SERPONG, ULTIMAGZ.com – Akhir-akhir ini, Amerika Serikat dihebohkan dengan kasus kekerasan yang dilakukan oleh seorang polisi terhadap seorang pria berkulit hitam, George Floyd. Video kekerasan tersebut tersebar di media sosial. Lehernya terus ditahan ke tanah oleh lutut seorang polisi berkulit putih bernama Derek Chauvin. Kasus ini pun memicu gerakan “Black Lives Matter” untuk kembali naik daun.
“Black Lives Matter” adalah gerakan kemanusiaan dengan tujuan menghapus rasisme sistemik terhadap ras kulit hitam di Amerika Serikat. Salah satu fokus utamanya adalah mendukung perubahan kebijakan yang berhubungan dengan kebebasan masyarakat berkulit hitam.
Trayvon Martin, itulah nama remaja yang ditembak oleh George Zimmerman dan berujung tewas. Si pelaku bukanlah seorang polisi seperti kasus yang terbaru, melainkan hanya relawan yang sedang berpatroli di daerah tempatnya tinggal.
Martin yang sedang menuju ke rumah ayahnya tidak membawa senjata apa pun kala itu. Namun, hal itu tidak menghentikan Zimmerman untuk menganggapnya sebagai seseorang yang mencurigakan. Ia sempat menelepon polisi. Setelah laporannya selesai, Zimmerman mengejar pemuda tersebut dan menembakkan peluru.
Seorang aktivis berkulit hitam, Aliza Garza geram dengan apa yang telah terjadi. Garza meresponnya dengan menulis, “Orang kulit hitam. Aku mencintaimu. Aku mencintai kita. Nyawa kita berarti.” pada 13 Juli 2013. Tulisan ini pun diunggah kembali oleh aktivis lain, Patrisse Cullors dengan tagar #BlackLivesMatter. Tidak memerlukan waktu yang lama untuk ungkapan itu tersebar luas.
Gerakan ini semakin populer setelah muncul dua kasus besar lainnya tentang pembunuhan dua pria berkulit hitam di dua lokasi yang berbeda pada 2014. Eric Garner di Staten Island, New York dan Michael Brown di Ferguson, Missouri. Keduanya sama-sama korban dari aksi kekerasan oleh aparat kepolisian. Garner adalah seorang pria yang dituduh berjualan rokok dalam jumlah satuan. Polisi di lokasi tetap menahannya ke tanah sampai akhirnya ia hilang kesadaran. Kurang lebih sejam kemudian, Garner dinyatakan telah meninggal dunia.
Kasus Tamir Rice merupakan salah satu kasus terbesar yang memicu “Black Lives Matter”. Hal ini karena Rice hanya berumur 12 tahun ketika polisi memutuskan untuk menembakkan peluru ke dalam tubuhnya. Ia dituduh mengarahkan pistol kepada masyarakat sekitar, tetapi nyatanya yang dibawa hanya mainan berbentuk senjata. Tidak memerlukan waktu yang lama hingga Ferguson dipenuhi dengan demonstran. Terjadi selama Agustus 2014 hingga 2015, kejadian ini mencetak sejarah baru sebagai kerusuhan Ferguson
Pada 2020 pun, sayangnya, George Floyd bukan satu-satunya korban kekerasan polisi terhadap orang berkulit hitam. Breonna Taylor, seorang perempuan asal Louisville, Kentucky, yang ditembak sebanyak delapan kali sampai akhirnya tewas oleh tiga anggota aparat kepolisian. Ketiganya ingin menangkap tersangka kasus penjualan narkoba yang tinggal kurang lebih 16 KM dari Taylor. Tidak ditemukan adanya narkoba di lokasi.
Gerakan ini seperti berulang kali dipanggil untuk muncul kembali ke atas permukaan. Tidak dapat dipungkiri bahwa ini adalah tanda bahwa rasisme terhadap orang-orang berkulit hitam di Amerika Serikat masih belum berakhir. Untuk menghadapinya, “Black Lives Matter” belum akan mati dalam waktu dekat. Namun, mereka yang tertindas akan selalu bermimpi datangnya hari tanpa perlunya perjuangan dan keadilan sudah disajikan di atas sebuah piring.
Penulis: Nadia Indrawinata
Editor: Xena Olivia
Foto: washingtonpost.com
Sumber: blacklivesmatter.com, en.wikipedia.org, tirto.id, blackpast.org