SERPONG, ULTIMAGZ.com – Asosiasi Dunia untuk Kesehatan Seksual (WAS) pertama kali menghelat hari kesehatan seksual sedunia pada 4 September 2010. Dengan peresmian hari tersebut, ada harapan agar kesadaran terhadap pendidikan seksual dan seksualitas lebih mendapat perhatian.
Pada hari peringatannya yang ke-10 tahun, Indonesia masih memiliki beberapa “pekerjaan rumah” yang harus diselesaikan. Bicara soal seksualitas, masalah yang dihadapi Indonesia lebih menyangkut pada aspek kesehatan fisik dan sosial.
Jika bicara soal hal-hal terkait seksualitas, masalah yang dihadapi Indonesia menyangkut aspek kesehatan fisik dan sosial.
Angka penderita penyakit menular seksual (PMS) masih tinggi
HIV/AIDS merupakan salah satu penyakit menular seksual yang memiliki angka penderita paling tinggi di Tanah Air. Menurut data UNAIDS atau Pengamatan PBB untuk AIDS, disebutkan bahwa kasus HIV/AIDS bertambah sejumlah 46 ribu setiap tahunnya di Indonesia.
Laporan Ditjen P2P Kemenkes RI tentang Perkembangan HIV/AIDS dan Penyakit Infeksi Menular Seksual (PIMS) Triwulan I Tahun 2020 juga mengatakan bahwa terdapat sejumlah 511.955 penderita per 29 Mei 2020. Data ini merupakan hasil kalkulasi data sejak 1987.
Sebagai langkah pencegahan, seharusnya Indonesia mengimplementasikan pendidikan seksual komprehensif.
Sex education atau pendidikan seks komprehensif sebagai langkah preventif
Menurut organisasi Advocates for Youth, sex education atau pendidikan seksual adalah penyediaan informasi tentang pertumbuhan fisik, seks, seksualitas, dan hubungan interpersonal. Pendidikan ini diberikan bersama dengan pengembangan keterampilan mengkomunikasikan dan membuat keputusan sehat mengenai seks dan kesehatan seksual.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menerbitkan sebuah panduan teknis untuk pendidikan seksual pada 2018. Pendidikan seksualitas komprehensif (CSE) adalah proses belajar mengajar tentang aspek-aspek kognitif, emosional, jasmani, dan rohani dalam kurikulum. Sistem ini bertujuan untuk membekali seorang individu agar dapat mengambil tindakan seksual yang aman di masa depan. Perlu diingat bahwa meskipun hal ini telah disarankan oleh WHO, sistem ini belum diimplementasikan di Indonesia. Pun demikian, hal ini tetap bisa menjadi solusi yang dicari.
Dalam “Antara Kebutuhan dan Tabu: Pendidikan Seksualitas dan Kesehatan Reproduksi bagi Remaja di SMA” karya Dina Teresa Pakasi dan Reni Kartikawati, dikatakan bahwa memang sudah ada pendidikan kesehatan seksual melalui mata pelajaran di sekolah-sekolah. Hal ini terbukti dalam Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2017, wanita dan pria masing-masing mendapatkan 79% dan 63% pengetahuan tentang pubertas melalui guru. Namun, materi yang diberikan lebih mengarah kepada aspek biologis seperti perubahan tubuh.
Apabila dilihat kembali definisi pendidikan seksual, seharusnya juga ada penekanan pada aspek sosial dan emosional yang terdapat dalam CSE. Padahal, bagian-bagian seperti hubungan pacaran, kekerasan berbasis gender, dan konsep diri itu penting bagi masa depan anak muda ketika beranjak dewasa.
Ada pula suatu kejanggalan dari hasil SDKI 2017. Dalam survei tersebut, pria dan wanita ditanyakan soal haid dan masa subur. Mayoritas mengaku sudah mengetahui, tetapi ternyata dengan jawaban yang kurang tepat. Jumlah jawaban ini untuk pria dan wanita masing-masing 55% dan 61%. Ada juga yang menjawab tidak tahu dengan jumlah pria dan wanita masing-masing 8% dan 6%. Hal ini menjadi tanda bahwa ternyata ada beberapa bagian yang ‘berlubang’ bahkan dalam pendidikan yang sifatnya biologis. Sebaiknya, dilakukan perbaikan sistem dan penyampaian informasi yang lebih akurat terkait pendidikan seksual ini.
Mengutip news.detik.com, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) akan mendorong Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) Indonesia untuk mengajarkan pendidikan seksual dan kesehatan reproduksi di sekolah. Menurut Komisioner KPAI bidang pendidikan Retno Listyarti, ada beberapa hambatan untuk pendidikan seksual di Indonesia karena masih ada anggapan tabu.
Di Indonesia, pendidikan seks yang diberikan pun lebih mengarah pada apa yang disebut sebagai abstinence-only. Sistem ini lebih fokus pada bagaimana ‘mencegah’ anak muda untuk menghindari seks, yang dianggap sebagai sesuatu yang berbahaya. Sebenarnya hal ini disesuaikan dengan situasi dan kondisi Indonesia yang ingin menghindari seks pranikah karena tidak sesuai dengan aturan agama. Meskipun memiliki niat baik, tetapi sistem bukanlah solusi untuk menurunkan angka kesehatan seksual (Santelli dkk. 2017)
Penulis: Nadia Indrawinata
Editor: Xena Olivia
Sumber: worldsexualhealth.net, nationaldaycalendar.com, advocateforyouth.com, tagar.id, news.detik.com, who.int
Nasution, Sri Lilestina. 2012. Pengaruh Pengetahuan Tentang Kesehatan Reproduksi Remaja Terhadap Perilaku Seksual Pranikah Remaja di Indonesia.
Santelli, J. S., Kantor, L. M., Grilo, S. A., Speizer, I. S., Lindberg, L. D., Heitel, J., …, Ott, M. A. (2017). Abstinence-only-until-marriage: An updated review of U.S. policies and programs and their impact. Journal of Adolescent Health. 61(3), 273-280.
Kementerian Kesehatan Indonesia. 2017. Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2017.
Pakasi, Diana Teresa & Kartikawati, Reni. 2013. Antara Kebutuhan dan Tabu: Pendidikan Seksualitas dan Kesehatan Reproduksi bagi Remaja di SMA. Makara Seri Kesehatan, 2013, 17(2): 79-87
World Health Organization. 2018. International technical guidance on sexuality education: An evidence-informed approach (Revised Edition). France: UNESCO
Foto: minews.com