembali Gelar Kompetisi

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

16 − sixteen =

Popular News

  • wawancara

    Bagaimana Cara Menjawab Pertanyaan ‘Klise’ Wawancara?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Pusat Perbelanjaan yang Dapat Dijangkau dengan MRT Jakarta

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Risa Saraswati Ceritakan Kisah Pilu 5 Sahabat Tak Kasat Matanya

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kisah Ivanna Van Dijk Sosok Dari Film ‘Danur 2 : Maddah’

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Gading Festival: Pusat Kuliner dan Rekreasi oleh Sedayu City

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

Pages

  • About Us
  • Advertise & Media Partner
  • Beranda
  • Kode Etik
  • Privacy Policy
  • Redaksi
  • Ultimagz Foto

Kategori

About Us

Ultimagz merupakan sebuah majalah kampus independen yang berlokasi di Universitas Multimedia Nusantara (UMN). Ultimagz pertama kali terbit pada tahun 2007. Saat itu, keluarga Ultimagz generasi pertama berhasil menerbitkan sebuah majalah yang bertujuan membantu mempromosikan kampus. Ultimagz saat itu juga menjadi wadah pelatihan menulis bagi mahasiswa Fakultas Ilmu Komunikasi (FIKOM) UMN dan non-FIKOM.

© Ultimagz 2021

No Result
View All Result
  • Beranda
  • Info Kampus
    • Berita Kampus
    • Indepth
  • Hiburan
    • Film
    • Literatur
    • Musik
    • Mode
    • Jalan-jalan
    • Olahraga
  • Review
  • IPTEK
  • Lifestyle
  • Event
  • Opini
  • FOKUS
  • Artikel Series
  • Ultimagz Foto

© Ultimagz 2021